Menit demi menit telah berlalu, Almira menyajikan kopi dan juga roti lapis kesukaan lelaki itu. Lelaki itu langsung menyantapnya tanpa mengucapkan terima kasih ataupun senyuman. Almira tak mengharapkan banyak, hanya ingin dianggap ada dan tak diabaikan. Almira hanya bisa tersenyum kecut. Lelaki itu pun tak mau bersusah payah menatapnya, menanyakan kabar, dan juga berbagi cerita tentang kegiatan mereka. Banyak yang telah berubah. Tiga tahun sudah mereka berumahtangga dan kini semuanya tampak tak bermakna.
“Kamu pulang kerja jam berapa, Mas?”
Lelaki itu mengendikkan bahu. “Belum tahu. Lebih baik nggak usah menungguku di ruang tamu seperti apa yang kamu lakukan belakangan ini.” Lelaki itu berdesis sebal, “kamu bisa langsung tidur di kamar. Aku bukan anak kecil yang harus kamu tunggui. Aku juga bukan burung yang harus kamu kekang di dalam sangkar. Aku bisa melakukan apa yang kumau.” Lelaki itu mengangkat wajah dan menatap tajam ke arah Almira, sedang Almira tersenyum tipis.
“Aku nggak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku nggak mau mengekangmu, Mas. Jika saja, kamu mengangkat panggilanku, maka aku nggak akan khawatir, Mas.”
Lelaki itu menggebrak meja, membuat Almira terkejut. Tatapan penuh amarah diberikan lelaki itu padanya. “Apa sekarang kamu menyalahkanku?” lelaki itu mengeraskan rahangnya.
Almira menggeleng cepat. “Aku nggak pernah menyalahkanmu, Mas.”
Lelaki itu segera berdiri dan menyambar tas di kursi sampingnya. “Ini yang membuatku nggak betah berada di dekatmu, Mira! Kamu terlalu membosankan dan juga memuakkan.”
Mira segera berdiri dan menyusul langkah lelaki itu. Dicengkram pergelangan tangan lelaki itu untuk menghentikan langkahnya. “Apa yang salah denganku? Apa yang salah dengan kita, Mas?” air mata Almira jatuh dan ia terisak. Ia tak mampu lagi menahan kepedihan yang merasuki jiwa. Ia tak sanggup menahan perih yang begitu menyakitkan. Apa yang salah? Pertanyaan itu kerap mengganggu benaknya. Ia tak melihat tanda-tanda apa pun yang membuat hubungan mereka mendadak renggang dan berjarak.
“Kamu yang salah. Berubah agar aku nggak benar-benar membencimu,” ucap Demian sembari mendorong kasar tubuh Almira, membuat wanita itu tersungkur dengan mengenaskan.
Demian tersenyum miring dan tak ada niat sedikitpun untuk membantu wanita itu berdiri. Lelaki itu membalik badan dan berjalan meninggalkan Almira dengan kesendiriannya. Air mata yang Almira tumpahkan pun tak mampu meluluhkan hati Demian. Hati lelaki itu seakan telah mati dan tak mampu lagi merasakan cinta yang ia miliki. Mengapa orang bisa berubah secepat itu? Apa harus ada perubahan dalam kehidupan seseorang? Almira tak menyukai perubahan yang terjadi di antara mereka dan ia ingin kembali ke masa lalu, saat di mana hanya ada cinta.
***
Jenny menarik tangan Almira ke sana-ke mari, berusaha menghibur sahabatnya itu dengan membawanya berbelanja keliling mall. Kini, keduanya sedang berada di toko pakaian dalam, Jenny tampak bersemangat memilih, sedang Almira hanya memainkan jemarinya di atas beberapa lingerie dan tak berniat sedikit pun untuk membelinya. Almira tahu, tak ada gunanya ia membeli pakaian seksi itu, suaminya tak akan melirik, dan juga tak mampu mengembalikan kehangatan ranjang mereka. Akhirnya, pakaian itu hanya akan menghiasi lemarinya, tak akan pernah disentuh maupun kenakan.
“Mira ... mulai lah memilih. Bukankah kamu harus menggoda suamimu?”
Almira tersenyum masam. Menggoda? Ia sudah melakukan dan menerapkan banyak saran dari Jenny yang terkenal sebagai wanita lajang yang banyak memikat kaum adam dengan kemolekkan tubuh dan juga sikap centilnya yang sangat pintar merayu.
“Aku nggak membutuhkannya,” ucap Almira lemah, “aku nggak tahu apa yang salah dengan pernikahan kami. Mas Demian mulai berubah, seakan orang yang tak lagi kukenali.”
Jenny mencengkram pundak Almira. “Mira ... mungkin hanya perasaanmu. Aku ingat benar bagaimana dia mencintaimu. Rasanya, nggak mungkin dia berubah begitu saja.”
Almira tersenyum tipis. Kenyataan yang ia hadapi memang seperti itu. Lelaki itu telah berubah. Mengabaikan dan semakin menjauh. Lelaki itu bukan lagi Demiannya yang sabar.
“Aku pikir, dia memiliki wanita lain, Jen.”
Jenny tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. “Kau gila!”
Almira tersenyum miris. Ya, andai dirinya benar-benar gila, maka hatinya tak ‘kan tersakiti seperti ini. Jika saja memang otaknya yang mengacau, maka hatinya tak ‘kan merasa sakit. Apa yang terlihat, tak selalu benar. Begitupun dengan hubungan mereka yang seakan tak ada masalah. Nyatanya, lelaki itu tak lagi menginginkannya.
“Aku harap, aku beneran gila, Jen.”
Jenny mengcengkram kedua lengan Almira dan mencari kejujuran di mata sahabatnya itu. “Sejak kapan? Sejak kapan dia mengabaikanmu dan membuatmu merasa sekacau ini.”
Almira menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. “Setahun, Jen. Bertambah parah semenjak kakek meninggal. Dia bahkan mulai jarang pulang ke rumah,” Almira menatap sahabatnya dengan tatapan tersiksa, “aku pikir, mungkin dia sedang berduka, akan tetapi pemikiranku salah. Bukan lagi tentang dirinya yang berduka, tapi dia sudah nggak mencintaiku lagi. Aku dapat merasakannya, Jenny. Firasatku pasti bener,” lanjut Almira lirih.
Jenny memeluk erat tubuh sahabatnya, mencoba menyalurkan sedikit kekuatan yang ia miliki. Almira dan Demian adalah pasangan sempurna di matanya. Demian kerap memperlakukan Almira dengan lembut, memenuhi setiap keinginannya, dan memperlakukan wanita itu bak puteri raja. Hal yang sempat membuat Jenny merasa iri dan tak percaya jika dalam sekejap mata, potret pasangan sempurna itu harus musnah begitu saja.
“Baiknya, bicarakan semuanya, Mira. Jangan mengambil kesimpulan. Cukup aku yang trauma dengan lelaki, kamu jangan melakukan hal yang sama,” ucap Jenny seraya melepaskan pelukan mereka. Ia mengusap wajah sahabatnya dan tersenyum menenangkan.
“Aku sudah mencobanya dan selalu gagal,” ucap Almira putus asa.
“Lelaki menyukai tantangan dan juga suasana baru. Berikan itu padanya dan ajak dia bicara, maka kalian bisa menemukan solusi untuk hubungan kalian, Mira. Percaya padaku.”
“Bagaimana aku bisa melakukan semua itu?”
Jenny tersenyum menggoda. “Aku ada voucher hotel dan akan kuberikan padamu. Undang suamimu untuk pergi ke hotel. Aku akan menyiapkan kamar hotel kalian, memberikan nuansa romantis seperti pengantin baru.” Jenny mengambil salah satu lingerie yang ada di rak, “dan gunakan ini untuk merangsangnya. Merah artinya berani dan warna ini cocok untukmu.”
Almira tersenyum. Begitu beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Jenny yang tak pernah meninggalkannya dan kerap memberikannya solusi atas masalahnya. Mungkin lelaki itu tak bereaksi karna ia menggodanya di rumah. Mungkin benar apa yang disarankan Almira, mereka butuh suasana baru. Suasana romantis dan jauh lebih tenang.
Almira memeluk Jenny erat. “Makasih banyak, Jen. Aku nggak tahu gimana hidupku tanpamu. Aku akan memperbaiki apa yang ada di antara kami. Mungkin, kami memang butuh suasana baru yang mendebarkan. Mungkin memang nggak pernah ada orang lain di antara kami. Mungkin memang semua ini terjadi karna kebosanan aja.” Almira melepaskan pelukan mereka.
“Kamu akan mati konyol tanpaku. Ya, positif adalah Almira yang kukenal.”
Keduanya berbagi tawa, lalu Jenny kembali memilihkan beberapa potong lingerie dengan model dan warna berbeda untuk Almira. Wanita itu yakin, jika Almira hanya cukup menyalakan kembali api dalam rumah tangga mereka. Cara yang paling ampuh tak lain adalah bercinta dengan gairah panas yang mampu membakar keduanya.
Memang pernikahan tak selalu tentang hubungan badan semata, akan tetapi banyak perselingkuhan terjadi karna hubungan ranjang yang tak terpuaskan dan Jenny tahu, jika yang ada di antara keduanya hanyalah sekadar kebosanan sesaat. Tanaman saja harus disiram agar tak layu, begitupula dengan cinta dan ikatan pernikahan. Harus ada yang menyalakan api begitu padam, menyiram saat mulai layu. Pada akhirnya, pernikahan adalah tentang saling melengkapi.