Bab 1
Bab 1
"Iya, Sayang. Sebentar lagi ya. Kamu tunggu di sana, sebab Mas juga akan segera ke sana kok. Kamu tunggu, ya Sayang," ucap Mas Romi lembut.
'Lho, Mas Romi sedang bicara sama siapa ya? Kok dia memanggil orang tersebut dengan panggilan sayang? Padahal sama aku saja, tidak pernah sekalipun mengucapkan sayang,' tanyaku dalam hati.
Aku merasa heran dan curiga saat mendengar semua ini. Aku yang tadinya berniat memanggil Mas Romi, buat sarapan malah menjadi kepo, dengan apa yang sedang dibicarakan suamiku tersebut. Karena tadi ia menyebut sayang kepada seseorang, tetapi entah kepada siapa.
Saat aku mendengar Mas Romi sedang teleponan, bahkan ia memanggil sayang, kepada orang tersebut. Aku tidak langsung memanggilnya, tetapi akumenunggu dia, supaya Mas Romi menyelesaikan dulu pembicaraannya itu sekalian menguping.
Setelah ia mengakhiri panggilan teleponnya, baru aku masuk untuk menemuinya dan akan mengajaknya untuk sarapan bareng.
"Mas, kamu sedang ngapain sih, kok lama banget di kamarnya? Aku dari tadi menunggu kamu lho, Mas. Azka dan Ibu juga menunggu kamu, saat ini mereka sudah berada di ruang makan, hanya kamu yang belum datang." Aku bertanya kepada Suamiku, alasan dia tidak segera datang ke ruang makan.
"Itu lho, Dek. Tadi ada klien menelepon, Mas. Katanya ia sudah menunggu Mas di kantor. Jadi maaf ya, Dek, Mas nggak bisa sarapan bareng hari ini," terang Mas Romi.
Namun, apapun yang dikatakannya saat ini, sudah pasti itu adalah berbohong. Masa iya, Mas Romi berkata sayang sama kliennya? Terkecuali jika kliennya itu seorang perempuan dan mereka terlibat cinta lokasi.
"Oh, begitu ya, Mas? Tapi beneran, kalau itu klien kamu kan, Mas? Bukan selingkuhan kamu? Soalnya tadi aku sekilas mendengar, kalau Mas bilang, Yang, sama orang di seberang telepon tersebut," tanyaku menyelidik.
"I-iya bener klien lah, Dek. Masa iya selingkuhan, Mas. Karena Mas tidak punya selingkuhan, hanya kamu istri, Mas. Kamu adakah wanita satu-satunya di hati, Mas," gombal Mas Romi.
"Tapi kok, kamu itu barusan menjawabnya dengan gugup, Mas. Pasti ada yang kamu sembunyikan dariku. Iya kan, Mas? Ingat ya, Mas, kamu itu jangan macam-macam sama aku. Karena jika Mas sekali saja berbuat diluar jalur, maka silakan urus sendiri Ibumu, Mas," ancamku.
Aku sengaja mengingatkan suamiku tentang semuanya, supaya ia bisa kembali ke jalur yang benar, apabila saat ini ia memang sedang di luar jalur. Karena Aku tidak mau, jika semua pengorbananku merawat ibunya sia-sia.
"Lho, Amira, kok kamu malah ngelantur sih ngomongnya? Itu sama saja kamu menuduh aku. Sudah ah, aku tidak bisa lama-lama, nanti kliennya menungguku," ujar Mas Romi dengan nada emosi, sambil menyambar konci mobil dan tas kerjanya.
"Ya sudah, hati-hati di jalan, Mas," pesanku.
Aku pun menyalami tangan suamiku secara takzim, walaupun suamiku sepertinya marah dengan semua ucapanku barusan. Tetapi aku tetap menghormatinya. Kemudian aku dan Mas Romi berjalan keluar dari kamar. Aku mengantar suamiku pergi, hingga ke teras depan. Setelah mobilnya tidak terlihat lagi, baru aku pun kembali ke ruang makan.
Disana ada Azka anaku, serta Ibu mertuaku. Rupanya Azka sudah duluan sarapan, mungkin karena ia kelamaan menungguku, sehingga ia duluan makan. Sedangkan Ibu mertuaku masih menungguku, sebab ia tidak bisa berbuat apa-apa, jika tidak dibantu orang lain.
Ya, Ibu mertuaku sakit. Ia sudah lama terserang struk, hanya bisa duduk di kursi roda, tanpa bisa berbuat apa-apa. Makanya aku mengancam Mas Romi, jika dia berani macam-macam denganku. Maka aku akan pergi dan silahkan ia urus sendiri ibunya itu.
Karena selain aku, anak-anaknya pun tidak ada yang sanggup mengurus, dengan alasan mereka sibuk kerja. Jadi mereka melimpahkan semuanya kepadaku, tetapi masalah biaya mereka tetap yang menanggung.
***
"Mbak, aku titip Ibu sebentar ya! Dia sudah makan dan juga sudah minum obat kok. Aku mau mengantar Azka sekolah dulu, sekalian mau ada perlu," terangku.
"Iya, Bu," ujar Bi Asmi.
Ia adalah asisten rumah tanggaku, yang datang setiap pagi dan pulang sore hari. Ia tidak bisa menginap, sebab dia juga punya tanggung jawab, terhadap suami dan juga anaknya.
"Ya sudah, aku pergi dulu ya, Mbak. Aku nitip Ibu dulu sebentar, assalamualaikum," pesanku lagi.
"Waalaikumsalam, iya, Bu," ujarnya.
Aku pun segera mengantarkan Azka ke sekolah TK Tunas Bangsa, yang tidak jauh dari komplek perumahan tempat tinggalku. Setelah mengantar Azka, aku segera pergi ke kantor Mas Romi, aku ingin mengetahui benar tidaknya ada klien menunggu sepagi ini.
Walaupun nanti sudah tidak ada orangnya, tetapi mungkin satpam atau karyawan lain tahu. Apa benar ada klien sepagi ini? Aku memacu motor matic-ku, dengan kecepatan yang lumayan tinggi, supaya cepat sampai ke kantornya Mas Romi.
***
"Oh ... jadi ini, yang dimaksud klien oleh kamu, Mas? Pantas saja, kamu tadi terburu-buru berangkat, sampai kamu tidak mau sarapan di rumah. Rupanya kamu mau sarapan di kantor, serta memakan masakan perempuan ini! Bagaimana, Mas, enak masakannya? Pasti nikmat sekali ya, orang makannya saja sambil disuapi. Bahkan yang menyuapinya juga duduk manis dipangkuanmu," sungutku.
"A-Amira, kamu jangan marah-marah dulu, Dek. Dengarkan dulu penjelasan, Mas," pinta Mas Romi.
"Sudah, nggak perlu lagi kamu menjelaskan apa-apa padaku, Mas. Karena aku tidak akan mau mendengar ocehanmu, sebab mataku sudah dapat merangkum semua yang terjadi, antara kamu dan perempuan ini. Perempuan yang berstatus sahabat, tetapi dia telah tega menusukku dari belakang. Kamu dengar ya, Mas! Mulai saat ini, silahkan kamu urus ibumu tanpa aku, Mas. Perintahkan selingkuhanmu untuk merawatnya," tuturku.
Setelah berkata seperti itu, aku pun segera keluar dari ruangan Mas Romi, dengan membawa luka dan lara dihati ini.
"Amira, tunggu dong, Dek! Kamu jangan ngambek begitu, kita bicara dulu baik-baik! Kamu jangan sangkut pautkan urusan ini, dengan perawatan Ibu," pinta Mas Romi, yang ternyata mengekoriku.
"Enak betul bicara kamu ya, Mas. Kamu seenaknya saja berselingkuh dengan Lisa, sedangkan aku harus tetap mengurus Ibumu. Dimana letak hati nuraniku, Mas. Itu Ibumu, Mas, mertuaku. Ibu yang telah melahirkan kamu dan juga adik-adikmu. Seharusnya kalian yang merawatnya, bukan aku. Tetapi kenapa malah aku, yang diminta bertanggung jawab untuk merawatnya? Aku bahkan dijadikan perawat gratisan, oleh kamu dan keluargamu. Kalau saja kamu setia, Mas. Aku pasti tidak akan mengungkit semua ini," ungkapku panjang lebar.
Aku benar-benar marah, aku tidak terima dengan penghianatan suamiku ini. Ternyata tenaga yang kukeluarkan untuk mengurus Ibunya itu sia-sia, sebab ia tidak menghargai pengorbananku selama ini.
Bersambung ...