Tari menimang satu lauk lagi yang ingin dimakannya. Pandangannya mengedar pada jajaran makanan yang terpajang rapi di etalase. Setelah dirasa nemu menu yang sesuai, mata Tari berbinar, seolah tak sabar untuk segera menyantap makananya. "Satu lagi, tambah sambel teri."
Rigi tampak sewot. Heran dengan perempuan di hadapannya, ternyata porsi makan gadis itu jumbo juga ya? Tapi anehnya, perut Tari tidak terlihat buncit. Bahkan sangat ideal. "Dasar perut gentong!" ejek Rigi.
Bukannya kesal, Tari malah tersenyum. Gadis itu memamerkan deretan giginya yang putih ditambah sedikit gingsul yang menyembul antar gusiya membuat gadis periang itu nampak sangat manis. Tari menjulurkan lidah membuat Rigi gemas, "Biarin. Yang penting tetap kurus. Wlee!"
Rigi menarik napas panjang sebelum akhirnya ledekan itu kembali terlontar. "Bukan kurus, tapi cacingan. Coba minum obat!" ejek Rigi membuat Tari geram. Tatapannya menajam seperti ingin membunuh. Ia pun mengerucutkan bibirnya kesal.
"Bisa gak sih, jangan ngeledek? Orang kok seneng banget bikin kesel. Nyebelin deh!" Tari memutar bola matanya malas. Pandangannya mengedar, malas menatap Rigi, yang ada malah makin emosi.
Tanpa menggubris Tari, Rigi mendekat pada ibu warteg, lalu memesan makanan yang sudah ia dambakan. Tanpa mempedulikan Tari, Rigi pun berjalan mencari tempat yang sepi.
"Aku gak dipesanin?" tegur Tari saat Rigi berjalan di hadapannya.
Rigi memandang Tari sekilas, mendekatkan kepalanya lalu berbisik, "Pesan saja sendiri! Punya mulut kan?"
Tari menghentakkan kakinya kesal. Jarinya pun menggenggam menahan emosi. "Ish! Nyebelin banget sih!"
Tampak acuh, Rigi berjalan melewati Tari begitu saja. Tari memandang kepergian Rigi dengan wajah sinis, seolah dendam kesumat belum berakhir.
Tari pun memesan menu yang tadi dirinya idamkan. "Bu, saya mau nasi bali lauk ayam, terus perkedel, orek tempe sama sambel teri. Udah, itu saja. Saya tunggu di sana ya?" Tari menunjuk tempat Rigi berada.
Setelah mendapat anggukan dari ibu warteg, Tari pun berjalan menghampiri Rigi. Mereka duduk berhadapan dengan saling membuang muka. Sama-sama enggan bertatap muka, Tari yang gabut akhirnya memainkan ponselnya yang berada dalam tas.
Teringat jika dirinya punya jajanan yang dibeli dari kantin, Tari pun mengeluarkannya dari dalam tas. Ia terlihat asik bermain ponsel sembari nyemil makanannya. "Mau?" tawar Tari pada Rigi yang terus saja memperhatikan. Tari jadi sungkan sendiri.
"Emang enak?" Jawab Rigi terkesan meremehkan.
Tari menunjuk jarinya menuding Rigi. "Wah, belum tahu dia. Coba aja rasain, pasti nagih." Tari kembali menyodorkan cemilannya pada Rigi.
Dengan ragu, Rigi pun mengambil satu kerupuk seblak dan memasukannya ke dalam mulut.
Wajahnya berbinar kala menikmati lezatnya kerupuk seblak.
"Gimana? Nikmat toh?"
Kali ini Rigi setuju dengan pendapat Tari. Ia tak bisa membantah lagi karena kerupuk seblaknya memang benar-benar lezat.
"Enak banget. Bumbunya terasa di lidah. Saya minta ya?"
Tari segera menyelamatkan semua jajanya. Ia tak rela berbagi dengan Rigi.
"Enak saja minta, beli sendiri!" ketus Tari.
Tak habis akal, Rigi merayu Tari dengan berbagai macam cara. Pokoknya jajan itu harus pindah ke tangannya.
"Besok kamu ambil jajan sepuasmu, aku yang bayar. Mau beli 3 pack, 5 pack, terserah kamu. Gimana? Mau bagi gak?'
Tari tampak gamang memikirkan tawaran Rigi. Tawaran yang cukup menggiurkan. Bisa beli banyak buat stok di rumah. Bukannya Tari matre, diriya bisa saja beli sendiri, Tapi berhubung ada yang nawarin, kenapa enggak?
Tari mengulurkan tangannya untuk menjabat tanan Rigi. "Deal! 5 pack ya?"
Tari tersenyum manis. Perempuan itu tampak girang kerena mendapat rezeki nomplok. "Deal," putus Rigi sembari membalas uluran tangan milik Tari.
Rigi menaruh beberapa bungkus kerupuk sebelak di depannya. Dengan hati tak rela, Tari terpaksa membagi jajannya pada lelaki itu.
Dilihatnya, Rigi tampak sangat menikmati jajannya. Sampai-sampai ia tak sadar jika mulutnya penuh dengan bumbu sambal.
"Nikmat banget ya, makan aja sampai belepotan, kayak anak kecil." Tari yang risih melihatnya, akhirnya mengambil tissue lalu mengelap mulut Rigi yang belepotan.
Dengan jarak sedekat ini, Rigi merasa sangat gugup. Apalagi dengan perhatian kecil yang Tari beri malah membuatnya salah tingkah.
Untuk menyehatkan detak jantungnya yang berdebar, buru-buru Rigi merebut tissue itu dari tangan Tari. Ia tidak mau jantungnya olah raga akibat sikap Tari padanya.
"A-- aku bisa sendiri kok." Rigi mengambil paksa tissue itu. Ia sampai menahan napas saking gugupnya. Semoga saja, Tari tidak mendengar detak jantungnya yang bertalu.
Tari pun mundur, membiarkan Rigi membersihkan mulutnya sendiri. Ia kemudian melanjutkan nyemil kerupuk seblak yang sempat tertunda.
"Tar, kenapa kamu keras kepala banget sih jadi perempuan? Bar-bar banget, gak ada lembut-lembutnya, seolah ga ada takutnya pada siapapun. Jarang loh saya bertemu perempuan yang keras pendirian kayak kamu."
Tari tertawa masam. Sejenak, ia meratapi nasibnya yang malang. Tawa getir miliknya kembali mengudara, seolah luka lama yang belum sembuh, kembali mengaga. "Aku dari kecil sudah terbiasa hidup keras. Ketika teman-teman seusiaku, kalau pingin apa-apa langsung minta, aku harus kerja keras dulu, menabung sampai terkumpul uangnya. Almarhumah nenek selalu ngajarin aku buat hidup mandiri. Aku gak boleh ketergantungan sama siapa pun, beliau juga ngajarin aku kalau kita harus bisa tegas dalam menentukan pilihan. Jadi aku udah terbisa keras dari didikan nenek."
"Terus kenapa kamu mau tinggal sama Mama? Orang tua kamu di mana?"
Pertanyaan Rigi seolah menyayat hati Tari. Pilu rasanya. Tanpa sengaja, air matanya menetes begitu saja.
Rigi mengernyit bingung melihat Tari menngis. Ia pun berinisiatif mengambil tissue lalu menghapus air mata yang mengalir dari pelupuk matanya.
"Kalau gak sanggup cerita, gak perlu cerita. Maaf ya, kalau aku nyinggung ini." Rigi berusaha menenangkan Tari, tapi gadis itu menggeleng pelan seraya tersenyum getir.
"Its oke." Tari menarik napas sejenak, ia berusaha meyakinkan hatinya agar kuat, setelah itu berusaha melanjutkan lagi ucapannya. "Aku yatim piyatu sejak lahir. Orang tuaku terlibat kecelakaan maut. Dari kecil, aku cuma hidup berdua sama nenek. Setelah nenek pergi, hidupku sebatang kara. Aku tidak punya siapa-siapa lagi sekarang."
Rigi turut merasakan kepulauan yang Tari alami. Gadis yang hebat.
Rigi meraih tangan Tari. "Kamu punya aku sekarang. Jangan merasa sendiri lagi ya?"
Tari menatap Rigi nanar. Tangisnya kembali pecah. "Makasih, meski kamu nyebelin, tapi kamu masih punya rasa empati yang tinggi. Aku boleh peluk? Sebenarnya aku rapuh dan butuh sandaran. Tapi aku berusaha tangguh untuk menutupi kelemahanku."
Dengan senang hati, Rigi merentangkan tangannya. Menyambut tubuh Tari yang hanyut diperlukannya. 'Di luar sok keras, padahal hatinya sangat lembut.'
Rigi mengelus lembut kepala Tari. "Kamu udah nyaman sama saya?"
Pertanyaan itu membuat Tari terbatuk.