BAB 6

1889 Kata
“Mama mana Pa?” Tanya Andin pada Papanya yang kini terlihat di layar handphone miliknya, Papa sedang memamerkan kolam ikan nilanya yang sudah hampir jadi. Kedepannya Papa Andin meminta Andin untuk membuatkan script yang akan ia dialog-kan ketika ambil video. Hal yang tidak mungkin Andin tolak. “Lagi nonton sinetron, kenapa memangnya?” “Andin mau ngomong sama Mama bentar Pa” Andin melihat gambar yang bergerak, kemungkinan Papanya sedang berjalan menyerahkan handohone miliknya untuk diberikan kepada Mama Andin. Sekarang pukul setengah delapan malam, memang biasanya jam Mamanya untuk melihat sinetron. Tetapi karena rasa penasaran yang sudah begitu membuncah terlalu besar, Andin tak bisa lagi menahan. Ia ingin bertanya. Ada perdebatan kecil karena penolakan Mama yang tidak mau diganggu, ia bilang sinetronnya sedang seru-serunya dan meminta Andin untuk menghubunginya besuk pagi. “Paa, bilangin ini tentang Ghidan” Mendengar nama Ghidan disebut, Mama langsung mengambil handphone milik Papanya dan memusatkan perhatiannya kepada Andin. “Kenapa dengan Ghidan? Kalian ketemu? Gimana suka ga?” Nah kan, berhasil! Andin yakin jika berkaitan dengan Ghidan pasti Mamanya langsung meluangkan waktunya. Andin meminum matcha hangat yang berada di hadapannya dengan tersenyum penuh kemenangan, setelah merasa cukup menggoda Mamanya Andin kembali memusatkan perhatiannya kepada Mamanya. “Kemarin Andin di ajak makan malam sama Mama Ghidan dan Ghidan” “Terus, terus?” “Yaudah gitu doang” “Ah ga asik kamu Ndin” Jawab Mama Andin kecewa. “Ma, Andin mau nanya” Tanya Andin, namun Mamanya hanya menjawab dengan deheman sambil matanya kembali mengarah ke layar televisi. “Emang Mama kenal sama Mama Ghidan darimana? Kemarin Andin di ajakin ke rumahnya gilaaa mewah banget” “Kamu udah kerumahnya Anggun?” “Udah kemarin, jawab dulu pertanyaan Andin, Mama kenal sama Mama Ghidan darimana?” “Dia temen SMA Mama, kemarin ketemu pas Arisan, bilang lagi nyari mantu, yaudah Mama sodorin kamu deh” Kenapa Andin merasa dirinya begitu murah di sodor-sodorin? Tak berharga sama sekali. Tetapi sudahlah, abaikan! “Kok temen Mama kaya?” “Emang Mama ga ada muka-muka parlente gitu kah? Tapi dia mah yang kaya suaminya, dianya cantik makanya dapat suami kaya” “Ooh gitu, lah Andin kan ga cantik? Kenapa Mama pede banget nyodorin Andin?” “Kan Mama rajin berdoa, Ndin, semoga kamu cepet dapat jodoh yang baik, rajin, ganteng dan kaya, eeh tiba-tiba datang si Anggun, yaudah semoga aja kamu lagi dapat rejeki kan?” Andin tertegun, sungguh mulia sekali jawaban Mamanya yang selalu mendoakannya. “Udah Ndin ah kamu jadi bikin Mama ga fokus, besuk pagi aja kalau mau telfon, bye anak kesayangan Mama calon mantu orang kaya” Setelah memberikan kiss bye andalannya kepada Andin, Mama memutuskan panggilannya secara sepihak. Tetapi Andin cukup puas dengan jawaban Mamanya, setidaknya ia tahu tentang asal muasal perjodohan beda kelas ini terjadi. --- Pagi-pagi sekali, seperti biasa, Andin sudah berada di ruangan kantornya sebelum jam kerjanya mulai. Membuka beberapa email yang ia terima, mempelajarinya dan kembali membalasnya. Ditemani satu cup kopi panas yang semakin menambah energi di pagi hari ini, Andin menyungkingkan senyumnya ketika Tari, teman seprofesinya yang kini masuk ke dalam ruangannya. Semoga tidak akan ada drama yang diciptakan nenek lampir ini. Batin Andin. “Cengingiran lo pagi-pagi, lagi jatuh cinta?” Tanyanya usil. “Emang seneng selalu harus karena cinta, gw seneng karena gw punya pekerjaan yang mapan, hidup yang enak, badan yang kurus tanpa harus diet, dan satu lagi gw selalu bersyukur!” “Ck, iya in aja deh” Ucap Tari yang kini duduk di hadapannya, mengambil permen yang Andin siapkan untuk tamunya, “Jangan lupa meeting jam sembilan, Pak Dirga sudah kindly remaind lewat email kan?” “Iyaa, ini juga lagi di siapin” “Doi minta laporan proses cetak beberapa penulis yang diminta, kayanya banyak dari lo” “Iya sih” “Jangan galak-galak gitu ih, Ndin, banyak junior-junior kita yang bilang lo galak makanya ga nikah-nikah” Cerocos Tari yang kali ini tepat menusuk hati Andin. Andin bukan tipikal wanita baperan, tetapi jika setiap bertemu Tari selalu mengingatkan dirinya yang belum menikah, rasanya itu terlalu memuakkan. Tari sudah menikah, bukan berarti dia merasa jumawa dan bisa merasa lebih baik dari Andin yang masih sendiri. Ayolah, pernikahan bukan seperti lomba balap karung, siapa yang paling cepat dia yang menang. “Gw ga galak” Jawab Andin singkat, “Ga ada orang galak yang ngaku galak “Adaaa!” Jawab Andin dengan pasti, “Gue” Tambahnya sambil mengarahkan ujung jari telunjuk ke wajahnya. Beeepp.. Beeppp.. Handphone milik Andin bergetar, tepat berada di meja sehingga layarnya yang berkedip menampilkan nama “Mas Ghidan” menjadi fokus kedua pasang mata yang berada di tempat itu. Apalagi Tari, ia langsung mengunci pandangannya pada layar yang masih saja menunjukkan nama seorang laki-laki tanpa Andin yang berniat menerima panggilan itu. “Lo ga mau nerima telfon dari ‘Mas Ghidan’ itu?” Tanya Tari. Kenapa dia kepo banget sih? “Biarin, gw lagi sibuk” Jawab Andin, ia tidak ingin menerima panggilan Ghidan di hadapan Tari. Wanita usil itu bisa menangkap hal-hal yang luput dari perhatian Andin, walaupun sebenarnya jantung Andin sudah semakin berdetak tidak karuan, ingin sekali ia menerima panggilan itu dan mendengarkan suara Ghidan di pagi hari yang indah ini. Tapi wanita ular dihadapannya cukup mampu membuat Andin waspada. Telfon masih terus berdering, menandakan bahwa Ghidan memang sangat ingin menghubunginya. Mungkin saja ia kangen sama Andin, kan? Halu Andin dalam hati yang kemudian diikuti tawa mengejek dari dirinya sendiri. “Lo ga berniat pergi, Tar?” Usir Andin, “Gw butuh privasi” “Oh cowo lo ya?” Nah kan! “Siapapun itu, gw lagi butuh privasi, lo boleh keluar dulu, see you at nine pm” Sudah habis basa basi dan sopan santun Andin, bahkan ketika Andin dengan jelas mengusir Tari, wanita itu masih memelankan langkahnya yang hendak keluar ruangan. Percuma juga mengusir, dia pasti akan tetap mencari tahu tentang telfonnya pagi ini. “Halo, Assalamualaikum, Mas “Walaikumsalam, jawabnya jutek banget, udah angkat telfonnya lama” Cecar Ghidan. “Iya, kah?” Andin tidak menyangka bahwa vibenya pagi ini benar-benar hancur hanya karena kedatangan Tari, “Ada apa memang? Tumben pagi-pagi nelfon” “Nanti sore pulang saya jemput ya, Mama yang minta” Ghidan berucap dengan cepat, dan menekankan akhir kalimat seakan memberi tahu kepada Andin bahwa ini semua adalah keinginan Mamanya. “Andin bawa mobil sendiri, lagian nanti Putri mau minta nebeng dan udah aku ‘iyain’, ga enak kalau tiba-tiba harus minta dia minta jemput suaminya” “Putri?” “Temen Andin” “Ya kamu nanti bilang sama Mama kalau gitu, ya Ndin?” “Iyaa, iyaa nanti Andin telfon Mama” “Oke, yaudah, bye” Klik. Andin menghela nafasnya dengan gusar. Pagi ini ia awali dengan penuh semangat, tetapi hanya karena kedatangan Tari di tambah mendengar suara Ghidan melalui telfon yang sedikit tidak mengenakan membuat moodnya berantakan. Merasa lelah dengan segala drama Ghidan dan Mamanya, Andin merasa seperti terombang-ambing berada di antara keinginan Mamanya dan penolakan Ghidan. Jika seperti ini, apakah harus Andin saja yang mengakhiri ini semua? Dia lelah, dan tuntutan menikah mulai membebaninya. Lama berdiam diri ternyata jam sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit, sebagai karyawan teladan yang selalu menjunjung tinggi profesionalitas dengan selalu tepat waktu, Andin mulai mempersiapkan laptop dan beberapa berkas yang akan dibawanya untuk meeting. Pukul sembilan kurang lima menit, ia sudah berjalan keluar ruangan untuk bertemu teman-temannya di ruang meeting. “Ciee ciee yang habis di telfon pacar pagi-pagi mukanya cemberut amat” Tentu saja mulut Tari yang berbicara. Andin hanya membalasnya dengan senyum tertahan. “Serius, Ndin? Kapan merit, lo? Jangan lupa undang-undang kita ya” Celetuk karyawan yang lain. “Ciee, lengser dong gelar kejombloan lo” Dan berbagai kalimat yang semakin menambah kesuraman di pagi hari ini. Andin hanya membalas setiap ucapan dari teman-temannya dengan tersenyum. Tiba-tiba ia merasa hatinya tercubit, jika memang ia sedang berada dalam sebuah hubungan pasangan mungkin ia akan membalas ucapan teman-temannya dengan membusungkan dadanya. Tetapi jika yang terjadi justru sebaliknya? Ingin sekali Andin pergi dari ruangan terlaknat ini dan berlindung di balik bantalnya yang empuk. “Siapa yang mau menikah?” Suara Pak Dirga menghentikan celotehan orang-orang yang berada di ruangan ini. Semua populasi penduduk di ruang rapat hanya terdiam, Pak Dirga jarang sekali diajak bercanda, hidupnya selalu serius. Itu yang membuat karyawan-karyawan disini tidak terlalu menyukainya, Pak Dirga cenderung bekerja sebagai pemimpin yang kaku dan tidak penuh toleransi. “Andin, pak” Jawab Ari, salah satu karyawan yang diketahui Andin bekerja di bagian operasional, setelah mengucapkan itu semua orang bisa melihat sikutan pada badan Ari yang berani-beraninya menjawab hal-hal yang tidak penting dalam rapat. “Wah, selamat ya Ndin” Ucap pak Dirga dengan ramah yang membuat raut wajah semua orang menjadi terkejut hingga mulut yang biasanya berceloteh kini membentuk huruf O dengan sempurna. “Bisa kita mulai saja pak rapatnya?” Ucap Andin memaksa. Pak Dirga yang melihat ada gelagat kurang mengenakan dari Andin langsung meminta peserta rapat untuk fokus dan rapat dimulai. Melihat Pak Dirga yang tidak sedang dalam mode senggol bacok, beberapa kali Andin merasa menjadi objek dari teman-temannya yang masih belum puas menggoda Andin, padahal Andin sudah muak! “Ndin, habis ini keruangan saya ya, ada yang ingin saya tanyakan ke kamu” “Baik, pak” Ucap Andin hendak pergi. “Sekarang, Ndin! Kok kamu malah mau belok ke ruanganmu” Andin menghela nafasnya dengan gusar, seperti tidak sedang dalam keadaan yang membuatnya harus menghormati atasannya, Andin menatap Pak Dirga seperti hendak melotot, “Iya ini saya keruangan bapak!” Ucapnya sambil sedikit menghentakkan kakinya. Pak Dirga yang tahu Andin sedang tidak nyaman dengan ejekan teman-temannya hanya melihat wanita itu dari belakang dengan senyum tertahan. “Kenapa?”Tanya Pak Dirga ketika mereka berdua sudah berada di dalam ruangan milik Pak Dirga. Ruangan yang tentu jauh lebih luas dari ruangan milik Andin. “Harusnya saya yang nanya begitu, kenapa bapak meminta saya kesini, apa yang mau dibicarakan?” “Kita bisa memulai membahas pekerjaan kalau wajahmu ga lagi ditekuk seperti itu, Ndin” Pak Dirga duduk di tempat duduknya, sedangkan Andin masih berdiri, ”Itu ada cermin besar di sana, kamu bisa melihat bagaimana rupa wajah kamu kalau ditekuk kaya gitu” Tambah Pak Dirga sambil menunjuk sebuah kaca besar yang berada di ujung ruangan, kaca yang sebenarnya tidak lebih besar dari kaca diruangan Andin. “Tetap cantik” Jawabnya asal, “Udah deh pak, bapak mau ngomong apa?” “Ga ada, aku cuma melihat ada ketidaknyamanan dari kamu, maka dari itu memintamu kesini” “Udah biasa pak saya digituin, udah-“ Andin berucap dengan nada tertahan, entah kenapa akhir-akhir ini hidupnya tidak seindah dan seringan biasanya, akibat tuntutan Mamanya yang selalu ingin menikahkan dirinya hingga mengenalkannya dengan bermacam-macam laki-laki, hingga kedatangan Ghidan dan penolakan yang bisa Andin tangkap tetapi dia tidak bisa mengelak bahwa Andin mengagumi laki-laki itu. “Lo boleh nangis, gw ada disini sebagai sahabat lo” “Dirgaaaaaaa, gw keseeeellll, gw sediiihhhh” Ucapnya kemudian karena tidak bisa lagi menahan gemuruh gejolak perasaan penuh yang ada di dadanya. Ia menangis dan tak ada lagi yang ia tutupi. Dirga adalah sahabat Andin dulu sewaktu kuliah yang beruntungnya bisa mendapatkan gelar S2 di bidang sastra sekaligus management bisnis sehingga sekarang ini tentu karirnya lebih melejit dibanding Andin. Hal yang tidak diketahui seluruh karyawan disini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN