Bab 2
"Mas, padahal biarin saja si Amira pergi. Kita lihat saja, apajah dia bisa tanpa uang darimu? Gayanya saha sok banget, seperti bisa mencari uang sendiri. Biarin, Mas, biar dia kesusahan. Biar dia berusaha mencari uang sendiri, supaya dia juga bisa merasakan, bagaimana susahnya mencari uang." Lisa mengompori Mas Romi, supaya membiarkan aku pergi.
"Tidak bisa begitu dong, Lisa. Bagaimana dengan Ibu, jika seandainya Amira beneran pergi? Apa kamu mau menjadi pengganti Amira unruk merawat Ibu?" tanya Mas Romi. meminta jawaban lisa
"Ya nggak lah, Mas. Aku nggak mau, hanya diam di rumah merawat ibumu. Kamu kan tau sendiri, kalau aku nggak betah diam di rumah." Lisa langsung to the poin menolaknya.
Lisa ternyata mau enaknya saja, ia tidak mau merasakan susahnya. Padahal dia itu sedang berhubungan dengan Mas Romi, seharusnya ia juga mau merawat Bu Rahma mertuaku.
"Nah makanya, Lisa. Kamu jangan malah menyuruh Amira pergi dari kehidupan, Mas. Karena tidak ada yang bisa merawat Ibu setelaten Amira. Jangankan kamu, kami anaknya saja tidak mampu," terang Mas Romi.
"Ya sudah, Mas, kalau begitu kita sewa perawat saja. Mereka pasti bisa untuk merawat Ibu dengan telaten seperti si Amira," saran Lisa.
"Ah kamu ini, Lisa. Bukannya memberi ide cemerlang, malah membuat aku bertambah pusing saja. Apa kamu yang mau menanggung biaya setiap bulannya untuk menyewa perawat? tanya Mas Romi.
Dari perkataannya saja sudah jelas, jika dia tidak mau terbebani dengan biaya perawatan Ibunya. Dia hanya memanfaatkan tenagaku untuk merawat Ibunya.
"Ternyata benar ya, Mas, apa yang aku katakan? Kalau kamu itu, hanya memanfaatkan kebaikan aku. Kamu tidak perlu berkelit lagi sekarang, sebab barusan kamu yang bilang sendiri. Jadi nggak ada yang perlu aku pertahankan lagi, silahkan kamu urus Ibumu tanpa aku," terangku.
"Nggak, Mira, kamu jangan pergi. Kamu nggak boleh meninggalkan Mas dan juga Ibu," pintanya lagi.
Tapi aku tidak mau mendengar, apa pun yang diucapkan oleh suamiku tersebut. Aku buru-buru pergi dari kantor Mas Romi, dengan derai air mata. Aku tidak peduli dengan karyawan suamiku, yang saling melirik dan juga berbisik.
Aku berjalan dengan sedikit berlari, supaya aku segera sampai ketempat parkir. Aku juga tidak menjawab, saat ada karyawan yang menyapaku. Aku merasa terdzolimi saat ini, sebab semua karyawan suamiku menutupi kebusukan atasannya tersebut.
***
"Bu ... ibu, mau pergi ke mana? Kenapa Ibu membawa semua pakaian Ibu dan juga Den Azka?" tanya Mbak Asmi, saat aku membawa dua koper yang berukuran besar.
"Bi, maaf ya, aku tidak bisa menjelaskan apa-apa sama Bibi, sebab ini privasi," jawabku.
"Iya maaf, Bu," ujarnya.
Setelah itu, aku menyalami dan mencium pipi kiri dan kanan mertuaku. Karena jujur aku begitu menyayanginya, sebab selama Ibu mertuaku sehat. Dia begitu baik kepadaku, walau ipar-ipaku terkadang mendzolimiku.
Setelah itu aku kembali menyeret koperku keluar rumah, sebab aku berniat ingin segera meninggalkan rumah Mas Romi. Namun, pada saat aku sampai ke teras depan, ternyata Mas Romi juga sudah ada di depan. Rupanya ia menyusulku pulang, serta Lisa pun ikut dengannya.
"Dek, Mas mohon kamu jangan pergi ya, Mas tidak mau kehilangan kamu. Jika kamu meminta Mas untuk memutuskan Lisa, Mas juga akan memutuskannya, Dek. Asal kamu jangan pergi dari Mas ya," pinta Mas Romi dengan memelas kepadaku.
"Lho, Mas, kok kamu ngomongnya begitu sih?" tanya Lisa tidak suka.
"Terus aku mesti ngomong apa, Lisa? Kamu saja tidak mau mengurusi ibuku, masa iya sih aku madih mau mempertahankan perempuan seperti kamu? Sedangkan isteriku yang sudah rela berkorban buat keluargaku, aku harus lepas begitu saja. Enak saja kamu, Lisa," ujar Mas Romi.
Mas Romi ternyata lebih memilih mempertahankan aku, ketimbang Lisa selingkuhannya. Tetapi aku merasa ragu, ini nyata dari hatinya Mas Romi, atau hanya triknya semata. Tetapi jika melihat dari emosinya Mas Romi dan Lisa, sepertinya mereka benar-benar nyata, bukan sekedar rekayasa. Aku pun menjadi bingung harus bagaimana mengambil sikap.
Apa aku tetap memilih pergi, atau tetap diam di rumah ini? Apa aku bisa melanjutkan semuanya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa? Jujur hatiku masih begitu perih dan belum bisa memaafkan perselingkuhannya Mas Romi. Aku masih terbayang jelas, saat Lisa duduk di pangkuannya Mas Romi, sambil menyuapinya makan. Mas Romi juga kesenangan, dengan apa yang dilakukan Lisa tersebut.
"Jadi maksudnya, kamu lebih memilih Amira dibanding aku, Mas?" Lisa bertanya tentang keputusan Mas Romi.
"Iya, Lisa, aku lebih memilih Amira. Karena kehadiran Amira lebih bermanfaat, serta bisa diandalkan ketimbang kamu," jawab Mas Romi.
Mas Romi membenarkan pertanyaan Lisa, jika dia tidak memilihnya tetapi malah memilih aku.
"Maaf, Mas, seharusnya kamu juga bertanya dulu kepadaku. Apakah aku masih mau atau tidak menerima kamu lagi? Setelah apa yang kamu lakukan dibelakangku," ujarku.
"Lho memangnya kenapa, Dek? Mas kan sudah menyuruh Lisa untuk mundur, Mas lebih memilih kamu lho ini," ujar Mas Romi.
Ia berkata seenaknya, seakan ini bukanlah masalah besar. Aku bahkan merasa, kalau dia itu seolah mendesak aku, supaya tetap bertahan bersamanya. Mas Romi juga menatapku, dengan tatapan penuh harap. Tatapan itulah, yang membuat hatiku selalu luluh kembali, kalau dia sudah melakukan kesalahan.
"Mas, kesalahan kamu ini menurutku yang paling fatal lho. Walaupun aku tetap bertahan dengan rumah tangga ini, tetapi aku belum tentu masih mau meladeni kamu. Maaf, aku juga tidak akan begitu mengurus Ibumu seperti biasanya. Jangan pernah menyalahkan aku, sebab semua perubahan sikap aku ini juga karena ulah kamu, Mas." Aku berkata panjang lebar memberitahu Mas Romi, jika sikap aku juga kemungkinan pasti banyak berubah.
"Mas mengerti kok, Dek. Kamu masih mau mendampingi Mas saja, Mas sudah merasa bahagia. Apalagi jika kembali seperti dulu," ujarnya.
"Kamu jangan terlalu berharap banyak ya, Mas. Karena hatiku tidak sekuat itu," terangku.
Aku mencoba untuk tetap bertahan, semoga saja Mas Romi benar-benar bisa merubah sikap dan perilakunya.
"Ya sudah lebih baik aku pergi. Karena aku sudah tidak dibutuhkan lagi disini," ucap Lisa, sambil berlalu pergi.
"Tunggu dulu, Lisa. Aku masih belum selesai berbicara denganmu," pintaku.
"Kamu mau ngapain lagi sih, Amira? Aku mau pergi nih," tanya Lisa dengan nada tinggi.
Lisa memasang wajah jutek kepadaku, ia juga melipat tangannya di d**a. Padahal biasanya, ia tidak pernah seperti ini. Dia selalu memasang wajah semanis mungkin, jika bertemu denganku. Tapi kini setelah semua kelakuannya terbongkar, ia berubah drastis seperti ini.
Bersambung ...