Rigi mengejar Tari yang berjalan mendahuluinya. Tari pun semakin mempercepat langkahnya kesal.
"Ngapain deket-deket?" Tari mengomel saat Rigi berhasil mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu.
Tanpa seizin Tari, Rigi menggamit lengan perempuan itu dan berjalan santai. Tari terdiam dibuatnya. Jantungnya dibuat berdebar tak karuan karena takut jika ada yang melihatnya.
Tak ingin mengambil resiko terlalu tinggi, Tari berusaha berontak. Tapi sayang, tenaganya tak sebanding dengan tenaga yang Rigi punya.
"Kamu kenapa sih? Saya cuman gandeng loh. Gak ngapa-ngapain!"
Tari melotot tajam pada Rigi. Perasaanya yang geram, membuat perempuan itu menatap sinis. "Jangan gandeng-gaandeng. Kalau ada yang lihat, gimana?"
Rigi semakin mempererat gandengannya. "Kalau ada yang lihat, ya udah sih, lagian peduli banget omongan orang."
Tari menatap Rigi nyalang. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang lelaki itu ucapkan. Enak saja, tinggal bodo amat katanya? "Nggak bisa gitu lah! Di sini nama baik aku yang dipertaruhkan. Nanti aku dituduh pelakor lagi. Pacarmu kan serem, dikit-dikit ngelabrak."
Rigi membalas tatapan Tari serius, kali ini bicaranya tulus dari hati. "Ya labrak balik. Masa gitu saja takut! Kamu kan gadis bar-bar!"
Tari menghembuskan napasnya pasrah. Percuma berdebat dengan Rigi yang tidak ada ujungnya.
"Terserah kamu saja lah. Capek aku debat sama kamu!"
Rigi tersenyum puas. Sebenarnya, senyum itu terlihat cukup manis. Andai Rigi tidak menyebalkan dan semena-mena, pasti Tari akan langsung jatuh hati padanya.
"Siapa juga yang ngajak debat? Wong saya dari tadi diam kok. Kamu saja yang sensi."
"Sensi katamu? Ya jelas saja aku marah, wong kamu semena-mena!" semprot Tari tak terima. Wajah gadis itu bersemu merah menahan geram. Tangannya mengepal keras hingga Rigi mampu merasakannya.
Rigi diam. Laki-laki itu terlihat acuh membuat Tari ingin menampolnya sekarang juga.
Tari menarik napasnya lega, saat Ia melihat kelasnya masih kosong. Mungkin ini masih terlalu pagi. Tapi gak papa, justru ini kesempatan yang bagus untuk gadis itu agar tidak ketahuan.
Tari tersenyum lega saat tangan Rigi mulai melepasnya, namun detik berikutnya bibirnya berubah masam dengan ucapan lelaki itu.
"Nanti pulang kampus saya tunggu di parkiran," putus Rigi sepihak membuat perempuan itu naik pitam. Tari menolak keinginan Rigi yang terkesan memaksa.
"Nggak, aku naik angkot saja. Aku gak mau orang-orang heboh. Jangan buat aku marah lagi please."
Tari memohon. Wajahnya dibuat semelas mungkin. "Ya sudah, saya tunggu di depan halte."
Tari melotot tajam. Kenapa laki-laki itu tidak bisa diberi tahu sih? Sukanya maksa mulu.
"Udahlah, terserah kamu saja. Capek aku ngomong sama kamu. Sebenarnya kamu manusia apa bukan sih? Susah banget dikasih tahu."
"Saya ... alien," bisik Rigi di telinga Tari membuat perempuan itu agak ngeri.
"Udah sana, jangan lama-lama di sini. Nanti ada temanku yang lihat," ujar Tari sembari mendorong pelan tubuh Rigi agar segera berlalu dari hadapannya.
Tanpa sepatah kata lagi, Tari masuk ke dalam kelasnya. Tanpa ragu ia meninggalkan Rigi sendirian di luar.
Di luar, Rigi terlihat seperti orang kesasar. Ia pun kemudian berlalu meninggalkan kelas Tari menuju kelasnya.
Tak lama, Cita datang dengan membawa setumpuk buku di tangannya. Wajah perempuan itu terlihat murung. Cita menekuk masam wajahnya. "Ada apa? Kenapa ditekuk gitu wajahnya?"
Tanya Tari yang merasa penasaran. Cita pun mengambil duduk di sebelah Tari. "Habis ketemu Mak Lampir aku. Dia cemburu lihat kamu pulang sama Kak Rigi. Marahnya ke siapa, ngomelnya ke siapa."
Tari tak paham dengan yang cita maksud. Mak lampir siapa? "Yang kamu maksud siapa sih? Mak Lampir siapa? Yang jelas kek kalau bicara."
Tari memutar bola matanya jengah. Sudah dibuat kesal Rigi, sekarang sahabatnya malah ikut-ikutan.
Cita menarik napas dalam. Ia tidak mau ikutan emosi. "Itu, Kak Viola. Masa keselnya ke kamu ngelabrakbya ke aku? Mana di parkiran lagi. Dilihat banyak orang. Coba aja tadi aku gak bawa banyak buku, pasti udah aku jambak rambutnya. Kesel aku lama-lama."
Tari berusaha menahan tawa. Matanya sampai berair menahan tawa. "Duh, ada-ada saja. Mana Kak Rigi nanti maksa aku buat pulang bareng lagi. Pasti tambah ngamuk tuh Mak Lampir. Coba saja aku ada pacar. Ke mana-mana pasti enak."
Otak brilian Cita mulai bekerja. Ia menjentikkan jarinya antusias. "Kenapa gak sama Kak Wisnu aja? Dia kan salah satu berliannya kampus. Ya, nggak kalah jauh lah sama Kak Rigi. Hampir sebelas dua belas."
Tari memutar bola mata malas. Wajahnya tampak tak semangat mengingat apa yang dilakukan wisnu pada Rigi di parkiran. "Ampun deh. Jangankan deket-deket, orang ke kelas bareng aja di cegah sama Kak Rigi. Sumpah tu orang nyebelin banget, mana semena-mena lagi. Pengen nabok tau nggak!"
Cita tampak terkejut. "Jadi Kak Wisnu tahu kamu berangkat bareng sama Kak Rigi? Terus respon dia gimana? Apa gak curiga?"
Tari berujar pasrah. Wajahnya tampak tak semangat. "Nggak tahu lah Cit, tadi sempat curiga, tapi ditepis sama Kak Rigi. Kayaknya sih masih curiga, tapi aku juga gak berani berbuat banyak, keburu tanganku ditarik sama senior belagu itu."
Cita memandang Tari nanar. Sebenarnya ada rasa kasihan melihat Tari seperti itu. Namun dirinya juga tidak bisa berbuat banyak.
"Sebenarnya hidupmu tuh enak loh Tar, dikelilingi orang-orang ganteng. Tapi nasibmu saja yang kurang beruntung."
Tari manyun. Ia mengerucutkan bibirnya dalam. "Enak gimana? Bayangin aja, di suruh nikah tanpa cinta, tiap hari harus berurusan sama orang rese. Apa gak pecah kepalaku, Cit. Coba sehari saja, kamu jadi aku. Pasti istighfar."
Tari menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia tampak lelah dengan takdirnya yang malang.
"Sabarin aja ya. Mungkin Kak Rigi memang jodoh yang dikirim Tuhan buat kamu."
Tari langsung menegakkan tubuhnya. "Gak! Kamu ngomong apa sih? Kita nggak mungkin jodoh ah! Orang bilang, jodoh adalah cerminan diri sendiri. Tapi dia jauh berbanding terbalik sama aku. Dia itu rese banget."
"Orang rese juga pasti ada serunya. Kan gak mungkin rese terus-terusan Tar. Coba deh kamu berusaha buka hati." Cita membujuk Tari agar perempuan itu mau membuka hatinya.
Tari mengernyit. Kedua alisnya bertaut. Bahkan, ia sama sekali tidak punya pikiran buat menerima kehadiran Rigi dalam hidupnya. "Jatuh cinta sama Kak Rigi? Gak mungkin!"
"Hati-hati kalau bicara. Terus rencana kamu kedepannya gimana? Mau dibawa ke mana arah rumah tangga kalian?"
Tari semakin pusing mendengarnya. Ia tidak kepikiran sejauh itu. "Paling, berakhir cerai. Orang kita udah sepakat buat hidup masing-masing."
Cita menatap tak percaya. "Kamu yakin mau jadi janda usia muda? Sudah siap?"
Tari menimang ucapan Cita. Di sela obrolannya dengan Cita, Tari menerima notifikasi dari Rigi.
Calon suami: Belajar yang rajin. Calon ibu anak-anakku harus cerdas.
Tari melotot membacanya.
Ia membanting ponselnya agak keras di atas meja.