BAB 7

1833 Kata
Andin kira hari ini masuk ke dalam salah satu hari tersialnya, entah kenapa di pagi hari yang seharusnya cerah menjadi berantakan hanya karena moodnya yang tiba-tiba tidak baik-baik saja. Kedatangan nenek sihir bernama Tari, sikap Ghidan yang semakin membuat Andin menyerah dan beberapa tuntutan yang semakin membuat Andin merasa terpojok. Sial bagi dirinya yang tidak segera menemukan seorang laki-laki yang siap menjadi pasangannya di usia yang tak lagi muda. Andin merasa menyesal, selama ini ia terlalu santai memikirkan masalah percintaan dan pasangan. Dulu baginya hal seperti itu akan ia dapat dengan sendirinya, tetapi mungkin mulai sekarang ia menjadi berubah haluan, bahwa segalanya di dunia ini harus diusahakan bukan hanya dengan menunggu pangeran datang, karena dia bukanlah tuan putri bersarang emas. Ah ngaco! Untungnya, paginya tiba-tiba kembali cerah dengan kedatangan sinar matahari bernama Dirga. Andirga Putra, teman Andin sekaligus bosnya, yang dengan sabar dan kebaikan hatinya memberikan waktu luang kepada Andin untuk keluar dari sempitnya ruang kantor bagi Andin hari ini. “Kita mau meeting dimana?” “Di hotel, klien yang minta” Dirga membawanya untuk mewakili senior editor menghadiri rapat penting bersama salah satu percetakan rekanan Pena-ku, ada beberapa hal yang memang menjadi point penting dalam kesepakatan yang harus dijelaskan langsung oleh editor seperti Andin. “Wah, makan enak dong, Ga?” “Makan aja lo yang dipikirin” “Yaa, namanya kaum jelata kaya gw, makan di hotel itu spesial lho” Mereka berdua meeting hingga sore menjelang, bahkan sampai jam kantor selesai. Selain karena memang meeting, Dirga mencuri waktu untuk mereka berdua membeli es krim dan menikmatinya di pinggir jalan. Hal yang tidak mungkin Andin lakukan kecuali jika tidak bos-nya sendiri yang mengajaknya. “Lo beneran mau nikah?”Tanya Dirga di sela-sela menikmati es krim cup miliknya yang sudah tinggal setengah. “Enggak, gosip itu si Tari sialan, dia emang selalu sirik sama gw, padahal jelas tidak ada satupun hal lebih dari gw dibanding dia” Jawab Andin sambil melihat Dirga yang sialnya saat laki-laki itu menjilat es krim miliknya, membuat tiba-tiba pikiran Andin traveling kemana-mana membayangkan jika lidah itu ada dimana-mana. Gw memang udah gila, kenapa akhir-akhir ini gw gampang banget terkonfrontosai dengan masalah perlelakian! Ucapnya dalam hati sambil mengibaskan rambutnya karena dia sudah mulai merasa gerah. “Ada” “Heh? ‘Ada’ apanya?” “Ada sesuatu hal dalam diri lo yang membuat orang lain iri, termasuk Tari” Jawab Dirga menjelaskan. “Hahhaaaa, lucu” Andin mengalihkan kedua matanya menatap jalanan, siang ini memang panas dan ramai mungkin karena itu tubuh Andin menjadi gerah, “Thanks, karena lo selalu ngehibur gw, Ga” “Ndin, serius” “Apa? Coba sebutin apa kelebihan gw sehingga orang lain harus merasa iri sama gw” “Pertama, lo confident! Gw ga pernah ngelihat orang sepede dan sesantai lo dalam menjalan hidup, walaupun mungkin kata-kata itu bisa saja gw tarik mulai hari ini ketika ngelihat lo nangis megap-megap hanya karena dibilang jomblo abadi” Jelas Dirga, “Kedua, lo merasa cukup dengan diri lo sendiri, lo ga pernah iri sama pencapaian orang lain, mungkin itu yang membuat orang lain suka mencari kekurangan lo agar ia bisa merasa lebih baik dari lo” Andin terenyuh dengan jawaban Dirga, walaupun cuma simpel, tetapi ucapan Dirga mampu membuat mood Andin yang sebelumnya jatuh ke kerak bumi kini kembali terbang ke angkasa menari bersama awan. Sialnya kini tatapan mereka bertemu, dan Andin bisa melihat betapa indahnya ciptaan Tuhan bernama Dirga yang tengah tersenyum manis menatapnya. “Kenapa lo ga jatuh cinta sama gw, terus nikah sama gw sih, Ga? Dengan kaya gitu masalah gw selesai, gw ketemu cowo cakep yang baik dan cinta sama gw, seorang bos yang jadi demenan emak gw” “Sialan lo” Ucap Dirga sambil menjintak dahi Andin dengan kesal. Andin memegangi dahinya yang terasa sakit, Dirga benar-benar menjitak kepalanya hingga berbunyi thuk, hilang sudah semua bayangan romantis tentang dirinya dan Dirga. “Sakit” Ucap Andin sambil memegangi dahinya yang memang benar-benar terasa sakit. “Kita pulang aja, daripada otak lo semakin ngelantur” “Ke kantor dulu kan, mobil gw di kantor” “Gw anter aja langsung, besuk ke kantor naik ojek online, lagian tadi Putri bilang ga jadi nebeng kan?” Tanya Dirga sambil berdiri, ia mengambil bungkus es krim miliknya dan milik Andin kemudian membuangnya ke tong sampah. “Yaudah kalau gitu, kalau perlu besuk jemput lah, biar sekali-kali gw ngerasa berharga” “Ndin, gw tinggal lo disini beneran baru tau rasa lo” “Ih, jangan gw cuma bercanda!” Jawab Andin takut, Dirga bisa saja membuktikan omongannya ketika kesal. Dulu saja Andin pernah di diami Dirga hingga dua minggu hanya karena Dirga tidak suka Andin membahas mantan Dirga dulu sewaktu kuliah yang bernama Nana. “Berdiri ga lo?” “Iya ini berdiri” Ucap Andin sambil melakukan hal yang diinginkan Dirga, dan dengan kesal ia melangkah terlebih dahulu ke arah mobil Dirga yang terparkir sedikit jauh dari tempat mereka membeli es krim. Sesuai dengan rencana Dirga, laki-laki itu mengantarkan Andin sampai ke apartmentnya. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan lobby apartment Andin. Entah karena Andin yang kecapekan atau mobil Dirga yang nyaman hingga Andin ketiduran. Menghembuskan nafas penuh kekesalan, Dirga mencoba membangunkan Andin yang terlihat nyenyak dalam tidurnya. “Ndin, dah sampai” Ucap Dirga. Tidak juga melihat pergerakan tubuh Andin, mau tidak mau Dirga membawa tangannya untuk menggerak-gerakan tubuh Andin. “Ndin, bangun sudah sampai” Tambahnya, “Ndin, bangun!” Ucap Dirga tidak sabar dengan tangan yang semakin kuat menggoyang-goyangkan tubuh Andin agar segera siuman. “Ndin lo tidur apa pingsan, sih?Ngeri gw” Dan setelah percobaan kesekian kali, akhirnya Andin bangun. Mengucek-ngucek kedua matanya yang terlihat merah. “Sudah sampai toh, kok lo ga bangunin gw sih Ga?” Tanya Andin polos, yang membuat Dirga belingsatan ingin menjitak kepala Andin sekali lagi tetapi tidak jadi di lakukannya karena Andin hanyalah seorang perempuan. Mungkin kalau Andin memiliki jenis kelamin yang sama dengan dirinya, Dirga siap membawanya ke tengah lapangan untuk diajak baku hantam. “Iya, sudah sampai, sekarang turun, gw juga capek mau segera pulang” “Kok lo ketus gitu sih, Ga? Tadi aja baik, sekarang udah judes kaya emak-emak mau nagih uang kontrakan” Dirga menatap Andin dengan penuh kesabaran, dadanya ia busungkan luas-luas hanya demi mendapatkan pasokan oksigen berlimpah ruah, agar lebih sabar lagi menghadapi Andin. “Ndin..” “Ini turun, ish! Kesel gw sama lo” Andin memang kesal, ia baru bangun tidur, nyawanya mungkin baru setengah, tetapi Dirga sudah buru-buru menyuruhnya untuk keluar. Andin segera merapikan tas miliknya dan keluar dari mobil Dirga, “Ga usah hubungin gw kalau udah sampai, ga penting!” Tambahnya sebelum ia benar-benar keluar dari mobil Dirga dan menghentakkan pintunya cukup kuat. Dengan tetap mengomel setelah keluar dari mobil, Andin berjalan dengan nyawa yang masih belum penuh. Dua langkahnya menaiki tangga apartementnya tiba-tiba berhenti ketika matanya menangkap sosok kasat mata yang menyilaukan pandangannya, membuat Andin terkejut hingga sedikit merasa waspada karena bisa saja sosok yang ia temukan di hadapannya saat ini adalah sejenis iblis berbentuk manusia yang sedang menggodanya. Andin mengucek kedua matanya sekali lagi, kemudian menajamkan pandangannya, bisa saja ia masih berada di alam bawah sadar hingga bisa menemukan sosok Ghidan berdiri di dekat pintu masuk apartment dengan kedua tangan bersedekap di depan dadanya, sedang menatap Andin intens. “Ndin” “Eh copoott” “Kenapa sih lo kaya ngeliat setan” Ucap Dirga yang tiba-tiba mengagetkan Andin, berdiri di belakang Andin dengan tangan menyerahkan jepit rambut milik Andin yang berwarna pink berbentuk kupu-kupu. “Sorry, kaget gw! Thank’s Ga” Ucap Andin sambil menerima jepit rambut miliknya. “Gw pulang dulu” “Ya, hati-hati” Andin memperhatikan Dirga yang kembali memasuki mobilnya hingga mobil yang Dirga tumpangi menghilang di jalan. Entah mengapa Andin saat ini merasa takut untuk berbalik ke belakang, karena di belakang tubuhnya saat ini Andin yakin sedang berdiri sosok manusia bernama Ghidan, yang terdengar dari langkah kakinya sedang berjalan ke arahnya dengan perlahan. Tangan Andin diambil dengan tiba-tiba kemudian Ghidan meletakkan sebuah bungkusan plastik kresek berwarna hitam ke tangannya tanpa bersuara. “Tape dari Mama, Mama buat sendiri dan saya diminta antar ke apartmentmu” Ucap Ghidan ketus. Andin hanya terdiam, bahkan kata terima kasih tidak bisa keluar dari bibirnya yang mendadak kaku. Setelah memastikan amanah dari Mamanya sampai ke tangan Andin, Ghidan kembali berjalan menuruni tangga. Namun sedetik kemudian ia berhenti, dan kembali menghadap ke arah Andin yang masih terpaku. “Ga mau di jemput katanya bawa mobil sendiri, dan mau di tebengi temen, nyatanya sudah ada janji sama laki-laki lain?” Tanya Ghidan, yang sebenarnya laki-laki itu tidak membutuhkan jawaban. Ia hanya merasa, apa ya? Kesal? “Tadi aku,-“ Andin hendak menjawab tetapi bingung, dia bukan tipikal perempuan yang pintar menciptakan sebuah alasan untuk membela diri. Sedangkan disisi lain, Ghidan masih terdiam seperti sedang menunggu jawaban dari Andin. “Aku tadi habis rapat jadi diantar sekalian sama bosku” Ucap Andin. “Karyawan mana yang berani menutup pintu mobil bos-nya dengan kuat, padahal bos-nya sudah berbaik hati mengantarkannya pulang?” Tantang Ghidan, entah kenapa ia ingin bertanya padahal dalam hati ia mengumpat, yang dilakukannya saat ini sama sekali tidaklah penting untuk dirinya. “Dia temenku juga” “Yang benar bos apa temen?” Andin terdiam. Ghidan mengibaskan tangannya ke udara kemudian kembali melangkahkan kakinya mendekati mobilnya yang terparkir di depan apartment. Ghidan berjalan dan memasuki mobilnya tanpa melihat lagi ke arah Andin, hingga mobil itu menghilang, Andin masih terdiam, meratapi hidupnya yang penuh dengan nestapa. Andin membuka pintu apartmentnya dengan kasar kemudian menutupnya dengan tenaga yang sama, sama-sama kasarnya. Ia ingin marah entah karena apa yang jelas ia hanya ingin marah, itu saja. Mungkin Andin lupa kalau jika pintu itu rusak, itu artinya dia sedang menyulitkan dirinya sendiri. Tetapi Andin sedang tidak ingin berhemat saat ini, ia hanya ingin marah. Andin meletakkan bungkusan dari Mama Ghidan di atas meja makan miliknya dan ikut duduk di kursi yang berada di dekatnya. Tatapannya mengarah kepada tape yang dibungkus dengan daun pisang berwarna hijau. Seandainya dia bisa bersembunyi di dalam apartmentnya sementara waktu, kemudian berfregmentasi berubah bentuk menjadi sosok baru seperti tape, mungkin itu akan mudah bagi Andin. Tetapi sayangnya manusia tidak bisa berfregmentasi tetapi bisanya hanya bereproduksi. Dan reproduksi itu butuh pasangan karena sayangnya lagi dia bukan kuman yang bisa bereproduksi dengan cara membelah diri. “Put, gw mau main ke rumah lo ya?” Andin akhirnya memutuskan untuk menghubungi Putri, ia ingin mencurahkan perasaannya kepada sahabatnya. “Tumben lo tiba-tiba mau main kerumah?” “Ya gapapa sih, boleh ga?” Tanya Andin sewot. “Boleh-boleh, kenapa sih lo sewot amat?” “Makanya itu gw mau ke rumah lo, biar ga sewot lagi” “Yaudah kesini lo, gw tunggu sekarang” Andin segera berdiri dan berniat langsung pergi ke rumah Andin tanpa mandi, toh nanti ia bisa mandi di rumah Putri, dia biasa melakukan itu. Namun tiba-tiba ia mengingat sesuatu yang membuatnya kembali ingin menangis. Siaal, mobil gw ada di kantor!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN