Sebatas Formalitas

1028 Kata
Rigi tampak salah tingkah mendapat gerutuan dari Tari. Laki-laki itu terlihat sedang menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ya itu kan masa lalu, sekarang kan sudah gak begitu. Saya takut karma." Tari menghela pelan. "Heleh!" Mendengar napas Tari yang berat, Rigi mengernyit bingung. "Kenapa? Kamu gak percaya?" Tari memutar bola matanya jengah, bahkan Rigi dapat melihatnya di balik kaca spion. "Kenapa sih, ekspresinya gitu banget. Eman salah apa yang saya bilang ?" Tampak ragu, Tari mengeluarkan isi hatinya. Ia berpikir dua kali sebelum menanyakan hal ini pada Rigi. Takut-takut jika lelaki itu akan tersinggung setelah mendengar kata yang keluar dari mulutnya. Tari tidak ingin ucapannya melukai hati siapa pun. "Emmm ... apa Mas Rigi yakin, hanya sayang Kak Viola?" Setelah mengatakan itu, perasaan Tari jauh lebih lega, meski dirinya juga ketar-ketir dengan jawaban yang Rigi beri. Sepertinya, Rigi juga ragu mengatakannya. Tapi punya teman bercerita sepertinya asik juga. "Emmm ... sebenarnya saya juga mulai ragu dengan perasaan saya. Saya pikir, Viola adalah gadis yang pengertian. Awalnya perempuan itu memang sangat mengerti saya, tapi makin ke sini, sikapnya mulai berubah. Lebih cenderung ke arah diktator. Saya tidak suka itu. Entahlah, semakin saya dekat lama, dia mulai ketahuan sifat aslinya. Hubungan kita jadi semakin hambar dan begitu-begitu saja." Tari tidak menyangka jika jawaban Rigi ternyata jauh dari ekspetasinya. Ia pikir, Viola adalah gadis beruntung yang diratukan oleh Rigi, tapi nyatanya hubungan mereka hanyalah sebuah formalitas belaka. Terdiam cukup lama, tiba-tiba gadis itu nyeletuk. "Kenapa gak diakhiri saja? Daripada salah satu sudah tidak nyaman? Hubungan seperti ini pasti tidak akan bertahan lama." Tari membekap mulutnya yang main asal ceplos saja. "Aduh, maaf, maaf, kalau ucapanku lncang." Tari tampak menyesali kekepoannya. Rigi tampak terkekeh dengan wajah Tari yang bersemu merah. Gadis itu tampak salah tingkah karena merasa tak enak. "Gak papa, setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya. Yang kamu bilang memang ada benarnya kok, tapi karena saya gak mau nyakitin hati perempuan lagi, saya putuskan untuk bertahan, meski agak hambar dan membosankan." Meski agak kecewa dengan keputusan Rigi, tapi Tari berusaha menghargai keputusan lelaki itu. Tari pun mencoba tersenyum, ia tidak ingin meracuni pikiran Rigi. "Pertahankan apa yang sudah menjadi pilihanmu. Aku yakin, suatu saat kalian pasti akan bersama." Rigi heran sekaligus terkagum pada Tari. Mengapa gadis itu tidak terlihat marah ataupun kesal padanya? "Kamu tidak marah?" Mata Tari mengernyit, alisnya bertaut membentuk lengkungan sabit. "Kenapa aku mesti marah? Bukannya pernikahan kita cuman pura-pura ya? Hubungan kita juga bukanlah hubungan cinta pada umumnya?" Hening. Rigi pun tidak mampu bicara sepatah kata pun, karena apa yang Tari katakan tidak sepenuhnya salah. Tari pun ikut terdiam karana tidak tahu mau membahas apa lagi. Setelah beberapa saat terjebak kebisuan, akhirnya motor Rigi memasuki pekarangan yang luas. Ia menghentikan motornya tepat di garansi rumahnya. Tari pun turun dan menyerahkan helmnya pada Rigi. "Nih helmnya, mana roti bakar sama martabaknya?" Rigi pun menyerahkan pesanan Mayang pada Rena. Gadis itu melirik sekilas jam yang ada di pergelangan tangannya. Dengan harap-harap cemas, Tari menunggu Rigi turun dari motor. "Udah jam 11 malam. Mereka udah tidur belum ya?" Tari menggigit bibir bawahnya. Ia takut jika orang rumah sudah pada tidur. Rigi pun turun dari motornya, tak lupa lelaki itu melepas helm full facenya dan mengajak Tari untuk masuk ke dalam. "Ayo masuk." Sedikit ragu, Tari pun menerima ajakan Rigi. Dengan harap-harap cemas, ternyata Mayang dan Rena masih setia menunggu kepulangan Rigi dan Tari. Sudah jam segini, tapi mereka belum pulang. Mayang melirik sang putri yang sedang menahan kantuk. "Ren, abangmu ke mana ya? Udah jam segini kok belum pulang?" Rena yang dengan kesadaran tak penuh pun berusaha menimpali. "Udah jam segini, Ma. Tidur yuk, Rena ngantuk." Dengan sesekali menguap menahan kantuk. Mayang semakin cemas. "Gimana Mama bisa tidur kalau mereka belum pulang? Mama takut terjadi sesuatu. Tak lama, terdengar suara langkah kaki yang berjalan beriringan. Sontak, Mayang dan Rena memalingkan wajah ke sumber suara. "Assalamualaikum," ucap Tari memberi salam. Mayang menarik napas lega, ketika mendengar suara Tari. Senyumnya terbit ketika Tari dan Rigi pulang dalam keadaan baik-baik saja. "Waalaikumussalam. Akhirnya kalian pulang. Kita udah nunggu dari tadi loh. Larut sekali pulangnya?" Tari meraih punggung tangan mayamh lalu menciumnya dengan lembut, begitu juga dengan Rigi. "Maaf, Ma, pulangnya kemalaman. Tadi si Tari kekeh ngajak Rigi keliling nyari pesanan seblaknya si Rena," Rigi tampak kesal mengingat hal itu. Tari nyengir lalu meletakkan beberapa bungkus makanan di meja ruang keluarga. "Ini ada roti bakar, martabak telor sama seblak." Mata Rena yang semula mengantuk had terang benderang saat menghirup aroma makanan. Rasa kantuknya entah ke mana. Mayang merasa tidak enak karena sudah merepotkan calon menantunya. "Ya ampun, Tari, kenapa repot-repot, Nak? Mama nggak maksa kamu buat beli ini loh." Tari tersenyum tulus. "Nggak papa kok, Ma, nggak ada yang merasa direpotin." Tari ikut berbaur duduk di sebelah Mayang. Tanpa sungkan, wanita itu langsung membuka kantong keresek yang menjadi Bungkus roti bakarnya. "Mama makan ya, Tar?" izin Mayang. Rigi yang masih setia berdiri pun ikut duduk. "Silakan, Ma. Nggak perlu izin segala." Tari mempersilakan Mayang untuk mencicipi roti bakarnya. Seperti pinang dibelah dua, Rena pun melakukan hal sama. Ia mulai membuka bungkusan seblaknya, lalu menuangnya pada wadah yang sudah disediakan. "Makasih, Kak Tari, sudah dibawakan makanan." Tari tersenyum tulus. Ada binar kebahagiaan di wajahnya. "Sama-sama, Rena." Setelah beberapa lama berbincang, Tari pun pamit undur diri. Ia berniat ke kamarnya untuk tidur karen hari sudah semakin larut. "Ma, Tati izin ke kamar dulu ya? Besok ada kuliah pagi soalnya." Mayang mengangguk, "Besok berangkat ke kampus, diantar Pak Supir saja, Mama nggak ke butik soalnya." Rena cemberut. "Terus Rena di antar siapa?" Mayang mengembangkan seutas senyumnya. "Kan ada abangmu, Ren. Atau, kalian berangkat bareng saja, nanti pak supir suruh antar ke sekolah kamu dulu baru setelahnya ke kampus Tari." Rigi hendak memperotes, "Nggak ah! Mending Tari yang berangkat bareng sama aku." Daripada tidak ada titik temu, Tari pun memutuskan untuk naik àngkot. "Gini saja, daripada kalian berdebat, mending aku naik angkot." Mayang tampak tidak setuju dengan pendapat Tari. Angkutan umum terlalu berbahaya untuk seorang gadis. "Nggak! Angkutan umum berbahaya, Sayang. Mama tidak mau kamu kenapa-kenapa." Rigi yang kesal pun memberikan kepuasan sepihak. "Besok Tari bareng sama aku. Gak ada yang boleh bantah! Titik." Rigi pun langsung pergi menuju kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN