Hidup Masing-Masing

1855 Kata
Rigi tak sabar mendengar kelanjutan dari ucapan Tari. Akan tetapi, dibuat semakin kesal karena perempuan itu tak kunjung bicara. Perempuan itu membuat emosinya hendak meluap. "Kesepakatan apa? Buruan ngomong! Jangan buat waktu saya jadi terbuang!" ungkapnya tegas. Melihat ketegasan Rigi dari nada bicaranya, Tari merotasikan bola matanya malas. "Iya, sabar! Galak amat, sih. Gak usah galak-galak! Gimana mau jadi suami yang baik, kalau galak gitu." ujar Tari diiringi dengan nada sedikit menyindir. Namun, dasarnya Rigi sejenis pria acuh tanpa perasaan, terutama kepada Tari. Lelaki itu malah mengernyitkan dahi dan menatap perempuan di depannya sengit. "Memang siapa yang mau jadi suami kamu? Orang gila juga pasti ogah!" Mendengar ungkapan Rigi, Tari membulatkan matanya lebar-lebar. Baginya, ini sebuah pelecehan. Tari tidak terima direndahkan seperti ini. Meski kenyataannya, dirinya gadis kampung, tetapi Tari masihlah memiliki kehormatan yang ia junjung tinggi. "Banyak! Mata kamu saja yang seliweran! Gak bisa bedain mana berlian dan batu empang. Situ waras?" Bukannya mereda, justru Rigi dibuat semakin kesal. Secara tidak langsung, Tari telah berani melempar balik hinaan untuknya. Persis seperti menyiram gas minyak ke dalam bara api. Tentu saja bukannya memadam, apinya kian berkobar. "Maksud kamu, selera saya rendah? Asal kamu tahu, cewek saya jauh lebih cantik dari kamu. Pokoknya jauh lebih berkelas," sanggah Rigi. Tari tertawa sumbang. Mengikuti gaya bicara Rigi dalam hati. Merasa apa yang disebut berkelas oleh Rigi mungkin seseorang yang Tari kenali. "Senior belagu itu? Dandan aja kayak ondel-ondel! Kayak gitu yang dikata berkelas?" jawab Tari meremehkan. Rigi semakin muak dibuatnya. Pria itu masih berusaha meredam emosinya. "Gak usah basa-basi, bisa?" tudingnya cepat. "Atau, kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, pintu keluar ada di sebelah sana! Tanpa perlu saya persilakan dan saya usir lagi seharusnya." Tari benar-benar merotasikan bola matanya untuk ke sekian kali. Pria di depannya benar-benar menyebalkan. Ia harus menyiapkan mental untuk ekstra sabar menghadapi sikapnya. "Oke, oke. Aku—" "Cepat, katakan intinya! Tanpa basa-basi!" sela Rigi cepat, bahkan di akhir kalimat ia mempertegas ucapannya. Tari duduk di tepi ranjang, bersamaan dengan itu, Rigi dengan selonjoran dengan posisi mapan tidur tanpa memperdulikan Tari yang ada di kamarnya. Gadis itu tampak menghembuskan napas kasar sebelum ia berterus terang pada maksud dan tujuannya nekad datang ke kandang macan. "Iya, kesepakatan. Jadi, setelah kita nikah nanti, di depan keluarga, kita terlihat seperti suami istri pada umumnya. Kita terlihat romantis, seolah-olah kita sudah bisa menerima perjodohan ini, tapi di luar rumah, kita hidup masing-masing. Jalani kehidupan masing-masing, tanpa ada yang bisa mencampuri urusan satu sama lain. Kamu bebas berpacaran dengan siapa pun, tanpa perlu aku ganggu. Begitu pun sebaliknya. Bagaimana?" Mendengar penjelasan Tari, Rigi nampak berpikir. Ini cukup menguntungkan bagi dirinya. Dengan begitu, ia bisa bebas melakukan apa saja di luar sana. Tanpa harus memikirkan apapun dengan hubungannya bersama gadis itu. Bukankah memang itu yang Rigi inginkan selama ini? Setelah berpikir, Rigi menganggukkan kepalanya. "Oke, saya setuju. Kamu gak boleh mencampuri urusan saya, dan saya tidak akan pernah mencampuri urusan kamu." Tari tersenyum puas, rungunya benar-benar menangkap persetujuan dari Rigi. "Baik, deal, ya? Tapi, ingat! Jangan sampai keluarga ada yang tahu! Aku gak mau bikin Mama Mayang kecewa." "Iya, bawel banget, sih! Saya juga gak mau bikin mama saya sedih," timpal Rigi. Entah bagaimana jika ia menikah dengan perempuan bernama Tari ini. Akan ada drama kucing dan tikus yang menyelimuti sepanjang hari usai akad berlangsung. Bahkan mungkin bisa lebih dari itu. Membayangkan saja membuat bulu kuduk merinding. Apalagi benar-benar terjadi. Rigi bergidik sendiri di tempatnya. Suasana hening, tak ada lagi celetuk suara yang keduanya keluarkan. Sama-sama tenggelam dalam hening. Rigi yang tak betah dengan keberadaan perempuan itu hanya terdiam. Merasa tak ada yang akan dibahas lagi, Tari pun hendak beranjak dari kandang macan tersebut. Namun, sebelum dirinya benar-benar pergi, ia harus memastikan sekali lagi. "Janji, ya?" Bukannya membalas, Rigi justru menatap ke arah Tari dengan tatapan Rigi murka. Dengan gesit lelaki itu mengambil bantal yang ada di sampingnya, kemudian melempar ke Tari. "Pergi, gak?" Tari berhasil menghindari bantal yang hendak menghantam wajahnya. Ia menatap pongah ke arah Rigi yang masih menatapnya tajam. Tatapan Tari begitu menantang, membuat Rigi benar-benar murka. "Atau mau saya lempar pakai gelas?" tawar Rigi. Sontak ia melirik gelas kaca yang berisi air putih di atas nakas kamarnya. Tak ingin membahayakan nyawanya sendiri, Tari pun buru-buru berlari meninggalkan kamar lelaki itu. Akan tetapi, sebelum benar-benar menghilang, sempat mengucap sepatah kata perpisahan. "KDRT!" Rigi tak memedulikan lagi. Ia langsung menutup pintu kamarnya cepat. Lalu, bergegas kembali ke tempat tidur. Mengarungi mimpi dengan segera, kendati tubuhnya telah lelah ia ajak beraktivitas seharian. Sedangkan di kamarnya, Tari tidak bisa tidur. Usai menemui Rigi, otaknya terus kepikiran dengan nasibnya setelah menikah dengan Rigi nanti. "Arghhh! Kenapa bisa gini?" keluh Tari bermonolog. "Kenapa, sih, semuanya jadi kayak gini?" Lagi, monolog Tari. Tari menangis dengan perasaan yang campur aduk. Berbagai cara Tari lakukan untuk bisa tertidur. Dari menghadap ke kiri, ke kanan, berguling sampai tengkurap, semuanya tidak berhasil. Bahkan, Tari berusaha memejamkan matanya seerat mungkin. Membuang seluruh pikirannya dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Namun, tak berhasil. Tari terlihat frustasi. "Kenapa? Kenapa?" Dengan perasaan marah, Tari mengusap wajahnya kasar. Sedetik kemudian, Tari menangis dalam diam. Pikirannya sontak tertuju pada neneknya. Andai neneknya masih ada, pasti nasibnya tidak akan semalang ini. Nenek akan mendekapnya erat, dan berkata, "Semua akan baik-baik saja." Nenek pasti akan memenangkan dirinya. Tentu semua itu hanyalah kehaluan Tari semata. Nyatanya, kenyataan tidak sebaik mimpi. Sebentar lagi, statusnya akan berubah menjadi seorang istri. Seorang istri yang tak memiliki rasa cinta terhadap suami. Pun sebaliknya. Apa yang akan terjadi di masa depan jika sejak awal saja tidak ada cinta yang tumbuh di hati mereka? "Bagaimana bisa aku menjalani semua ini, Nek? Bagaimana cucumu bisa bertahan, Nek? Nek, tolong aku!" Monolog Tari lagi, membiarkan perasaan kacaunya meluap begitu saja. Tak memedulikan bahwa hanya dirinya seorang diri dalam ruangan tersebut. Hampir setengah jam Tari menangis. Matanya yang sembab membuatnya merasa sangat lelah. Tari merasa sangat mengantuk. Setelahnya, ia menutup wajahnya dengan bantal. Tak lama terdengar suara dengkuran halus. Tari terlelap dengan pipi yang basah. Tubuh lelah itu berhasil mengarungi mimpi dengan damai, usai merasakan susahnya memejamkan mata, lalu melepaskan sejenak beban dalam diri. *** Mentari pagi menyapa penuh kehangatan. Pelukan mesra sang surya membuatnya mengerjap. Tari terbangun oleh silau matahari yang masuk retinanya. Sinarnya lolos dari balik kaca mati yang tembus pandang, serta lapisan tirai putih. Tari menyipitkan matanya, lantas mengambil bantal, berusaha menghalangi sinar matahari yang masuk. Dinginnya AC di kamar, membuatnya enggan beranjak. Tubuhnya menggeliat kecil diiringi desisan pelan, kala dinginnya suhu ruangan meresap ke tulang. Selimut yang sedikit tersibak dari kakinya, ditarik lagi seperti posisi semula. Ia rapatkan selimut tebal tersebut hingga membungkus tubuhnya. Tak lama kemudian, telinga Tari dikagetkan dengan suara alarm yang berdering nyaring. Memaksanya untuk terbangun. Dengan malas, Tari mengucek dua matanya beberapa kali. Kemudian melakukan sedikit peregangan di posisi terlentang. Setelah berhasil membuka mata lebar, ia dikejutkan oleh posisi jarum jam yang berada pada pukul 06.30. Sukses membuat perempuan itu bangkit dari tidurnya. Dengan panik, Tari melompat dari kasur. "Waduh, udah jam segini. Udah kesiangan, telat subuhan pula. Double kill rasanya, Ya Allah," rutuknya pada diri sendiri. Tari duduk di tepi ranjang sebentar. Untuk mengembalikan nyawanya yang belum terkumpul sempurna, lantas meraih air minum yang tersedia di gelas di atas nakasnya. Menenggak isinya hingga habis, tak lupa ia juga mematikan alarm di jam kecil nan menggemaskan itu. Setelah dirasa nyawanya sudah benar -benar terkumpul, buru-buru ia bergegas ke kamar mandi. Menyambar handuk yang tergantung di dekat kamar mandi, lalu melaksanakan ritualnya. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk Tari menyelesaikan ritual paginya. Usai bersih dan wangi dengan baju santai ala kuliahan, Tari berdandan tipis untuk menjaga penampilannya. Memoles bedak ke wajahnya, tak lupa ia menyisir dan merapikan tatanan rambutnya. Lalu segera keluar kamar untuk bergabung bersama yang lain. Tanpa Tari sadari, ternyata mereka sudah berkumpul lengkap, menunggu kehadiran Tari di meja makan. Hanya dirinya yang terlambat, pikir Tari. "Pagi Ma, Pa, Rena dan Mas Rigi, maaf, Tari kesiangan," sapa Tari sungkan. Ia menundukkan kepalanya, isyarat permohonan maaf sebab terlambat bergabung, dan membuat yang lain menunggu lama. Tari melihat Mayang sibuk mengoles selai ke roti untuk suaminya. Wanita paruh baya tersebut terlihat menyunggingkan senyum disertai gelengan tipis, tanpa mengalihkan atensi sebab sibuk dengan kegiatan mengoles selai. "Gak papa, Tar, Duduk saja. Mama tahu, kamu pasti capek banget habis beres-beres barang kamu." Mendengar jawaban Mayang, Tari melontarkan senyum manis. Ia merasa kikuk karena tebakan Mayang tak meleset dan benar adanya. "Duduk saja! Langsung sarapan, keburu siang nanti," perintah Mayang, mendapati Tari masih berdiri. Usai dipersilakan duduk, Tari pun menyeret kursi di dekat Rigi, karena hanya kursi itu, satu-satunya yang masih tersisa. Tanpa basa-basi, Tari pun langsung mendudukkan tubuhnya. Menyadari bahwa Tari mengambil posisi duduk di dekatnya, Rigi langsung membuang pandangan ke arah lain. Ia tidak ingin melihat Tari. Kesal di hatinya mendadak mencuat. Terlalu pagi untuk meluapkan emosi, maka ia berusaha melanjutkan sarapan paginya dalam diam. Rika memandang calon menantunya yang tampak kebingungan. Sebelumnya, Tari memang tidak terbiasa dengan rutinitas orang kaya seperti ini. Sarapan saja, harus dengan roti. Ia bisa memaklumi kebingungan Tari. Mungkin, gadis itu perlu waktu sejenak untuk menyesuaikan diri. Menyadari hal tersebut, Mayang beralih pada Tari. Mengambil sepotong roti, lantas memusatkan perhatiannya pada gadis itu. "Kamu mau rasa apa? Biar Mama buatin," tanyanya. Tari terlihat kikuk. Merasa tak enak hati, gadis itu menolak dengan sopan bantuan Mayang. Ia tidak ingin merepotkan terus-menerus. "Nggak usah repot-repot, Ma, Tari bisa sendiri." Selanjutnya, Tari mengambil roti dan pisau selai seperti yang Mayang lakukan, lalu bergerak mengambil selai coklat dan segera mengoleskannya pada roti tawar yang ada di tangan kirinya. Senyum kembali terbit di bibir Mayang mendengar jawaban Tari. Mengerti mengapa gadis itu menolak bantuannya, lantas membuat Mayang urung akan mengoleskan selai. Dan, memilih memindahkan roti yang telah diambilnya ke piringnya. Kemudian, melihat saksama bagaimana gadis itu melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan. Mayang merasakan haru dalam diamnya. "Dimakan, Nak. Jangan sungkan-sungkan!" ucap Mayang, yang sontak langsung diangguki oleh Tari. Sedangkan di tempat duduk, Rigi tak ingin berlama-lama dekat dengan Tari pun memilih pamit. "Ma, Pa, Rigi berangkat dulu," ucapnya. "Terus, aku berangkat sama siapa?" protes Rena ketika abangnya hendak meninggalkan dirinya. Gadis itu tampak cemberut dengan bertopang dagu. Menghentikan kegiatan sarapannya, lalu menekuk wajah masam. Rigi tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan adiknya. Tentu saja laki-laki itu tidak bisa berkutik. Melihat adik satu-satunya merajuk, Rigi pun luluh. "Ya sudah, Abang tunggu. Buruan, ya! Soalnya Abang ada praktek hari ini," jelas Rigi singkat. Lelaki itu masih merapikan setelan bajunya. Mendengar jawaban dari sang kakak, Rena mengangguk antusias. Kemudian ia melanjutkan sarapannya dan segera menghabiskan makanan yang ada di piring. Menuruti kata sang kakak tanpa penolakan. "Kamu berangkat saja! Kebetulan Papa hari ini santai. Biar Rena, Papa yang antar," timpal Handoko. Mengetahui hal itu, Rigi membulatkan jempol dan telunjuknya membentuk huruf O. Memasang senyum puas dan merasa akan segera terbebas. "Oke, Pa. Kalau gitu Rena biar sama Papa, Rigi berangkat dulu." Saat Rigi hendak beranjak, Mayang dengan cepat mencegah kepergian anaknya. Menarik kembali lengan sang anak agar kembali duduk di tempat semula. "Bentar, dong! Tunggu Tari selesai makan dulu, kalian berangkat bareng," putus Mayang sepihak. Tari yang asik mengunyah roti, menikmati sarapan paginya dengan hikmat, sontak tersedak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN