Hampir Kepergok

1042 Kata
Tari memandang kepergian Rigi dengan ekspresi kesal. Ia tampak menggerutu dengan keputusan sepihak yang Rigi buat. "Ish. Main ambil keputusan, egois banget!" Mayang hanya bisa mendengar gerutuan Tari, karena dirinya pun tak bisa berbuat banyak. Tari pun izin pamit untuk ke kamar, segera mengistirahatkan tubuhnya yang lelah daripada semakin emosi akibat kelakuan Rigi. "Ma, Tari izin ke kamar dulu," ucapnya dan berlalu pergi. Belum sempat membalas ucapan Tari, gadis itu sudah berlalu dengan sisa-sisa emosi yang meluap di hatinya. Tari pun berjalan menuju kamarnya. Setelah melihat ruangan bernuansa biru itu, Tari segera membanting tubuh lelahnya di atas ranjang. Tangannya yang bebas, bergerak pelan mencari keberadaan ponselnya yang sedari tadi ia geletakkan di atas kasur. Setelah berhasil menemukan ponselnya, Tari bergegas membuka aplikasi warna hijau bergambar gagang telepon. Dilihatnya Cita masih online, ini kesempatan bagus untuknya mencurahkan isi hati. Jarinya mulai bergerak aktif mengetikkan pesan untuk Cita. Tari: Huaa ... Cit, aku besok ke kampus bareng Kak Rigi lagi. Kalau begini caranya, bisa terbongkar rahasiaku. Isi pesannya sambil memakai emoticon sedih. Tak lama, sebuah balasan dari Cita pun masuk. Cita-citaku: Tenang, kamu berangkat pagi saja, disaat orang-orang belum pada datang. Tari: Mana mau Kak Rigi. Emang rese banget tuh orang! Di sela pergosipannya dengan Cita yang membahas soal Rigi, tiba-tiba denting notifikasi dari Rigi berbunyi. Rigi yang tengah gabut di kamarnya, terdorong memberi pesan pada Tari yang dilihatnya masih online. Calon Suami: Tidur! Sudah malam. Saya besok ada kelas pagi. Awas saja sampai telat. Dengan hati setengah dongkol, Tari mengirim balasan pesan untuk Rigi. Emosinya memuncak kala mengingat kelakuan Rigi beberapa hari yang lalu. Tari: Kalau telat ya tinggal saja. Aku bisa naik angkot! Lagipula, Mas Rigi gak mikir apa? Kalau begini terus, rahasia kita bisa terbongkar. Calon Suami: Udah, nurut aja kata saya. Sekarang kamu tidur, biar besok tidak telat. Emosi Tari semakin memuncak. Ia tidak tahan lagi untuk bersikap manis pada calon suaminya. Tari: Aman gundulmu. Setelahnya, ia membanting ponselnya di samping tempatnya tidur. Tak dihiraukan lagi balasan dari Rigi untuknya. Tari segera ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi, lalu ia kembali mapan tidur, dan bergegas memejamkan mata untuk menjumpai alam mimpinya. Keesokan paginya, Tari dibangunkan dengan suara azan yang berkumandang merdu di telinganya. Dinginnya udara yang meresap ke tulang membuatnya enggan beranjak, tapi gadis itu berusaha keras melawan rasa malasnya dan sesegera mungkin menyibak selimut lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah bersih dan rapi, Tari pun tak lupa akan kewajibnnya. Ia mulai menggelar sajadah lalu menunaikan salat subuh. Usai salat, Tari pun bersiap. Ia saat ini tengah mengembangkan setelan jeans dipadukan dengan blouse warna maroon. Tak lupa dengan sepatu kets warna abu yang membuat penampilannya semakin menawan. Setelah dirasa penampilannya sudah sesuai, Tari bergegas turun ke bawah untuk bergabung dengan yang lain. "Pagi semua," sapa Tari dengan imut. Tari melirik kursi kosong yang tak berpenghuni. "Papa mana, Ma? Kok nggak ikut sarapan bareng?" Merasa terpanggil, Rika pun menimpali. "Papa udah berangkat, tadi buru-buru katanya ada tamu penting dari luar. Makanya gak sempat sarapan bareng sama kita." Tari melirik Rigi sesaat, sebelum memutuskan untuk menarik kursi di sebelah lelaki itu. "Ma, Tari boleh minta tolong ambilin selai strawberry?" Dengan senang hati, Mayang mengambil selai strawberry yang lebih dekat dengan jangkauannya, lalu menyerahkannya pada Tari. Belum sempat selai itu berpindah tangan, tapi Rigi sudah merebutnya terlebih dahulu dari tangan Mayang. "Aku juga mau," ujarnya tanpa dosa. Masih pagi, tapi Rigi sudah mengibarkan bendera peperangan pada gadis itu. Tari tersenyum sinis. Matanya siap berkobar menahan emosi. "Eh, itu kan buat Tari?" protes Mayang pada sang putra. Tari berusaha melukis senyumnya untuk Mayang. Andai saja Rigi sendirian di sini, pasti sudah bakal ia bejek-bejek. "Udah, nggak papa, Ma, nanti Tari biar pakai selai yang lain saja." Kali ini Tari mengalah. Ia masih menghormati Mayang di rumah ini. Masa, hal sepele seperti ini bisa membuat keributan? Tari meraih selai coklat yang ada di hadapannya. Ia lalu mengoleskan pada roti yang tersaji di dalam piringnya. Saat roti sudah siap tersaji, tiba-tiba Rigi merebutnya dari piring Tari. Emosi Tari langsung memuncak. Ia tak dapat lagi membendung emosinya dengan rasa sabar. Gadis itu sudah sangat geram. Sedari tadi ia sudah mengalah, tapi lekaki itu terus saja menguji batas kesabarannya. "Maksudnya apa sih? Sedari tadi cari gara-gara mulu? Aku udah ngalah ya dari tadi?" Mata Tari menatap nyalang. Perempuan itu sudah diujung tanduk. "Tiba-tiba aku jadi pengen makan coklat. Nih, selai strawberrynya buat kamu saja." Tari menatap sengit. "Ya gak rebut punyaku juga! Mas Rigi kan bisa oles sendiri? Emang suka banget cari gara-gara!" Mayang yang melihat perdebatan mereka pun melerai. "Kenapa sih, masih pagi udah pada ribut? Rigi, kamu juga! Oles sendiri apa gak bisa? Dari tadi kom jahil banget sama Tari. Pusing Mama." Rigi tampak cengengesan. "Hehe, mumpung ada yang olesan Ma. Lagian ini kan tugas Tari buat urus kebutuhan aku. Masa calon istri gak mau urusin calon suaminya? Hitung-hitung belajar." Tari mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dipikir dirinya pembantu? Oles selai saja masih harus menyuruh. Suasana mendadak hening, di tempatnya, Tari memilih diam, lalu kembali mengambil roti dan mengolesnya dengan selai strawberry yang Rigi beri. Tari melirik Rigi sesaat. "Apa? Mau ambil lagi?" Rigi menggeleng pelan. "Gak, siapa yang mau ambil? Suudzon mulu jadi orang." Bukannya Tari suudzon, tapi Rigi sudah membuatnya tidak percaya lagi sekarang. Tari menghiraukan ucapan Rigi. Ia pun kembali fokus pada roti selai di atas piringnya. Tari asik makan tanpa menghiraukan ucapan Rigi yang mengajaknya buru-buru. "Ayo Tar, entar keburu aku telat." Tari mendengkus kesal saat digupuhin seperti ini. "Kalau telat, duluan saja. Aku bisa naik angkot," kesal Tari. Bukannya tersindir, Rigi malah mengadu pada Mayang. "Tuh, Ma, lihat calon mantumu. Ngeyel mulu kalau dikasih tahu." Tari pun terpaksa menuruti kemauan Rigi. Dengan hati tak ikhlas, Tari pun segera menghabiskan rotinya lalu beranjak dari tempat duduk. "Ayo, kalau mau berangkat sekarang!" ujarnya sewot. Rigi pun bangkit, lalu menyalami Mama dan adiknya. "Ma, aku berangkat dulu." Lalu beralih pada adiknya. " Ren, Abang berangkat dulu. Nanti kamu diantar pak sopir saja." Setelahnya giliran Tari yang berpamitan. "Ma, Tari berangkat dulu. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam." Selepas itu, Tari dan Rigi pun keluar. Rigi menancap gas motornya menuju kampus. Saat di lampu merah, tak sengaja dirinya berpapasan dengan Wisnu. "Tari," ucap Wisnu sembari memastikan sekali lagi. Tari terbengong mendengar namanya dipanggil. " K-Kak. Wisnu?" ucapnya tetbata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN