Rigi merasa tidak dianggap. Perhatian Wisnu hanya terfokus pada Tari.
"Maaf, masih di jalan, jangan banyak ngobrol." sindir Rigi membuat Wisnu agak tersinggung.
Wisnu menatap Rigi tak suka. Melihat Wisnu kesal, dengan sengaja Rigi memaksa Tari mempererat pelukannya. "Pegangan yang kenceng, saya mau ngebut," bisiknya pada Tari.
Tari pun tak bisa berkutik. Ia hanya menurut pada Rigi, meski dirinya tak suka.
"Eh, ada Rigi? Sorry, Gi. Gue pikir tukang ojek."
Dalam hati Rigi memaki. Andai saja ini bukan di jalan raya, Rigi pasti berani mengibarkan bendera perang. "Tukang ojek gundulmu! Gak lihat orang setampan ini? Matamu katarak tuh!"
Rigi hanya diam melihat tingkah Wisnu, hingga lampu merah berubah hijau. Rigi mengklakson motornya lalu menancap gas. "Sorry, Nu, gue duluan."
Wisnu hanya bisa menatap kepergian Tari dan Rigi. Dalam hati, laki-laki itu timbul tanya. "Kok bisa, Tari dan Rigi berangkat barang?"
Ketika mendapat klakson dari kendaraan di belakang, Wisnu baru tersadar dari pikirannya yang berkecamuk. Ia lalu menancap gas menyusul Tari dan Rigi.
Di kampus, suasana parkiran masih tampak sepi. Tari mengelus d**a lega karena kedatangannya bersama Rigi tidak akan membuat orang lain menjadi curiga.
Setelah Rigi mematikan motornya, buru-buru Tari turun, sebelum ada yang melihat mereka berdua.
Tak lama, motor Wisnu juga menyusul parkir di sana.
Tari mengalihkan atensinya pada Wisnu yang tampak mematikan motor. Wajahnya berubah panik kala laki-laki itu menyapa.
"Hai, Tar."
Tari tampak panik. Ia tersenyum canggung sambil memainkan jari-jemarinya. "H-hay Kak," jawabnya kikuk.
"Ke kelas bareng yuk! Ruangan kita searah," Wisnu sengaja menekankan kata searah untuk menyindir Rigi, tapi lelaki itu sama sekali terlihat tidak peduli.
"Emmm ... ayo!" jawab Tari ragu-ragu.
Saat ingin melangkah, Rigi menyergapnya. "Tari bareng gue," ucapnya penuh penekanan.
Wisnu terlihat tak terima. Wajahnya geram menahan emosi. "Kelas lo kan beda arah sama Tari? Oh iya, kenapa kalian bisa berangkat bareng? Rumah kalian kan beda arah."
Tari tampak gelagapan. "Itu ... eh, anu Kak--"
"Harus banget ya jelasin ke lo? Emang lo satpam kampus?" sergah Rigi lalu menarik paksa tangan Tari menuju kelas perempuan itu. Tari pun hampir terseok karena mengimbangi langkahnya dan Rigi yang terlalu lebar.
"Ayo!" ucapnya cepat.
Dalam hati, Tari merasa sangat dongkol. Lagi-lagi Rigi berbuat seenaknya. "Pelan-pelan bisa nggak sih? Suka banget maksa-maksa!" maki Tari usai dirinya berjalan cukup jauh dari arah parkiran.
Rigi tidak menggubris gerutuan Tari. Yang dilakukan lelaki itu hanya terus berjalan menuju kelas Tari.
Tari yang kualahan mensejajarkan langkahnya dan Rigi, ia sampai tidak fokus berjalan. Tanpa sengaja, Tari menabrak seseorang yang membawa beberapa berkas hingga berserakan.
Buru-buru Tari meminta maaf sambil berjongkok membantu merapikan berkas yang jatuh di bawah.
"Maaf, maaf, aku gak seng--"
Ucapnya terhenti kala melihat wajah seseorang yang tidak asing baginya.
Dengan tergesa Tari bangkit, menyerahkan berkas pada pemiliknya lalu hendak meninggalkan tempat, tapi pergelangan tangannya keburu dicegah lelaki itu.
"K-kamu ngapain? Awas! Aku mau lewat!" ucap Tari sambil menahan rasa sakit akibat mengingat pengkhianatan yang dilakukan lelaki itu dulu.
"Kamu apa kabar? Lama tidak jumpa. Aku minta maaf, atas kelakuanku yang nyakitin."
Rigi menatap heran pada Tari atas apa yang mereka bicarakan. Matanya seolah berbicara jika dirinya butuh penjelasan. "Dia siapa?" bisiknya pada Tari sambil mendekatkan kepala.
"Dia mantan yang aku ceritakan," balasnya berbisik pelan.
Rigi mengangguk paham. Pria berjas almamater dengan kemeja kotak dan celana jeans berwarna kopi s**u terlihat lumayan. Penampilannya yang modis bisa menjadi saingannya dalam mendapatkan perhatian Tari.
Rigi menelisik dalam mata Tari. Sepertinya, masih ada cinta dari Tari untuk lelaki itu.
Tari memandang lelaki di hadapannya cukup lama, sebelum akhirnya ia berani membuka suara lagi. "Lupakan masa lalu. Masa itu sudah lewat. Aku gak mau mengingat keburukan kamu yang cuman bikin sakit hati."
Laki-laki bernama Rio itu terlihat cukup pasrah. Mungkin kesalahannya memang tidak termaafkan, tapi ia tidak mau menyerah mengambil kembali hati Tari. Ia yakin, masih ada namanya di hati Tari, meski itu hanya sebaris.
"Aku minta maaf sama kamu. Aku tahu, kesalahan aku sangat fatal, tapi kalau ada kesempatan ke dua, aku mau memperbaiki semuanya."
Tari menghempas tangannya dari Rio. Semakin ia mengingat masa lalunya, hatinya terasa makin sesak. Ia memejamkan mata sesaat, mengumpulkan kesabaran lalu berusaha ikhlas dengan apa yang terjadi. Ia bersyukur dengan Tuhan membuka mata dan hatinya. Lebih baik ia mendapat kejujuran yang pahit daripada bahagia di atas kebohongan semata.
"Tidak ada kesempatan ke dua untuk seorang pengkhianat. Sekali berkhianat, dia akan melakukan hal sama. Kamu tahu, novel yang sudah di baca berulang pun, endingnya tidak akan berubah. Jadi, kamu bisa simpulkan sendiri jawabannya."
Rio tampak kukuh dengan keyakinannya. Ia yakin, jika Tari masih mencintainya. "Bisa. Endingnya bisa berubah jika kita ingin merubahnya. Percayalah, aku akan membuatmu bahagia."
Rigi yang muak pun menggandeng tangan Tari. Tatapannya nyalang pada Rio. "Tapi sayangnya kamu bukan penulis yang bisa mengganti endingnya sesuka hati. Bahkan, penulis sekalipun harus membuat sinopsis untuk menentukan endingnya seperti apa."
Rio menatap Rigi tak kalah nyalang. "Merubah ending tidak perlu menjadi penulis. Cukup membaca pun, kita bisa menentukan ending yang ada di buku."
"Kalau begitu, silakan saja buat ending yang kamu mau. Tapi yang jelas, bentar lagi saya dan Tari akan men--"
Dengan cepat, Tari membekap mulut Rigi.
"Ke kelas. Iya, akan ke kelas," ucap Tari agak gugup.
Tari memandang Rio nanar. "Maaf ya, aku udah gak mau lagi urusan sama kamu lagi. Aku juga udah gak peduli lagi kamu mau ngelakuin apa. Bagi aku, masa lalu gak perlu di ulang lagi. Cukup dikenang saja. Aku permisi dulu."
Tari menggandeng tangan Rigi dan mengajaknya berlalu. "Ayo, Mas."
Rio mencegah pergerakan Tari membuat perempuan itu tak bisa berkutik.
Tari menahan geram lantaran sang mantan masih terus berusaha mengejarnya.
"Tunggu! Laki-laki ini siapa?" Tanya Rio sambil menatap sinis pada Rigi.
Tari memutar bola matanya jengah. 'kamu gak perlu tahu dia siapa, dan gak ada urusannya sama kamu."
Tari menghempas tangan Rio kasar, sebelum akhirnya laki-laki itu membiarkan Rigi dan Tari berlalu.
Di tempat yang sepi Tari menggerutu. "Kamu gila ya? Hampir saja kamu keceplosan soal pernikahan kita, Mas. Apa kamu mau bongkar rahasia yang selama ini kita jaga? Kamu hampir saja bunuh aku dengan kelakuan kamu."
"Memang sengaja! Lelaki seperti itu memang harus diberi pelajaran."
Tari memukul lengan Rigi. "Ya, gak gitu juga caranya!"
"Kenapa sih, kamu malu banget kalau ketahuan dekat dengan saya?" Emang sejelek itu saya di mata kamu?"
Tari terdiam sejenak. "Ya bukan gitu, semua orang kan tahu kamu udah punya kekasih. Kalau kayak gini, nanti aku dituduh pelakor. Lagian kan, kita udah sepakat dari awal."
"Kalau saya berubah pikiran?
"Itu berarti kamu egois!" Tari berjalan cepat menuju kelasnya meninggalkan Rigi sendirian.