Pulang Bareng

1015 Kata
Dengan hati yang tidak ikhlas, Tari terpaksa jalan kaki dari kampus menuju halte tempat janjiannya dengan Rigi. Tari mengumpat kesal lantaran tak sengaja kakinya tersandung batu di pinggir jalan. "Aduh! Kurang ajar! Siapa sih yang naruh batu di sini?" Tari memandang kakinya yang sedang berdenyut. Untung saja tidak berdarah, jadi gadis itu bisa bernapas lega. "Perempuan memang gitu, kalau lagi kesal, bawaannya marah-marah mulu, lihat orang napas aja salah." Tari terlonjak kaget. Ia memegangi jantungnya yang hampir melompat dari tempat. Istighfar berkali-kali ia lontarkan, sebelum menoleh pada Wisnu yang sudah berjalan di sebelah Tari. "Ih, Kak Wisnu ngagetin aja deh! Jantungku hampir copot." Wisnu tampak acuh. Sorot matanya memandang Tari lekat. Tari yang dipandang seperti itu jadi salah tingkah. "Masih hampir, kan? Kenapa itu wajahnya ditekuk masam? Entar cantiknya hilang loh?" Gombalan Wisnu membuat Tari makin tersipu. Tari pun berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Tumben, Kakak gak bawa motor? Naik angkot juga kah?" Wisnu menggeleng pelan. netranya tetap tak lepas dari Tari. "Enggak, aku bawa motor kok. Ini tadi habis fotokopi terus gak sengaja lihat kamu keluar dari gerbang, jadi aku samperin ke sini." Tari melirik tumpukan map yang ada di tangan Wisnu. Sepertinya, itu berkas penting. Tari mengangguk paham. "I see, kalau gitu, aku duluan ya, Kak." Rigi mencegah lengan Tari. Lelaki itu berbaik hati untuk memberinya tumpangan. "Nggak mau bareng aku aja? Aku antar sampai rumah deh." Tari menggeleng pelan seraya tersenyum manis untuk menghargai lelaki itu. Meski kesal dalam hati belum sepenuhnya hilang, tapi Tari tidak mau meniukkannya di depan Wisnu. Di tatapnya Wisnu lekat-lekat. Sebenarnya, tidak enak menolak niat baik lelaki itu, tapi bagaimana lagi, Rigi sudah memberikan ultimatumnya. Tari menggigit bibir bawahnya kala melihat kekecewaan di wajah Wisnu. Lantas, lelaki itu pamit untuk mengambil motornya di kampus. "Oh, ya sudah kalau gitu. Aku pamit dulu ya? Mau ambil motor." Hati Tari sungguh merasa bersalah. Saat Wisnu mulai melangkah, Tari mencekal pergelangan tangan Wisnu, sontak membuat lelaki itu menghentikan langkahnya. Ada setitik harapan dalam heti Wisnu untuk Tari. "Iya, kenapa, Tar?" tanya Wisnu basa-basi. Tari merunduk dalam. Matanya tak sanggup memang sorot mata milik Wisnu. "Maaf ya, Kak? Bukan maksud aku nolak tawaran Kakak, tapi--" "Udah, gak perlu dijelasin lagi ya? Kalau gak mau aku antar juga gak papa kok. Santai saja." Wisnu menepuk pundak Tari sambil tersenyum paksa. Lelaki itu kembali mengangkat kakinya dengan langkah yang berat. Tari hanya bisa menatap kepergian Wisnu dengan hati yang pilu. Rasa bersalahnya pun tak kunjung hilang dari hatinya. Tari berbalik kemudian melanjutkan lagi perjalanannya menuju halte. Sesampainya di halte, Tari melihat motor Rigi yang sudah terparkir rapi beserta orangnya yang tengah menangkring di atasnya. Mata Rigi memandang tajam pada Tari yang berjalan lesu menghampirinya. Sepertinya Rigi nampak kesal. Rigi melirik sinis pada Tari yang berdiri tepat di sampingnya. "Udah lama?" tanya Tari hangat dengan mengesampingkan egonya. "Pakai tanya lagi! Ditungguin dari tadi malah asik ngobrol sama orang lain. Bikin bete aja!" Tari menahan senyumnya. "Bete apa cemburu? Lagian, kok Kak Rigi tahu kalau aku sama Kak wisnu? Perasaan motor Kakak gak ada lewat?" Meski salah tingkah, Rigi harus terlihat stay cool di mata Tari. Lelaki itu harus menjaga wibawanya agar pesonanya tidak luntur. "Siapa juga yang cemburu? Pede amat jadi orang!" Tari mengangguk anggukkan kepalanya. Ekspresinya terkesan seperti orang meledek. "Oh, nggak cemburu? Ya udah, kalau gitu aku mau minta antar Kak wisnu pulang saja, tadi dia nawarin." Tari pura-pura melangkah. Tapi dengan cepat, Rigi malah mencegah pergerakannya. Lelaki itu terlihat murka, bahkan otot-otot di lehernya terlihat cukup jelas. Tari jadi ngeri sendiri melihatnya. "Bacot! Buruan naik! Jangan pancing emosiku ya?" Rigi menyerahkan helm bogo coklat bergambar hellow kitty pada Tari. Matanya nyalang memandang Tari yang hampir ketakutan. Ragu-ragu, Tari mulai menerima helm itu lalu naik di boncengan Rigi setelah menengok kanan kirinya dan melihat situasi aman. "Pegangan, aku ngebut!" peringat Rigi sontak membuat gadis itu melingkarkan tangannya erat di pinggang Rigi. Moror ducati warna hitam manis itu segera melaju membelah jalan raya yang masih lengang. Di tengah perjalanan, Rigi memegangi perutnya yang terasa keroncongan. Diliriknya di spion, Tari tampak mengarahkan pandangan lurus ke depan dengan tangan tak beralih sedikit pun pada pinggang Rigi. "Tar, kamu laper gak? Perutku keroncongan nih, dari tadi belum makan." Terdengar suara Rigi yang berteriak agak kencang. Takut jika Tari tidak mendengarnya. "Nggak usah teriak-teriak! Aku nggak b***k!" protes Tari kesal. Rasanya ingin sekali membenturkan lelaki itu di tembok, atau menceburkannya di sungai sss. "Kamu laper gak? Perut aku laper banget, mau makan," ulang Rigi sekali lagi dengan suara yang lebih pelan. Ia tidak mau membuang tenaga dengan berdebat sama Tari. Dari kaca spion, Rigi bisa melihat gelengan Tari yang lemah. "Nggak, tadi aku sama Cita udah makan di kantin. Kalau mau makan, kamu saja yang makan. Aku gak," Rigi mengangguk paham. Gak papa lah makan sendirian, asal perutnya bisa kenyang. "Ya udah, kita ke warteg biasa ya? Aku mau makan sayur asem, ikan asin sama dadar jagung. "Minta," rengek Tari. Rigi memutar bola matanya jengah. Mau heran, tapi ini Tari. Rasanya ingin menceburkan gadis itu ke empang. "Tadi ditawarin gak mau, sekarang minta? Bilangnya udah kenyang, plin plan banget." sindir Rigi pedas. "Ih, bukan nasinya, tapi dadar jagungnya. Jangan sotoy deh jadi orang," protes tari tak terima. Ia pun menyemprot rigi dengan ocehannya. "Oh," hanya satu kata yang mampu terlontar dari mulut Rigi. Tari memberengut kesal. Wajahnya ditekuk masam, sampai tanpa sadar tangannya terlepas dari pegangan pada pinggang lelaki itu. Rigi memukul tangan Tari lalu menariknya kembali ke tempat asal. "Pegangan yang bener, kalau jatuh entar nyalahin aku. Jangan ngebangkamg deh jadi cewek!" Tari memberengut kesal. Pandangannya menatap arah lain. "Iya, iya, maaf. Kelupaan tadi." "Alasan!" sindir Rigi. Tak mau meladeni Rigi, Tari memilih diam. Ia tidak ingin berdebat dengan Rigi yang super ngeyel. Sesampainya di warteg, Rigi menghentikan motornya. Ia mematikan sepeda motornya dan menyuruh Tari untuk turun. Tari terlihat sangat antusias melihat warteg yang penuh dengan berbagai masakan rumahan yang lezat. "Kamu mau apa? Dadar jagung aja?" Tari tampak menimang tawaran Rigi. Melihat makanan yang menggiurkan, membuatnya khilaf mata. "Aku mau nasi bali ayam, perkedel kentang sama orek tempe." Rigi mengernyit. "Katanya gak laper?" "Hehe khilaf."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN