Almira selalu berusaha yang terbaik untuk lelaki itu. Ia mengorbankan semua masa mudanya dan tak bergaul dengan banyak orang. Walau masih meneruskan pendidikan, ia masih mau fokus pada keluarga kecilnya. Ia ingin memberikan sebuah rumah bagi Demian untuk pulang. Tempat di mana banyak cinta dan juga kehangatan.
Almira mengusap wajah tertidur Demian dengan lembut. Wajah tampan yang membuatnya begitu bangga menyebut lelaki itu sebagai suaminya. Hampir semua teman kampusnya tahu jika dirinya sudah menikah. Almira tak ingin ada yang salah paham dan jatuh hati padanya yang telah bersuami. Almira menjaga diri dan juga martabatnya atas nama cinta. Akan tetapi, mengapa sekarang ia merasa jika semua pengorbanannya tak lagi dihargai.
“Mas ... bangun, nanti kamu terlambat,” ucap Almira seraya menguncang pelan lengan Demian. Lelaki itu menggeliat dan membalik tubuh, memunggungi Almira.
Almira tersenyum. Ia tahu ada yang salah dalam pernikahan mereka. Kebosanan atau memang seperti yang Jenny katakan padanya, mereka memang butuh suasana. Almira akan melakukan apa pun untuk mendapatkan suaminya kembali. Ia akan mengubah apa pun yang tak disukai lelaki itu dari dirinya dan mengembalikan percikan cinta yang ada di antara mereka.
“Mas ... nanti kamu terlambat, loh.” Almira kembali membangunkan Demian.
Lelaki itu berdecak sebal, lalu mengempas kasar tangan Almira. “Kamu memang nyebelin banget, sih! Nggak bisa biarin aku istirahat sebentar lagi. Istri macam apa kamu!”
Lelaki itu segera duduk, lalu berdiri tanpa menatap ke arah Almira. Dengan cepat Almira ikut berdiri dan menghampiri lelaki itu. Maksudnya baik. Ia tak ingin Demian terlambat pergi ke firma hukumnya. Lagipula, itulah hal yang biasa ia lakukan. Membangunkan lelaki itu, menyiapkan semua keperluannya, hal yang sebenarnya sudah menjadi makanan sehari-harinya. Lalu mengapa, sekarang lelaki itu menganggapnya sebagai penganggu? Bukankah memang begitu seharusnya tugas seorang istri?
“Mas ... maaf, aku cuma takut kamu terlambat aja, Mas,” ucap Almira.
Wanita itu berusaha mengukir senyum di wajahnya, walau hatinya seakan diremas karna sikap kasar dan enggan lelaki itu untuk menatap ke arahnya. Demian kembali melepaskan cengkraman tangan Almira pada lengannya dan menatapnya tajam.
“Mira ... kenapa kamu nggak pernah bersikap normal untuk sehari aja? Kamu selalu membuatku kesal. Bahkan di pagi hari seperti ini, kamu udah bisa memancing amarahku.”
Almira menunduk dan berkata pelan, “maaf, Mas.”
“Aku merasa tertekan di dekatmu. Kamu buat aku sesak napas dan aku benci keadaan ini. Kalau kamu bersikap menyebalkan terus-menerus, jangan salahkan aku kalau aku nggak betah di rumah!” lelaki itu menempatkan dagu Almira di antara jemarinya dan mengarahkan pandangan wanita itu padanya, “jangan tanyakan di mana kesalahanmu. Lebih baik intropeksi diri!”
Almira mengigit bibir bawah, berusaha menghentikan air mata yang telah mengalir dan membasahi pipinya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya untuk mengembalikan Demiannya yang dulu penuh kelembutan dan kehangatan. Mengapa lelaki itu berbeda? Bahkan hal yang biasa ia lakukan pun kerap membuat lelaki itu merasa tak suka. Apa yang salah?
“Mas ... aku mencintaimu,” ucap Almira lirih, “katakan apa yang nggak kamu sukai dariku dan aku akan berusaha mengubahnya. Aku akan intropeksi diri kalau kamu mau memberitahuku letak kesalahanku ada di mana, Mas.”
Lelaki itu tertawa kecil. “Apa kita baru saling mengenal?”
Almira menggeleng lemah. “Nggak, Mas?”
Lelaki itu tersenyum miring dan menatap Almira jengah. “Lantas, apa kita baru menikah? Sampai-sampai kamu nggak tahu apa yang hal yang kusukai dan apa yang nggak kusukai.”
Almira menggeleng untuk yang kesekian kalinya. “Kita udah saling mengenal dan menikah untuk waktu yang cukup lama, namun yang membuatku nggak mengerti adalah kenapa kamu seakan berubah menjadi sosok yang nggak lagi kukenal, Mas. Semua hal yang kamu sukai dan tidak, sudah berbeda. Kamu bahkan nggak menyukai keberadaanku. Apa yang salah?”
“Kamu yang salah, Mira! Kamu!” teriak lelaki itu, membuat Almira terperanjat. Jantung Almira seakan diremas, sakit karna teriakan lelaki itu.
Selama mereka menikah, tak pernah sekalipun Demian meneriakinya. Walau dulu ia masih begitu muda dan polos. Demian tak pernah lelaki membimbingnya dan penuh kesabaran mengajari semua hal yang tak diketahuinya. Mengapa kini lelaki itu telah jatuh berbeda?
Demian hendak meninggalkan Almira, namun Almira mencegahnya dengan memeluk kedua kaki lelaki itu erat-erat. Air matanya mengalir semakin deras. “Mas ... maaf, Mas. Aku udah buat Mas marah dan nggak suka. Aku janji akan berubah. Jangan tinggalin aku dan jangan marah lagi, Mas. Aku mencintaimu,” ucap Almira seraya menagdahkan wajahnya. Tangisnya terdengar begitu pilu, namun lelaki itu seakan tak terpengaruh. Wajah Demian masih dingin, seakan tak tersentuh sedikitpun dengan kesedihan yang Almira tunjukkan.
Demian menggerak-gerakkan kakinya, berharap Almira akan melepaskan pelukannya. “Jangan semakin membuatku membencimu, Mira. Lepasin aku!”
Almira menggeleng dan ia semakin terisak. Demian yang tak sabar, semakin menggerakkan kasar kakinya, membuat Almira tersungkur di lantai. Wanita itu tak percaya, jika suami yang begitu dipujanya mampu menyakitinya sedemikian parahnya. Apa memang ada yang telah menggantikan posisinya di dalam hati lelaki itu?
“Aku harus bagaimana agar mendapatkan cintamu kembali, Mas? Aku yang harus kulakukan? Aku sudah menjadi sosok istri idaman seperti yang kamu inginkan. Kenapa sekarang kamu bilang semuanya salah? Apa yang telah kulakukan?”
Demian berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan Almira dan menatap tajam wanita itu. Demian kembali menempatkan dagu Almira di antara jemarinya. “Sosok istri idaman? Seperti apa istri idaman yang aku inginkan? Apa kamu tahu kalau aku nggak suka istri yang banyak omong dan terlalu ingin mengatur. Kamu sekarang sudah berani mengaturku, Mira. Seperti jam berapa aku harus pulang. Kamu selalu menghubungiku walau aku sedang sibuk. Nggak pernah ada kegiatan lain, selain mengingatkanku untuk makan. Semua itu membuatku muak,” ucap Demian dingin. Pedih menjalar ke penjuru hari Almira, tubuhnya bergetar.
“Tapi ... aku nggak bermaksud mengaturmu, Mas. Saat itu kita harus ke rumah orang tuaku, makanya aku minta kamu pulang jam enam sore. Aku mengingatkanmu makan karna aku tahu kamu selalu sibuk dan terkadang lupa makan, kamu ada maag dan aku nggak mau kamu sampai sakit. Aku menghubungimu karna aku merindukanmu.”
Demian tertawa dingin. “Lihatlah dirimu. Selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain lah yang selalu melakukan kesalahan. Kamu malaikat dan aku penuh dosa,” ucap Demian mengempaskan wajah Almira kasar. Lelaki itu berjalan meninggalkan Almira ke kamar mandi, tak ingin lagi berdebat dengan wanita yang membuat paginya berantakkan.
Almira menatap sendu punggung suaminya yang menghilang di balik pintu. Hatinya teriris perih. Dirinya tak seegois itu. Ia bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan sarapan, pakaian suaminya, dan memastikan semua keperluan suaminya sudah tersedia. Tak bisakah lelaki itu melihat segala usahanya untuk menjadi sosok istri idaman yang akan selalu dirindukan?
Air mata Almira mengalir semakin deras. Dadanya sesak bukan main, seakan tak ada udara di sekitarnya yang sangat diperlukan paru-parunya untuk terus bernapas. Oh hati ... mengapa kau bisa disiksa sedemikian parah? Apakah cinta yang membunuhmu perlahan?
Almira menggeleng. Tidak, ia tak boleh menyerah. Ia akan melakukan apa yang Jenny katakan. Mungkin memang yang perlu dia lakukan adalah memberi suasana baru pada pernikahan yang mungkin mulai terasa membosankan bagi Demian. Ia hanya perlu menyalakan kembali percikan api-api cinta dalam pernikahan mereka. Ya, dirinya pasti bisa membawa Demian kembali ke dalam dekapannya. Ia harus menjalankan rencana Jenny, sahabatnya.