1.1

1033 Kata
"Dasar pecundang!" "Kampungan, ndeso!" "Culun!" Alda meringkuk memeluk kedua lututnya, perasaan takut dan malu berbaur menjadi satu. Dia seperti seonggok sampah yang menjijikkan, bagi manusia tak berperasaan yang sedang membully. "Hentikan! Cukup!" Alda berteriak menatap satu persatu wajah yang sedang tertawa bahagia. Ya, bahagia di atas bully-an terhadap dirinya. Air mata yang sudah tumpah, dia seka dengan kasar. Semua itu tidak membuat manusia di sekitarnya menaruh belas kasihan. Manusia tanpa perasaan itu justru semakin keras tertawa. Lemparan kulit kacang dan kertas bertubi-tubi menerpa Alda. Benar-benar perasaan mereka sudah hilang, sehingga kesedihan Alda menjadi hiburan yang sangat menarik. Sirine sekolah mengaung panjang, pertunjukan yang menarik itu pun segera bubar. Siswa siswi yang ada di sana berlalu, mata pelajaran awal akan segera di mulai. Wanita berkulit putih mendekati Alda, tangannya menarik keras kepangan rambut Alda. "Cih, kalau jelek, ya, jelek aja. Nggak usah sok merasa cantik!" cerca wanita itu menatap penuh kebencian. Dua wanita yang ada di sisi kiri dan kanannya ikut tertawa terbahak-bahak. "Gua peringatkan sama, Lu. Jangan mimpi terlalu tinggi. Lu kira George mau menerima surat cintamu? Ha?! Ngaca sana! Ngaca!" Jelita mendorong kepala Alda sehingga membentur ke ubin. Jelita dan kedua temannya meninggalkan Alda dalam keadaan yang menyedihkan. Alda mencoba bangkit, membersihkan rambut yang dipenuhi sampah. Sebelum masuk ke kelas, Alda menyempatkan diri membersihkan sisa-sisa sampah yang menempel di seragam, kemudian dia melangkah pelan menuju kelas. *** [Apakah menjadi jomblo itu hina?] tulis Alda di buku diary-nya. [Apakah orang kampung tidak boleh sekolah di kota?] lagi, pena menari di kertas putih. [Apakah menjadi kalem dan pendiam itu salah? Aku hanya ingin jadi siswi yang baik. Tapi, kenapa mereka membenciku sampai tak satupun yang mau berteman denganku] air mata Alda kembali menetes. Dia sudahi menulis buku diary, melangkah menuju jendela yang masih terbuka. Netra Alda menatap ke arah pohon besar yang tumbuh rimbun di samping asrama putri. Entah kenapa dia betah menatap liukan ranting yang diterpa angin malam. Setiap lambaian dahan pohon itu seakan sedang memanggil Alda untuk mendekat. Alda mengerjap, mengalihkan pandangan ke arah lain. Warna langit yang semakin pekat membuat Alda sadar bahwa malam semakin tinggi. Dengan gerakan lambat dia tutup jendela kamar dan merapikan gorden. Tubuh mungil itu berbalik membelakangi jendela. Namun, tiba-tiba bulu kuduk Alda merinding seperti ada yang sengaja meniup. Alda menjadi ngeri, secepat mungkin melompat ke kasur dan menarik selimut menutupi seluruh tubuh. "Alda ... Alda ...." Suara lirih nan lembut membuat Alda tegang. Napasnya berembus tak beraturan, jantung berpacu lebih cepat, dan bulir keringat mulai mengalir di permukaan kulit. Dalam ketakutan yang sangat, Alda mencoba untuk menutup erat kelopak matanya. Namun, semua itu hanyalah sia-sia. Ketakutan semakin merajai hatinya, apalagi di kamar dia hanya tidur seorang diri. Ya, itu semua karena tak satupun siswi yang mau bergabung. "Alda, hantu itu tidak ada." Begitulah ucap Ibu Alda dulu. Alda berusaha menenangkan diri dengan pesan yang diucapkan oleh wanita yang sudah mengandungnya. "Ya, hantu itu tidak ada. Tidak ada," ucap Alda lirih menghibur diri. Perlahan gadis enam belas tahun itu mencoba membuka selimut yang menutupi kepalanya. Huft! Dia mengembuskan napas lega setelah melihat ke seluruh penjuru kamar. Tidak ada apa-apa, tidak ada hantu atau makhluk menyeramkan lainnya. Alda tersenyum tipis, lega. Dia segera memejamkan mata, beralih ke alam mimpi. *** Langit cerah, Alda melangkah pasti menuju gerbang sekolah. Meskipun ada rasa debar di d**a, karena dia sudah hapal, sebelum pelajaran dimulai teman-temannya akan menjadikannya bahan olok-olokan. "Hei, Alda, berhenti!" Titah Jelita. Wanita yang memiliki wajah nan rupawan itu mendekat ke arah Alda. "Iya, Kak," sahut Alda gugup. Tatapan matanya menuju ke bawah. Alda tidak pernah berani menatap mata kakak kelasnya. "Temani gua makan ke kantin." "Tapi, Kak. Saya mau segera ke kelas. Soalnya nanti ada pela---." Alda tak mampu meneruskan kalimat. Tatapan sinis Jelita, seolah menjadi rem cakram yang mampu membuat lidahnya kelu. "Gua nggak terima alasan apapun. Eh, bukankah, Lu senang? Nanti di kantin, Lu bakal liat George. Lu, ingat 'kan?" Jelita berbicara tepat di telinga Alda. "Kak, ampuni saya kali ini saja, mohon," ucap Alda memelas sambil berlutut. "Oh, tidak untuk kali ini. Ayo, kita lihat seberapa cantik, Lu di matanya. Seret dia!" Perintah Jelita pada kedua temannya. Alda hanya bisa pasrah diapit oleh kedua sahabat Jelita. Terpaksa Alda mengikuti langkah tiga wanita angkuh itu menuju kantin. Ketika rombongan Jelita datang, beberapa mata langsung menunduk. Hanya sepasang mata yang menatapnya lama. Itulah George, anak kelas tiga yang banyak digilai siswi seisi sekolah. "Duduk!" Perintah Jelita mendudukkan Alda di kursi yang ada di depan George. Laki-laki itu hanya menatap dengan tatapan heran. Sepasang alisnya yang hitam pekat bergerak perlahan. "Ada apa ini?" Tanya George. "He-he-he-he, ini loh, Kak. Gadis tercantik di sekolah kita mau menyatakan perasaannya," celetuk Jelita tersenyum penuh arti. "Gadis ini? Tercantik?" George menatap dengan cemooh. Bully-an telah dimulai, Alda merasa lemas seketika, pipinya merah padam menahan malu. Sungguh perbuatan yang konyol ketika dia tanpa berpikir ulang mengirimkan surat cinta. Harusnya, Alda tidak melakukan itu, akan tetapi semua sudah terlanjur. "Maaf, Kak. Saya kemarin khilaf," ucap Alda menunduk menatap meja. "Jadi, yang mengirimkan surat itu kamu?" Nada bicara George mulai meninggi. Alda mengangguk pelan, rasa malu semakin menggerogoti pembuluh darah. "Eh, Kak. Jangan gitu dong, beri dia kesempatan dulu." Jelita mengambil makeup dari tasnya. Dengan isyarat tangan, kedua sahabatnya maju untuk mendandani Alda. "Kak, saya mohon jangan lakukan itu. Saya minta maaf, saya janji tidak akan berbuat seperti itu lagi." Alda memelas, bahkan air bening mulai menggenang di ujung matanya. Semua yang ada di situ hanya diam menyaksikan pertunjukan. Kedua sahabat Jelita mulai aksinya untuk mempermalukan, Alda. "Perhatian, semuanya. Lihat, inilah siswi tercantik yang ada di sekolah kita!" sorak Jelita dengan suara yang lantang. Semua siswa dan siswi ikut tertawa dan bersorak gembira. "Kak, Geo. Apa pendapat, Kakak?" Tanya Jelita tersenyum manis. "Ampas! Sampah! Gua pengen muntah melihat wajahnya!" Hinaan dari bibir George seperti belati yang menghujam hati Alda. Tanpa bisa ditahan lagi, air mata tumpah membasahi wajahnya yang didandani cemong, seperti dandanan badut. "Hu! Dasar pecundang," sorak beberapa siswi yang ada di kantin. "Nggak sadar diri, ya, dia." Yang lain pun ikut berceletuk. Geo, Jelita dan sahabatnya berlalu meninggalkan kantin. Alda masih menjadi olok-olokan siswa dan siswi yang masih tinggal. Bully-an itu berakhir setelah sirine berbunyi. Tinggal Alda seorang diri yang sedang meratapi nasib.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN