Bukan Mayang namanya, kalau tidak bisa membuat sang putra luluh. Suasana membaik dengan cepat. Rigi bersedia makan bersama, mengekor di belakang Mayang bersama Tari. Tentu saja berhasil karena bujuk rayu dari Mayang. Wanita itu mempunyai banyak cara untuk meluluhkan hati Rigi dengan mudah.
Di meja makan, sudah ada suami, serta anak bungsu dari Mayang. Keduanya duduk di tempat masing-masing, lalu disusul oleh Mayang, Rigi, dan Tari. Ketiganya pun langsung mengambil tempat duduk kosong. Keluarga tersebut akhirnya lengkap, menghangat seketika. Meski di sana seorang lelaki tengah memasang muka datar nan pasrah.
Mayang tersenyum melihat anggota keluarganya telah lengkap di meja makan. Sembari merekahkan senyum di bibir, ditatapnya sang suami di kursi sebelahnya. Bergantian dengan Rena—sang anak—yang duduk di seberangnya. Lantas, menarik lengan Tari dengan lembut. "Papa, Rena, ini Tari. Perempuan hebat yang sering aku ceritain."
"Oh, ini Kak Tari? Salam kenal, Kak Tari. Aku Rena, adiknya Bang Rigi." ujar Rena antusias. Perempuan itu menganggukkan kepala mendengar cerita sang mama. Menelisik ke arah Tari dengan tatapan ramah.
Tari membalas dengan senyum yang tak kalah manis. Menatap adik Rigi dengan tatapan lembutnya. "Salam kenal juga, Rena. Rena cantik," pujinya membuat sang empu sontak tersipu malu. Bahkan gadis cantik itu sempat menunduk dan tersenyum kikuk.
Beralih dari Rena, Tari menatap ke arah suami Mayang yang berada di kursi sebelah Rena. Menatapnya tanpa angkuh, lalu menganggukkan kepalanya hormat. "Om, salam kenal. Saya, Tari." ujar Tari sopan memperkenalkan diri.
Suami Mayang membalas senyuman Tari ramah. Menganggapnya seperti putrinya sendiri. "Iya, Tari. Saya sudah tahu kamu dari cerita istri saya. Jangan panggil saya Om. Panggil saja Papa Handoko," jawab suami Mayang bernama Handoko.
Lagi-lagi, Tari membalas dengan senyum. Merasa limpahan kasih sayang yang keluarga Mayang berikan teramat besar untuknya. Perasaan sungkannya perlahan memudar, berganti dengan kehangatan di hatinya. Lantas, kemudian ia mengangguk kikuk. "Baik, P-Pa."
Tari dapat membaur dengan keluarga Mayang sangat cepat. Perempuan berparas cantik tersebut tak berhenti menyembunyikan senyum yang merekah sempurna di bibirnya. Tanpa disadari oleh mereka, ada sosok pria yang tengah menatap ke arah Tari dengan tatapan muak. Entah mengapa Rigi merasa kesal dengan yang Tari pancarkan.
Namun, tak lama. Sebab interupsi dari Mayang berhasil memecah suasana. Wanita itu mengambil sepasang sendok dan garpu bebarengan, kemudian mengisyaratkan kepada yang lain untuk segera menikmati hidangan di meja makan.
"Ya, sudah. Kita makan sekarang! Yang masih mau ngobrol sama Tari dilanjut nanti saja setelah makan!" perintah Mayang.
Hanya denting sendok dan piring yang beradu di meja makan tersebut. Tak ada yang berniat untuk memecah keheningan di antaranya. Keluarga tersebut makan dengan tenang, tanpa gangguan apapun. Hanya hening yang tercipta, ditambah desir angin yang menjadi melodi penenang.
Satu persatu mulai merampungkan acara makannya. Masing-masing dari mereka mengakhiri dengan menandaskan air putih dari gelas. Sama halnya dengan Tari. Perempuan tersebut mengakhiri dengan membasahi kerongkongan. Kemudian, merapikan sendok beserta alat makan untuk dibawa ke dapur.
"Ma, Pa, Tari ke belakang dulu, mau beresin," pamit Tari. Ia berdiri membawa piring bekas makannya beserta dengan gelas air yang ia pakai. Namun, belum sempat melangkah, interupsi dari Mayang berhasil membuatnya terhenti. Atensi Tari beralih pada Mayang yang duduk di sebelahnya. Mengernyitkan dahi sebagai bentuk kode bertanya.
"Kamu di sini saja, Tar. Biar Bibi yang beresin." ujar Mayang. Segera menarik tangan Tari untuk kembali mendudukkan diri. Kemudian, meneriaki asisten rumah tangganya agar segera membereskan meja makan. Mayang juga meminta Tari untuk kembali meletakkan piring bekas, serta gelas yang gadis itu gunakan.
"Baik, M-Ma," jawab Tari sungkan. Ia kembali mendudukkan diri dan meletakkan alat makannya di atas meja. Kemudian, mengalihkan atensinya, tertuju pada Mayang.
Sedangkan Mayang, wanita itu menatap satu persatu keluarganya dengan serius. Mengisyaratkan sesuatu melalui kontak mata dengan tatapan memohon.
"Jangan ada yang meninggalkan tempat! Karena Mama mau bicara penting."
Interupsi dari Mayang berhasil membuat semuanya mengerutkan dahi bersamaan. Handoko yang tengah mengelap bibirnya dengan tisu pun menatap lekat ke arah sang istri. Begitu pun dengan Rena, yang hendak pergi, seketika mengurungkan niatnya. Sedangkan, Rigi. Pria itu menatap datar dan memasang raut pasrah. Meletakkan kembali gelas yang ia gunakan untuk minum. Mencoba menyimak apa yang akan mamanya katakan.
Setelah berhasil tenang, tanpa ada pergerakan. Fokus semuanya tertuju pada Mayang. Wanita itu tengah memasang mimik serius. Menatap bergantian ke arah anggota keluarganya yang tengah bertanya-tanya.
"Besok, kita foto pre-wedding buat nikahan Rigi dan Tari," paparnya to the point.
Di tempat duduknya, Rena terlihat sangat kaget. Mendengar kata pre-wedding yang disebut oleh mamanya, membuat asumsinya jatuh pada sesuatu. "Kak Tari sama Bang Rigi mau nikah, Ma?" tanyanya memastikan.
"Iya, Sayang." Tanpa segala keraguan, Mayang menjawab pertanyaan Si Bungsu dengan mantap. Bibirnya tak berhenti mengumbar senyum bahagia.
Bukan hanya Rena, sang suami Mayang pun terlihat terkejut dengan perkataan sang istri. Namun, Handoko segera menganggukkan kepala paham.
"Wah, fix. Rena harus tampil cantik nih," celetuk Rena.
Kalimat tersebut berhasil membuat sang kepala keluarga, menggeleng tak paham. Disertai dengan tawa kecil yang menguar begitu saja. Sungguh putrinya sangat random sekali, pikirnya. Yang ada di pikiran Si Bungsu adalah selalu bertekad untuk tampil cantik. Padahal, putrinya sudah cantik sejak lahir. Berkat aset besarnya yang tak mengalami kegagalan. "Kamu, tuh, Ren. Dasar kebiasaan!" ujar Handoko disertai dengan gelengan kepala.
Rena yang mendengar penuturan sang ayah, memasang muka menyengir. Antara malu, juga bangga dengan kalimatnya. Tentu dari banyak wanita di seluruh penjuru dunia, akan menomorsatukan penampilan. Meski dari mulut mereka melontarkan kalimat untuk terlihat cantik alami dengan rendah hati, ketimbang harus memoles diri, dan membiarkan perasaan dipenuhi oleh kebanggaan yang terlalu tinggi.
Dalam diam, Rigi yang sedari tadi sudah tidak mood, mendengar penuturan mamanya, kecamuk perasaannya kian berantakan. Tanpa mengucap sepatah kata ataupun paling tidak merespon ucapan sang mama, langsung meninggalkan meja makan tanpa berpamitan. Mayang bisa paham dengan anak sulungnya itu, membiarkan Rigi berdamai dengan kenyataan. Mayang hanya mampu melihat bagaimana punggung Rigi pergi tanpa ingin berucap padanya ataupun yang lainnya. Tak lama kemudian, Tari juga mengucap pamit untuk kembali ke kamar. Berdalih akan melanjutkan istirahatnya setelah berbenah dengan perlengkapannya yang masih berada dalam koper. Namun, sebelum itu Tari berniat menemui Rigi.
Meninggalkan meja makan dengan perasaan sungkan, Tari berjalan menuju kamarnya. Namun, tak serta merta ia langsung menuju kamar. Seperti niat di meja makan, Tari akan menemui Rigi terlebih dulu. Ada sesuatu yang ingin Tari tanyakan dari lelaki itu. Akhirnya, Tari memutuskan untuk mengganti langkah kakinya menuju kamar Rigi.
Di depan kamar Rigi, mendadak ia diserang oleh keraguan. Niat yang telah ia mantapkan sebelum menuju kamar pria itu, mendadak menjadi maju mundur. Tari takut jika kedatangannya akan mengganggu ketenangan pria itu, juga berimbas marah kepadanya. Tari benar-benar mendadak mencuit seketika. "Ketuk, enggak, ketuk, enggak," gumamnya pelan. Entah ia bertanya kepada siapa dengan kondisi sepi seperti ini.
Pada akhirnya, tangan Tari mengetuk ragu pada papan kayu tersebut. Dengan perasaan penuh kehatian, Tari mengulang ketukan sebanyak tiga kali. Dan, menunggu respon dari pemilik kamar.
Merasa tak mendapat respon, akhirnya Tari menghentikan ketukannya. "Mas Rigi?" panggil Tari. Masih belum mendapatkan jawaban, akhirnya Tari mengetuk papan kayu tersebut lagi.
"Mas Rigi?" Masih belum mendapat jawaban.
Akhirnya Tari memutuskan untuk sedikit berteriak. "Rigi?!" Namun, hasilnya tetap nihil. Akhirnya Tari pasrah.
"Ke mana, sih, ini orang!" gerutu Tari.
Perasaan kesal tumbuh seketika. Ia ingin sekali menendang pintu di depannya atau mungkin langsung membuka saja. Namun, mengingat ia memiliki batasan etika terhadap kedatangannya yang baru saja beberapa jam yang lalu. Membuat Tari urung melakukannya. Ia mengelus dadanya, menyugesti dirinya agar tetap bersikap tenang. Kemudian, menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Mengambil ancang-ancang untuk mengetuk papan kayu tersebut.
Saat Tari akan mengetuk pintu lagi, tiba-tiba pintu terbuka. Membuatnya kaget, sekaligus kikuk seketika. "Mas Rig–" pintu tiba-tiba terbuka sempurna. "Eh, maaf, Mas. Aku gak sengaja," ujar Tari merasa bersalah.
Ternyata, bukan pintu yang Tari ketuk, melainkan kening Rigi. Tari menggigit bibir bawah sebagai pelampiasan, melihat Rigi berdiri di depannya memberikan tatapan tajam nan garang. Rigi terlihat begitu kesal. Ekspresi wajahnya begitu datar. Melihat Rigi menampilkan mimik tersebut, membuat nyali Tari benar-benar menciut. Seketika bulu kuduknya pun merinding.
"Ngapain kamu ke kamar saya?!" ucap Rigi dingin. Ia menatap tak suka ke arah Tari.
"Em, anu. A-Aku– ...." Tari mengucapkan kalimat dengan kikuk, terdengar terbata nadanya. Ia terlihat seperti sedang ketakutan. Namun, tak membuat pria pemilik kamar tersebut meluluhkan hatinya dan bersimpati sedikit padanya. Bahkan tatapan iba saja tidak lelaki itu berikan.
"Ngomong yang jelas!" bentak Rigi. Ia merasa kesal, ada yang mengganggu ketenangannya.
Di tempatnya berdiri, Tari tersentak kaget. "Aku mau bicara," terang Tari. Ia mengalihkan perhatian dengan menelisik sekitar. "Tapi, jangan di sini. Nanti Mama lihat," lanjutnya lagi, setengah berbisik dan membuat Rigi sukses memutar bola matanya malas.
"Masuk!" Perintah Rigi cepat.
"Tapi ...." Tari menggantungkan kalimatnya, membuat Rigi semakin dirundung kesal. Pria itu sudah mengambil ancang-ancang menutup pintu.
"Masuk atau kamu bisa pergi dari sini sekarang?" tanya Rigi tegas. Nadanya terkesan dingin dan membuat Tari mendesah pasrah.
Tari menganggukkan kepala cepat. "Oke, baiklah. Aku akan masuk." Final Tari. Lantas segera mengekor di belakang punggung tegap Rigi yang telah lebih dulu masuk kamar. Membiarkan Tari menutup papan kayu tersebut tanpa sepatah kata.
Rigi memilih duduk di tepi ranjang kamarnya. Sedangkan Tari, perempuan itu berdiri di samping ranjang. Menatap ke arah Rigi dengan tatapan yang begitu lekat.
"Mau bicara apa?" tanya Rigi malas.
Tari menarik napas dalam-dalam. Rigi benar-benar pria dingin, seperti es batu. "Emmm ... soal pernikahan itu, kenapa kamu menerimanya?" tanya Tari to the point. Nadanya terkesan kikuk, tetapi ia mengeluarkan suara tanpa ragu.
Rigi membuang napas kasar. Mengalihkan pandangan menuju ke arah lain. "Kamu pikir saya mau nikah sama kamu? Kalau ada pilihan lain, saya juga ogah nikah sama kamu. Saya cuma gak mau mama saya sedih mendapat penolakan dari saya. Jadi, mau gak mau saya harus terima. Kamu sendiri, kenapa mau nikah sama saya? Apa kamu hanya ingin populer karena nikah sama seorang Rigi Alamsyah dan bisa menjadi terkenal di kampus?" tuding Rigi panjang lebar. Ia mengembalikan tatapannya seperti semula pada Tari. Menatap gadis itu dengan penuh selidik.
Mendengar tudingan Rigi yang cukup membuat hati tercubit, Tari membalas dengan tatapan sinis. Enak saja Rigi menuduhnya sembarangan. Tentu ia tak terima atas tuduhan tak jelas yang Rigi lontarkan. "Siapa juga yang mau jadi istri kamu? Aku sama sekali gak minat buat jadi populer. Asal kamu tahu, aku cuman nurutin permintaan terakhir nenekku. Aku juga gak mau melihat Mama Mayang sedih." jawab Tari setengah kesal. Bahkan nada yang Tari keluarkan juga terdengar meremehkan nan menantang.
Di tempat duduknya, Rigi hanya diam. Toh, cepat atau lambat, dia juga akan menikah dengan gadis itu. Merasa bahwa obrolannya sama sekali tak bermutu. Sebab ada ataupun tidaknya keputusan yang disepakati oleh Tari dan Rigi, tetap saja Mayang memiliki kuasa atas segalanya. Mayang tetap akan membuat keduanya menikah dalam waktu dekat ini. Membuat Rigi benar-benar merasa jika pembicaraannya kali ini bersama Tari tak ada gunanya.
Sedangkan Tari, wanita itu terlihat sedang berpikir keras. Merasa tak ada jawaban dari Rigi, ia mengembuskan napas lelah. Mendesah pasrah, merasakan bagaimana sikap pria di depannya.
"Aku ada kesepakatan untuk pernikahan kita," ucapnya disertai dengan seringai penuh makna.
Dahi Rigi sontak mengerut. Alisnya bertaut, tak mengerti. "Kesepakatan?"