***
Gemircik air kran di toilet laki-laki, membuat Alda penasaran. 'Siapa siswa yang masih berkeliaran jam pelajaran?' batin Alda. Namun, wanita lugu tak berniat ingin tahu lebih jauh. Tangannya masih sibuk mengusap wajah yang cemong. Sapuan makeup yang tak karuan itu dia bersihkan sampai habis.
Wajah kalemnya sudah bersih, bergegas ia meninggalkan toilet wanita. Ketika melewati pintu toilet laki-laki, rasa ngeri tiba-tiba muncul. Gemercik air tadi sudah berganti dengan bunyi tembok yang dipukul. Alda menghentikan langkahnya, mencoba mendekatkan telinga ke pintu. Gdebuk! Gdebuk! Suara pukulan itu terdengar jelas. Membuat jantung berpacu lebih cepat. Alda menarik diri, mundur beberapa langkah dari pintu. Suara pukulan itu masih terdengar jelas, Alda semakin ketakutan.
Tidak mau menerima konsekuensi, Alda langsung berlari tanpa menoleh ke belakang.
Sepatunya beradu dengan ubin, sehingga menimbulkan suara khas. Tak peduli dengan napasnya yang memburu, tersendat-sendat. Alda lari sampai menghilang di belokan jalan.
Pintu toilet terbuka, seolah ditarik oleh seseorang. Namun, tak ada satupun manusia di dalamnya. Tiba-tiba bayangan hitam melesat tepat di depan pintu. Laki-laki berambut agak panjang menampakkan diri. Di belakang punggungnya terdapat sayap seperti sayap kelelawar. Sayap itu mengepak, membuka lebar sampai menutupi pintu toilet. Laki-laki berwajah pucat itu, melangkah maju, kemudian tertawa menampakkan gigi taringnya yang runcing.
"Dia adalah targetku," ucapnya menyeringai, kemudian menghilang begitu saja.
Alda mengatur napas ketika sampai di pintu kelas. Pandangan mata tertuju pada beberapa teman, yang duduk berkelompok. Ya, dia baru ingat hari ini ada pelajaran berkelompok.
"Maaf, Bu. Saya terlambat," ucap Alda mengetuk pintu yang terbuka.
"Silakan, masuk, Alda. Ada yang mau bergabung dengan Alda?" tanya Bu guru. Seisi kelas diam, tak satupun yang mau menyahut.
"Kalian kenapa?" Bu guru menatap semua murid yang hanya diam.
"Bu, tidak apa-apa saya sendiri saja," ucap Alda menuju tempat duduk. Alda melangkah cepat menuju tempat duduknya.
Ada rasa sesak di d**a, membuat bulir bening menggenang di pelupuk mata. Gadis yang dibesarkan di desa itu mencoba untuk tegar. Tidak ada yang sulit jika dikerjakan dengan serius. Begitulah Alda menghibur diri
Alda membuka buku pelajaran, melangkah ke meja guru untuk bertanya.
"Tugas apa yang harus saya kerjakan, Bu?"
"Buka halaman 123, ya. Minggu depan harus sudah siap presentasi."
"Baik, Bu."
Alda melangkah kembali ke tempat duduknya. Menjatuhkan b****g di kursi plastik yang beralaskan busa. Dia mulai melihat tugas yang akan dia kerjakan. Tidak terlalu sulit bagi Alda, karena dia adalah siswi yang cerdas.
Sirine berbunyi, menandakan jam pelajaran sudah berakhir. Bu guru meninggalkan kelas setelah memberikan perintah, bahwa tugas dilanjutkan di rumah. Bagi Alda tak ada bedanya, mau di sekolah atau pun di rumah sama saja.
"Kasihan deh kamu," celetuk gadis yang duduk di depan Alda.
"Bagaimana presentasi minggu depan? Moderator, sekretaris, semua kamu yang lakukan?" yang lain ikut menimpali.
"Lucu dong kalau seperti itu." Seisi kelas langsung tertawa, hanya Alda yang menunduk.
'Harusnya aku tidak memilih sekolah ini. Walaupun berbasis internasional, aku hanya dianggap sampah,' batin Alda menyesal.
Alda memandang keluar ruangan,tiga manusia yang dia takuti tampak mendekat. Jelita dan kedua temannya masuk ke kelas.
"Perhatikan semuanya, berhubung Kak Geo ultah, kalian semua diundang. Termasuk kamu!" tunjuk Jelita ke arah Alda.
"Maaf, Kak. Sa-saya tidak usah diundang." Alda menunduk dalam-dalam.
"Wajib datang, ngerti!" tegas Jelita melotot, kemudian langsung berlalu.
Perasaan Alda langsung tak enak. Sudah pasti kehadirannya di sana hanya akan berujung bully-an. Namun, dia berusaha untuk tidak mengambil resiko yang lebih besar lagi. Kalau tak datang, tentunya akan menjadi masalah yang lebih fatal. Alda sudah berniat akan datang ke acara.
"Kalau boleh tau, acaranya jam berapa ya?" tanya Alda pada perempuan di depannya.
"Memangnya kamu sanggup datang? Paling kamu di sana hanya akan jadi hiburan doang."
"Iya, aku mau datang."
"Kalau nggak salah, acaranya mulai jam sembilan."
"Pagi?" tanya Alda polos.
"Bukan, tapi malam. Ndeso banget sih jadi orang. Mana ada acara ultah orang kaya pagi."
Seisi kelas kembali menertawakan Alda.
***
Dear,
Diary
Aku ragu, apakah harus datang atau tidak. Jika datang aku sudah mendapat firasat, bahwa aku akan dibully di sana. Namun, jika tidak tentu esoknya lebih besar lagi masalah yang akan aku terima.
------
Sudah pukul 20.15, Alda masih bolak balik di kamar. Terlalu banyak keraguan yang menghampiri, bahkan dia juga tidak punya baju yang layak.
"Alda, buka pintunya," ucap seseorang mengetuk pintu.
"Iya, sebentar." Alda melangkah mendekati pintu, lalu membukanya.
"Ini, ada gaun untuk kamu. Titipan Kak Jelita, wajib dipakai." Perempuan itu langsung pergi, Alda masih melongo memegang bungkusan.
Bungkusan itu berisi gaun pesta, sepatu dan selembar kertas petunjuk alamat acara. Sudah tidak keburu waktu, karena setahu Alda gedung itu agak jauh dari asrama. Dia langsung bergegas untuk bersiap-siap. Senyuman manis mengembang dari bibir tipis itu. Gaun pesta selutut melekat indah di tubuh Alda. Kakinya langsung menyarungkan sepatu, membuat dirinya seperti seorang peri.
Gadis enam belas tahun itu sampai terlena mematut dirinya. Dia baru sadar, ketika detak jarum jam terdengar menunjukkan sudah pukul 21.30.
Alda segera meraih tas selempang yang tergantung. Melangkah ke luar kamar, tangannya dengan gesit memutar anak kunci. Beres! Alda menuruni anak tangga dengan hati-hati. Angin sepoi-sepoi, meniup gaun selutut yang dipakai Alda. Entah kenapa seakan ada panggilan kalbu, agar matanya melirik ke pohon semalam. Dahan pohon kembali meliuk-liuk, seakan memanggil. Namun, Alda langsung memalingkan pandangan.
Alda mematung di gerbang asrama, agak bingung. Matanya terus mengawasi setiap kendaraan yang lewat. Berharap ada angkot yang melintas di sana. Mobil mewah merah berkilau berhenti di depan Alda. Kaca mobil bagian depan langsung terbuka perlahan. Wanita cantik berkulit putih terlihat di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan Jelita. Gadis tujuh belas tahun yang selalu mengerjai Alda.
"Ayo, naik. Nggak pakai lama." Jelita kembali menutup kaca mobil.
"Nanti di acara, Lu, jangan kemana-mana. Pokoknya harus nurut ke gua," ucap Jelita setelah Alda duduk di belakang.
"I ... Iya, Kak."
"Bagus."
Sepanjang perjalanan Alda hanya diam. Alunan musik yang diputar Jelita, tidak mampu menghibur hati. Debaran jantung semakin lama, semakin cepat. Beberapa kali, Alda mencoba menenangkan diri. Menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan secara perlahan. Semua itu tidak mampu menenangkan hatinya.
"Lu, kenapa?" tanya Jelita seolah paham akan kegelisahan Alda.
"Tidak apa-apa, Kak." Alda terpaksa senyum.
"Pokoknya kita senang-senang aja kok di sana. Nggak usah terlalu tegang deh."
"Iya, Kak."
Mobil yang dikendarai Jelita berhenti di depan gedung yang menjulang tinggi. Dia memang sudah cekatan mengendarai mobil, walaupun belum memiliki SIM. Jika ditilang polisi, Jelita tidak cemas. Ada bapaknya yang akan membereskan semuanya. Anak orang kaya memang bebas ngapain saja.
****
Jelita membimbing Alda masuk ke gedung. Dua wanita muda itu berjalan agak cepat. Netra Alda masih liar menatap apa saja yang mereka lewati.
"Sebelah sini," ucap Jelita menuntun Alda masuk ke salah satu ruangan.
Ruangan itu terlihat sepi, tak ada satu pun manusia di sana. Hanya hamparan karpet mewah, satu meja lebar, kursi-kursi dan hamparan kolam berenang. Lampu kelap-kelip menyinari ruangan itu. Di pojok ruangan, terlihat masih ada satu pintu yang tertutup rapat. Alda tidak ingin terlalu penasaran dengan tempat itu.
"Pestanya di sini, Kak?"
"Ya, tunggu saja. Sebentar lagi yang lain akan datang kok."
Alda mengangguk, memilih duduk di salah satu kursi. Beberapa saat kemudian terdengar alunan musik mengalun indah. Setelah itu, dari pintu, di pojok ruangan, keluar beberapa laki-laki. George salah satunya.
"Selamat datang, Jel. Lu, kelamaan datangnya," ucap Geo mendekat.
"Biasalah, Kak. Cewek kalau dandan memang lama."
Semua yang ada di situ mengambil tempat duduk. Alda memperhatikan satu per satu dari mereka. Tidak ada siswa kelas satu, tak satupun Alda kenal. Tiba-tiba firasatnya jadi tidak enak.
"Mana nih hadiah buat gua," tanya Geo pada Jelita.
"Tuh," jawab Jelita menunjuk Alda.
Alda yang tadi duduk langsung berdiri ketakutan. Gugup, khawatir melebur menjadi satu. Semua mata tertuju padanya, membuat tubuh Alda menjadi panas dingin. Bulir keringat mulai muncul tanpa diundang.
"Nggak apa-apa deh, yang penting masih perawan," ucap Geo menyeringai.
"Hahahaha, udah berapa cewek yang, Lu jamah, Bro?" tanya laki-laki berbadan tegap.
"Udah banyak, Bro. Pokoknya gua nggak akan bikin nih cewek kecewa."
Suara tawa kembali memenuhi ruangan. Jelita bersiap untuk merekam adegan seru itu. Di tangannya sudah ada camera handphone, yang sudah menyala. Sementara Alda membalikkan badan, berlari menuju pintu utama ruangan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
"Kejar dia!" perintah Geo pada temannya.
Dua laki-laki bertubuh tinggi langsung mengejar Alda. Kedua laki-laki itu melangkah lebih cepat dari Alda. Gadis bertubuh mungil itu kewalahan. Sepatu yang sedikit tinggi itu dia tinggalkan begitu saja. Ternyata nasib tak berpihak padanya, akhirnya Alda tertangkap. Sebelum berhasil keluar dari gedung itu.
"Mau kemana? Ha?!" hardik laki-laki yang mencekal lengan Alda.
"Kak, lepaskan saya. Saya mohon," ucap Alda mulai menangis.
"Itu urusan bos kita. Lu, mohon saja sama bos." Kedua laki-laki itu kembali membawa Alda ke ruangan tadi.
Geo menatap kedatangan Alda dengan senyum yang mengembang. Netranya menelanjangi Alda, liar menatap dari kepala sampai kaki.
"Kayaknya gaun ini kurang seksi," ucap Geo mendekat.
"Jangan, Kak. Ampuni saya," ucap Alda kembali memohon.
"Gunting!" teriak Geo meminta gunting.
Setelah mendapatkan gunting, Geo langsung memotong renda bawah gaun Alda. Alda hanya bisa menangis, untuk berontak pun percuma. Kedua tangannya perih dicekal erat oleh dua laki-laki yang mengejar tadi.
"Nah, ini baru bagus. Membuat gua bergairah." Geo senang sudah memotong gaun Alda menjadi lebih pendek.
Tidak sampai di situ, Geo belum juga puas. Tangannya kembali memainkan gunting. Memotong lengan gaun Alda, sehingga menampakkan bahu yang putih mulus. Alda menjadi ngeri, bully-an apa yang akan dia dapatkan. Mungkinlah laki-laki tak punya hati itu, akan melecehkannya? Begitulah pertanyaan Alda di dalam hati. Namun, Alda masih berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkannya.
-------