Semua Yang Menjadi Hambar

1112 Kata
Demian tengah memeriksa berkas tentang kliennya yang dituduh atas pembunuhan yang terjadi pada sebuah kamar apartement. Tiba-tiba Clara datang dan meletakkan secangkir kopi di samping berkas yang tengah dipelajarinya. Keduanya saling bertukar senyum. “Makasih, Clara.” Demi mendapatkan kepercayaan Almira kembali, Demian memecat sekretaris terdahulunya dan mempekerjakan orang lain. Clara, seorang gadis manis terlihat sama sulitnya untuk dihindari seperti sekretarisnya yang terdahulu. Demian tak tahu apa yang salah dengan dirinya. Pernikahan mereka seakan baik-baik saja, namun setelah kepergiaan kakeknya, Demian mulai merasa ada yang berbeda. Pikirannya mulai terbuka, jika memang mungkin tak pernah ada cinta di antara mereka. Wanita itu hadir di saat yang tepat, saat dirinya memerlukan seorang istri untuk dipamerkan pada kakeknya yang memberikan syarat untuk dia menikah agar menjadi satu-satunya pewaris seluruh harta keluarga. Demian heran. Mengapa dirinya tak bisa bahagia? Padahal dulu, semuanya terasa sempurna. Demian bahkan tak mampu melihat ke arah lain, bila Almira di sisinya, membuatnya yakin jika dirinya bisa bersama wanita itu hingga mereka tua nanti. Bayangan akan hari pernikahan mereka hadir dalam benaknya. Rasanya, baru kemarin semua itu terjadi. “Cintaku sedalam samudera, Mira. Nggak akan pernah habis. Hari ini, kamu akan menjadi istriku dan selamanya kita akan bersama. Aku akan menjadikanmu satu-satunya ratu dalam istanaku dan inilah janji pernikahanku padamu.” “Pak ... tentang Pak Abi Suryo, hasil visum korbannya sudah keluar. Saya akan mengirimkannya ke email, Bapak.” Clara tersenyum lembut, ada rasa aneh yang merasuki relung hati Demian saat melihat senyum wanita itu. Demian bukanlah seorang pemain wanita. Dirinya adalah lelaki bebas yang suka berpesta, namun hanya sekadar menghamburkan uang. Ia hanya meniduri satu dua wanita dan tak mau terikat, namun entah mengapa, setelah menikah, dirinya malah begitu mudah tergoda wanita. “Makasih, Clara. Kamu bisa keluar.” Gadis berparas manis itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan Demian. Demian menyandarkan punggung pada sandaran kursi kebesarannya sembari menatap kosong punggung wanita yang terus menjauh. Demian tersenyum lirih. Apa yang kurang dari istrinya? Almira masih muda dan juga cantik. Dirinya penurut dan selalu melayaninya dengan baik, lalu mengapa pernikahannya terasa monoton dan membosankan. Dulu, saat pertama kali dirinya berselingkuh, ia pikir hanya karna rasa bosan. Apalagi setelah kakeknya meninggal, Demian seakan mendapatkan tiket kebebasannya. Ia tak lagi dikekang dan tak merasa harus menjadi sosok suami sempurna yang dituntut oleh Sang kakek. Tentu saja Demian bersedih dengan kepergian kakeknya, namun ada sisi lain yang membuatnya kembali merasa bebas. Hingga dirinya kembali ke kehidupan lamanya. Sejenak melupakan kehadiran Almira dalam hidupnya, hingga dirinya bertemu dengan Tamara, sekretaris pertama yang mampu menarik perhatiannya. Wanita itu datang di saat yag tepat. Ponsel yang bergetar di meja menarik Demian kembali ke alam nyata. Ia tersenyum tipis saat membaca nama Almira di sana. Ia pikir, saat dirinya kecelakaan, itulah pertanda agar ia lebih menghargai Almira. Kepergiaan Almira selama beberapa hari, membuatnya merasa kosong. Ia bahkan merasa kehilangan saat tak menemukan wanita itu di dapur, tempat biasa wanita itu menyambutnya di pagi hari dengan senyum hangatnya. Akan tetapi, setelah semuanya membaik, Demian mulai merasa hambar. Mungkin, sejak awal memang tak pernah ada cinta di antara mereka. Kakeknya memberikan waktu tiga bulan untuk mendapatkan seorang istri, sedang Demian saat itu adalah pengacara yang lebih suka bermain dan bersenang-sendang, daripada memajukan firma hukumnya. Hingga kakeknya mengancam akan menghentikan semua aliran dana dan mencoret nama lelaki itu dari surat wasiat. Kakenya pikir, dengan menikah Demian bisa berubah. Dirinya pun sempat memikirkan hal yang sama. Namun sayang, manusia bukanlah makhluk yang mudah berubah. Apalagi setelah bertahun-tahun menjalani rutinitas yang sama, jiwa penyuka tantangannya seakan mati dan Demian tak menyukai hal itu. Ia tak ingin kehilangan dirinya sendiri dalam pernikahan itu, hingga Demian memilih untuk memberontak dari kebosanan. “Hallo ...” Demian berusaha membuat suaranya sebahagia mungkin. Wanita itu hanya ingin melihat apa yang dia inginkan, Almira tak mampu melihat apa yang disembunyikan Demian darinya. Sisi liar yang kembali ingin segera dikeluarkan. “Kamu masih ingat kalau hari ini kita ada kencan kan, Mas?” Lelaki itu tersenyum. “Tentu aja, Sayang. Pekerjaanku akan segera selesai dan aku akan segera menjemputmu di rumah. Apa kamu udah siap?” “Udah dari tadi. Aku beneran nggak sabar. Udah lama sekali, kita nggak pernah menghabiskan waktu di luar. Aku sangat menantikannya.” Demian tersenyum tipis. Ya, memang sudah lama ia tak pernah mengajak Almira kencan dan menghabiskan waktu bersama. Rasa bosan kembali menyelimuti hatinya, membuat Demian sadar, memang hati tak bisa dipaksakan untuk mencintai. Ia merasa bosan, tapi tak mau melepaskan. Merasa terkekang, namun takut kehilangan. Demian tak mengerti akan hatinya sendiri. Ia menginginkan Almira, namun di sisi lain, merasa ada yang salah dengan pernikahan mereka. Semua semakin jelas begitu ia mendapatkan kebebasannya kembali. “Aku akan segera menjemputmu, Mira.” Panggilan segera terputus begitu Mira mengatakan satu ‘ok’. Demian menutup kembali dokumen di hadapannya, lalu menyusunnya di sisi meja. Ia mengenakan kembali jas yang disampirkannya di sandaran kursi. “Clara ... aku harus pulang cepat hari ini. Bisa tolong rangkum kasus yang kukerjakan dan kirimkan ke email. Aku akan memeriksanya malam ini.” Clara mengangguk mengerti. “Bapak tampak terburu-buru. Ada hal yang begitu penting?” Demian tersenyum. “Ya, penting. Kencan bersama istriku.” Clara mengangguk mengerti, sedetik kemudian lelaki itu pergi dari pandangannya. Ia memang baru bekerja di firma hukum Demian, namun sikap Demian yang terlihat menyayangi istrinya dan tekun berkerja membuat darah mudanya mendidih. Ia berdebar-debar saat mata mereka secara tak sengaja bertemu. Demian membuat tubuhnya mendadak panas. Aneh, dirinya begitu menyukai lelaki family man seperti Demian, lelaki yang seakan sulit digapai. Clara menyentuh bibir bagian bawahnya, membayangkan bibir lelaki itu menempel pada bibirnya. Mungkin semua ini karna dirinya yang begitu menyukai cabaran. Ia akan segera mendapatkan Demian—janji Clara pada dirinya sendiri. Di sisi lain, Demian sudah tiba di rumahnya dan segera menggenggam tangan Almira dan menuntunnya masuk ke dalam mobil. Terlihat jelas rona kebahagiaan pada wajah Demian, yang harusnya menular pada dirinya juga, namun sayang tak bisa. “Makasih untuk hari ini, Mas,” ucap Almira begitu lelaki itu sudah duduk di kursi kemudi. Demian mengusap lembut wajah Almira, menggenggam tangan wanita itu dan mengecup punggung tangannya. “Maaf karna selama ini aku selalu mengabaikanmu, Mira.” Mira menggeleng. “Nggak ada lagi yang perlu dimaafkan, Mas. Aku mencintaimu.” Demian menangkup wajah Almira dengan kedua tangannya, mempertipis jarak di antara wajah mereka, dan mengecup lembut kening Almira. “Aku juga mencintaimu,” ucapnya setengah berbisik. Keduanya berbagi senyum. Demian tak tahu, apa artinya cinta. Untuk saat ini, ia hanya ingin menunjukkan apa yang Almira ingin lihat darinya. Ia hanya ingin wanita itu terus berada di sisinya. Demian tahu, dirinya pasti bisa kembali bahagia seperti dulu lagi, merasa bahagia ketika mereka bersama. Mungkin, rasa hambar yang menyelimuti hati akan segera pergi. Mungkin saja, semua ini sama seperti dulu, hanya kebosanan sesaat dan ketika Almira pergi, ia akan kembali menyadari, jika dirinya sangat membutuhkan Almira di sisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN