SENDIRI

2106 Kata
Arani menghela napas panjang bersamaan dengan pintu kamar itu terbuka. Saat Munik dan Yudi hendak melangkah masuk, Arani menoleh, menggeleng pelan. “Arani mau ngobrol sebentar sama Helia. Boleh, ya Mi, Pi?” Kedua orangtua mereka saling menatap, lalu tak jadi melangkah maju, justru menutup pintu kembali. Helia memalingkan wajah, menatap kosong ke jendela kaca. “Ada banyak hal yang kamu ngga ingat, Ya,” ujar Arani. “Dan dokter bilang—” Helia menoleh, sorot matanya begitu menusuk hati Arani. “Dokter bilang apa?” sentaknya. “Kalau aku ngga boleh tau alasan kenapa tunanganku berpindah hati ke kakakku?” Kalimat itu menggantung, tajam, dan menyakitkan untuk keduanya. Arani menatap adiknya, dan di mata itu, Helia melihat kilatan sesuatu—bukan kemenangan, bukan keangkuhan, melainkan luka. “Kamu percaya Kakak sayang sama kamu?” tanya Arani, suaranya terdengar lirih. Helia tidak menjawab. Nyatanya, hubungan persaudaraan mereka bukan jenis yang teramat hangat. Arani memiliki kepribadian dominan; cepat, sigap, selalu merasa dunia harus ditaklukkan hari itu juga. Helia sebaliknya—pelan, lembut, mudah cemas, dan mudah luluh oleh janji-janji manis. Keduanya tumbuh berdampingan, namun tak pernah benar-benar bertemu di tengah. Bagi Helia, Arani terlalu kaku dan ambisius. Sementara bagi Arani, Helia terlalu ‘baik’ dan lambat. Namun saat ini, tatapan Helia—yang tampak bingung dan menderita—membuat Arani merasa seperti tengah berdiri di tepi jurang yang ia gali sendiri. “Helia…” Arani memulai lagi, suaranya semakin pelan, semakin rapuh. “Kakak—“ Helia memalingkan wajahnya lagi, enggan mendengar. “Segitu buru-burunya ya sampai sengaja banget ngepasin kepulangan aku dan pertunangan kalian?” Arani menunduk. Matanya panas, tenggorokannya tercekat. “Kalau itu yang Kakak maksud sayang—“ Kalimatnya menggantung, terputus sesak yang mencengkeram dadanya. “Bukan, Ya,” sahut Arani, frustasi. Ia menghela napas panjang. “Maafin Kakak, Ya.” Sesuatu di dalam diri Helia runtuh. Bukan karena pernyataan Arani tidak jelas—justru karena terdengar jelas sekali. Memang banyak hal yang terlupakan olehnya. Dan ia menduga... salah satunya adalah pengkhianatan Gavin dan Arani. “Aku capek, Kak,” gumamnya. “Aku mau tidur.” Arani terdiam. “Dan ngga usah panggil aku saat acara nanti.” “Helia....” “Kecuali Kakak memang ngga punya hati.” Arani menghapus air matanya, lalu mengangguk. Ia bernapas dalam, berusaha menguatkan diri. “Oke. Kamu istirahat aja. Nanti kalau butuh apa-apa… panggil Kakak, ya?” Langkah yang menyeret terdengar, diikuti pintu yang terbuka, lalu tertutup. Tangis Helia pecah. Seketika perasaan kesepian menyergapnya. Beberapa jam kemudian, Helia terbangun setelah tadi tertidur. Ia memperhatikan kamar itu lebih teliti. Di meja rias, tidak ada satu pun foto dirinya. Di dalam laci, tak ada bingkai kecil fotonya bersama Gavin, seperti yang ia ingat pernah ia punya. Seolah kehidupan barunya ditata ulang. Jejak hidup sebelumnya dihapus. Banyak ruang yang dikosongkan. Ia mengerahkan tenaga untuk pindah dari tepi ranjang ke meja rias. Tangannya gemetaran saat menopang tubuh. Kakinya lebih bergoyang lagi. Begitu ia duduk, rasa pegal menjalar di seluruh pinggang dan punggungnya. Helia menyeka peluh yang membuat bajunya basah. Bahkan mobilitas sesederhana itu bisa menghabiskan tenaganya. Cermin besar terpampang di depannya. Ia menegakkan punggung, menatap sosok yang berhadapan dengannya. Wajah yang menatap balik dari balik cermin adalah wajah yang ia tau miliknya—mata yang sama, bibir yang sama—tetapi dengan kontur baru. Wajah yang… familiar tapi terasa asing. Ia menyentuh kedua rahangnya dengan ujung jari. Menangis lagi. “Ini… aku?” bisiknya pada pantulan itu. Helia mencoba tersenyum, menguatkan dirinya sendiri untuk menerima keadaan diri. Bukankah selama ini, begitulah sifatnya? Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Tulisan di banner teringat lagi. Permintaan maaf Arani tengiang lantang. Kedua orangtuanya yang memilih diam dan bersikap seolah tak ada masalah—terbayang di pelupuk mata. Di rumah ini, tunangannya ‘diambil’ kakaknya sendiri. Di rumah ini, foto-fotonya hilang. Di rumah ini, langkah kaki semua orang terdengar namun tak ada yang menanyainya. Di rumah ini… ia lebih hina dari tamu, hanya tunawisma yang kebetulan punya nama belakang sama dengan pemilik rumah. Air matanya menggenang. “Kamu bukan Helia yang dulu…” ia berujar pada pantulan dirinya, “…wajar kalau tempatmu juga bukan di tempatmu yang dulu.” Ia... menangis lagi. Rumah ini berdiri kokoh, megah, dan mewah. Namun di d**a Helia, satu kalimat menggemakan kebenaran yang ia belum berani ucapkan dengan suara lantang... ‘aku pulang, ke rumah yang bukan lagi rumahku.’ *** Helia baru saja meneguk habis air mineral — yang Fabian belikan untuknya di bandara tadi — ketika ia mendengar suara langkah tergesa di lorong. Ia menoleh. Lalu seseorang mengetuk pintu tiga kali. “Masuk,” sahut Helia. Gagang pintu bergerak. Pintu terbuka. Dan di ambangnya berdiri seseorang yang mengisi seluruh ruang kosong di memorinya. Gavin Laksmana. Pria itu tampak rapi, mengenakan kemeja batik lengan panjang dan celana hitam. Surainya klimis, sepatunya mengilap, dan wangi parfumnya tercium meski mereka dipisahkan jarak beberapa langkah. Helia membeku. Kedua tangannya mencengkeram tepi blouse-nya. Gavin menghela napas panjang. “Ngga bisa kamu menghargai Arani?” tanyanya tanpa babibu. “Gavin…” lirih Helia, ragu, penuh harap yang ia sendiri tak sadari. Gavin menatapnya... jengah. Tatapan yang tidak berusaha menyembunyikan kejengkelan. “Perlu aku panggil orang untuk bantu kamu dandan? Atau kamu bisa lakukan sendiri?” cecar Gavin lagi. “Dandan?” “Jangan bilang kamu denial kalau sore ini aku bertunangan dengan Arani.” Helia menggigit bibir bawah. Dadanya berdebar tak karuan. Ini pertama kalinya mereka bertemu sejak ia bangun dari koma. Bahkan ketika ia masih terbaring lemah di Versailles, ia selalu membayangkan pertemuan ini—Gavin masuk, memeluknya, menanyakan keadaannya, atau setidaknya terlihat lega bahwa ia masih hidup. Namun laki-laki di depannya… bukan pria dalam bayangannya. Sama sekali bukan. “Aku…” ujar Helia, suaranya hampir tenggelam. “Aku bangun… berharap kamu—” Gavin justru menyeringai sinis. Dan sikap itu justru terasa panas di wajah Helia. Seolah ia baru saja ditampar kenyataan. Gavin menatapnya dari ujung rambut ke ujung kaki. Mata itu—mata yang dulu penuh kehangatan—kini menilai, mengukur, menghakimi. Helia mengernyitkan kening. ‘Kok Gavin ngelihat aku kayak gitu?’ “Tamu sudah mulai berdatangan, Helia!” sentak Gavin lagi. “Tamu apa? Untuk apa mereka datang?” balas Helia. “Untuk aku! Untuk Arani! Untuk pertunangan kami! Dan satu-satunya duri adalah kamu!” “Apa? Kamu tungangan aku, Gav!” Kepalan tangan Arani kian menguat. Ia menarik napas dalam, berusaha menahan tangis, meski percuma—air matanya tetap menitik. “Kamu harusnya fokus sembuh, Ya,” ujar Gavin. “Bukan fokus ke hal-hal yang sudah selesai.” “Tapi—“ “Rencana pernikahan kita adalah di awal tahun. Tapi keadaan ngga memungkinkan, juga ngga bisa dipastikan. Aku cukup yakin kalau itu pertanda bahwa kita ngga berjodoh, hubungan kita berakhir, kita selesai, Helia!” “Selesai?” Helia mengulang, bingung. “Kita.” Gavin melipat tangan. “Kita sudah selesai.” Helia menatap kosong. Tubuhnya lunglai, seperti seluruh kekuatan mentalnya hilang begitu saja. “Dan secepat itu kamu menjatuhkan pilihan ke kakakku?” lirihnya. Gavin menghela napas keras, seperti berbicara dengan seseorang yang tak lagi setara dengannya. “Memangnya salah?” “Pertunangan kita dulu ngga mengganggu kamu?” “Just like you said, Helia. Dulu! Pertunangan kita yang dulu! Aku dan kamu yang dulu! Yang cantik, lembut, elegan, dan selalu jadi sorotan. Kamu yang seperti itu! Dulu!” Gavin melangkah mendekat, dan Helia mundur otomatis, punggungnya menempel ke tepi meja rias. “Tapi sekarang?” Nada suara Gavin berubah tajam. “Sekarang kamu lihat sendiri. Ngaca!” Helia menatapnya, tidak berkedip. Tidak pula bergerak. “Aku…” bibirnya bergetar, “koma, Gav. Aku bukan pergi untuk bersenang-senang sendiri. Aku sakit. Aku juga ngga mau ngalamin itu. Dokter bilang butuh waktu—” “Helia.” Gavin menyeringai—bukan sinis, tapi jijik. “Aku ngga pernah bermimpi untuk menikahi perempuan cacat,” bisiknya. Dunia Helia seketika berhenti. Jantungnya mencelos, detaknya jungkir balik, matanya panas. Ia tau tubuhnya belum pulih sempurna. Ia tau wajahnya berubah. Ia tau dirinya tidak kembali sebagai Helia yang dulu. Tapi mendengarnya kalimat itu keluar dari mulut Gavin—orang yang pernah ia percaya sepenuhnya—adalah luka yang bahkan operasi apa pun tidak bisa menyembuhkannya. “Apa… kamu bilang apa barusan?” Suara Helia nyaris tak terdengar. Gavin menaikkan dagu. “Aku ulangi. Dengar baik-baik,” ujarnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Helia. “Aku ngga akan menikah dengan perempuan cacat yang dulu selalu menolakku.” Helia membeku. ‘Cacat?’ Gavin menarik wajahnya, lalu menyeringai kejam kembali. “Kamu pikir aku mau pasangan yang bekas wajahnya kayak… itu?” Ia mendelik ke bekas luka tipis di kedua rahang Helia. ‘Bekasnya akan hilang sempurna asalkan kamu merawatnya dengan baik.’ Kalimat Dokter Bedah Plastik yang merawatnya terngiang. Namun, tak ada gunanya jika pun Helia beritahu pada Gavin, bukan? “Ditambah lagi, dokter yang merawat kamu ngga yakin kalau akan pulih seperti dulu. Kamu ngga menggunakan sabuk pengamanmu dengan benar saat kecelakaan, Helia. Cedera di tulang belakangmu bukan perkara sederhana. Kamu nyaris mati, tubuhmu remuk. Keajaiban ngga datang bertubi-tubi. Dan kamu sudah mengambil yang terpenting, kamu hidup! So, tau diri lah! Kamu pikir aku mau berdampingan dengan perempuan yang keadaannya seburuk kamu? Yang mungkin butuh perawatan seumur hidup? Come on, Helia. Realistis sedikit.” Helia tercabik hingga ke jiwanya. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan suara tangis yang hampir meletup. “Gav... kenapa kamu… sekejam itu?” Gavin mendengus pendek. “Sejak kapan jujur itu kejam?” “Jadi kamu bertunangan dengan Kak Arani karena… karena dia lebih cantik? Lebih sehat? Lebih berguna buat kamu?” Gavin mengedikkan bahu. “Kenyataan kadang menyakitkan. Tapi ya, kurang lebih begitu.” Helia membeku. Rasanya seperti tubuhnya diguncang, dihantam, diremukkan… namun kali ini bukan tulang-tulangnya yang patah, bukan otot-ototnya yang robek, bukan pembuluh-pembuluh darahnya yang putus. Melainkan hatinya... yang hancur terkoyak. Helia menggenggam tepi kursi, napasnya terputus-putus, tubuhnya goyah. “Kamu janji… kamu janji sama aku…” “Janji apa? Janji kalau aku akan selalu mencintai kamu? Akan selalu di sisi kamu? Itu berlaku untuk orang yang sama, Helia. Now look at you, apa kamu merasa kalau kamu adalah orang yang sama? Don’t be stupid, atau kamu menolak sadar?” Pada saat itulah pintu kamar terbuka lagi. Arani berdiri di ambang, wajahnya tegang. Dan Helia merasa… pengkhianatan itu lengkap. “Gavin,” ujar Arani, “just stop, please.” ‘Please?’ Gavin tersenyum. “Cantik banget sih?” Ia melangkah mendekati Arani. “Well, aku cuma jelasin pertunangan kita. Aku pikir, lebih baik Helia dengar langsung dari aku daripada dari orang lain.” Helia memandang dua orang itu—dua orang yang seharusnya melindunginya. Dua orang yang… sekarang justru menjadi sumber luka terbesarnya. “Penghianat!” “Helia....” Arani maju satu langkah. Helia menatapnya dengan air mata yang bersimbah. “Berhenti mengejar Gavin! Oke?” Itu bukan suara seorang kakak. “Gavin bukan lagi tunangan kamu. Buat kamu mungkin lima bulan seperti baru kemarin. Tapi buat kami ngga begitu, Helia. Banyak yang terjadi saat kamu ngga sadarkan diri. Dan salah satunya, kami saling jatuh cinta. So, kamu harus terima itu.” “Terima?” Helia tertawa singkat, getir, patah. “Terima bahwa tunangan aku pindah ke kakakku setelah aku… koma? Setelah aku hilang ingatan? Setelah aku—” “Cukup, Helia!” Arani menahan napas, menahan panik di dadanya agar tak membuncah ke permukaan. “Dokter bilang kamu gak boleh stres—” “TERLAMBAT!” Helia akhirnya menjerit. Suara itu parau, serak, keluar dari kedalaman hati yang bahkan Helia sendiri tak tau ia punya. “Dokter bilang apa pun sekarang terlambat! Kalian jahat! Kalian brengs3k! Kalian menghancurkan aku tapi ngga merasa bersalah sama sekali! Setan kalian! SETAN!” Gavin mencibir. “Drama lagi.” Itu puncaknya. Helia terjatuh dari kursinya ke lantai. Dunia berputar. Ia memukul-mukul dadanya yang kian sesak. Munik dan Yudi muncul di pintu—mungkin mendengar keributan—namun mereka hanya berdiri diam, terpaku, tak mengatakan apa-apa. Tak memeluk Helia. Tak memarahi Gavin. Tak menghentikan Arani. Diam. Dan diam itulah penghianatan terbesar. Helia mengangkat wajahnya, menatap empat orang itu. “Apa salah aku?” Tidak ada yang menjawab. Gavin menghela napas, menatap arloji di pergelangan tangannya, lalu memutar badan dan pergi tanpa menoleh. Arani maju selangkah, namun Helia menyalangkan tatapan benci padanya. “Pergi,” geramnya. “SEMUA… PERGI!” Munik berbalik, pergi sambil menangis. Yudi menunduk di tempatnya, tak berani menatap putri bungsunya. Akhirnya mereka semua mundur. Pintu menutup. Menyisakan Helia seorang diri di lantai. Dengan wajah baru. Tubuh baru. Ingatan yang koyak. Dan kini... hati yang benar-benar hancur. Dalam sunyi itu, Helia sadar.... Tak ada seorang pun di rumah itu yang berpihak padanya. Tidak satu pun. Ia sendirian. Benar-benar sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN