5. Rafael dan Cermin

1436 Kata
Apartemen di kawasan Kuningan ini tidak ada dalam catatan manapun. Tidak tercatat atas nama Leonard Varghese. Tidak tercatat atas nama siapapun. Pembayaran dilakukan cash setiap tahun, lewat orang perantara yang tidak pernah bertanya. Tidak ada tetangga yang tahu siapa penghuninya. Tidak ada portir yang ingat wajahnya. Ini adalah tempat di mana Leonard Varghese mati, dan Rafael hidup. Pukul dua pagi, Rafael menutup pintu apartemen dengan kunci ganda dan rantai pengaman. Ia melepas tuxedo yang ia pakai di pesta tadi—pakaian Leonard—dan menggantinya dengan kaus hitam usang dan celana training. Pakaian Rafael. Ia berjalan ke kamar mandi, menyalakan lampu yang terlalu terang, dan menatap pantulannya di cermin lebar di atas wastafel. Wajah yang sama. Tapi ekspresi yang berbeda. Tidak ada lagi senyum sopan. Tidak ada lagi tatapan terkontrol. Hanya kelelahan. Dan kemarahan. "Bodoh," gumamnya pada bayangannya sendiri. Suaranya kasar, berbeda dari nada halus Leonard Varghese. "Kau bodoh, Leonard." Tapi bukan Leonard yang menjawab. Ini Rafael. Dan ia sedang marah pada dirinya sendiri. "Kenapa kau tidak buang dia keluar?" tanya Rafael pada cermin, tangannya mencengkeram pinggiran wastafel sampai buku-buku jarinya memutih. "Kenapa kau biarkan dia masuk? Kenapa kau biarkan dia dekat?" Tidak ada jawaban. Hanya diam. Hanya pantulan wajahnya yang menatap balik dengan tatapan kosong. Rafael menutup matanya, menarik napas panjang. Di kepalanya, dua suara saling berteriak—satu tenang, satu brutal. Satu ingin melindungi, satu ingin menghancurkan. Leonard berbisik: Dia hanya jurnalis. Dia tidak tahu apa-apa. Biarkan dia publish artikelnya. Tidak ada yang akan percaya. Tapi Rafael membalas dengan suara yang lebih keras: Dia anak Aryanto. Dia tahu terlalu banyak. Dia berbahaya. Singkirkan dia sebelum terlambat. "Tapi aku tidak bisa," gumam Rafael pelan, matanya masih tertutup. "Aku... tidak bisa." Kenapa? Pertanyaan itu bergema di kepalanya seperti lonceng yang tidak bisa ia matikan. Kenapa ia tidak bisa menyingkirkan Ardena Callista seperti yang ia lakukan pada orang lain? Kenapa ia membiarkan wanita itu pergi malam ini? Kenapa ia bahkan... menyentuhnya? Sentuhan itu masih terasa di ujung jarinya. Kulit lembut di pergelangan tangan Ardena. Denyut nadi yang berdetak cepat di bawah kulitnya. Cara ia menatap Rafael dengan mata yang tidak takut, meskipun seharusnya ia takut. Rafael membuka mata dan menatap pantulannya lagi. "Kau mulai lemah," katanya dengan nada menuduh. "Kau mulai jadi seperti mereka. Seperti orang-orang bodoh yang pikir perasaan itu penting." Ia menampar cermin dengan telapak tangannya—tidak cukup keras untuk memecahkan, tapi cukup untuk membuat suara keras yang menggema di kamar mandi kecil itu. "Dia bukan siapa-siapa!" teriak Rafael pada bayangannya. "Dia hanya... dia hanya..." Tapi kata-katanya hilang. Karena ia tidak tahu bagaimana melanjutkannya. Karena Ardena bukan "hanya" apa-apa. Ia adalah anak dari orang yang Rafael bunuh lima tahun lalu. Ia adalah ancaman terbesar untuk seluruh kerajaan gelap yang ia bangun. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa menghancurkan semuanya. Dan Rafael tidak tahu kenapa ia tidak bisa membunuhnya. Ia berbalik dari cermin, berjalan ke ruang tamu yang gelap, dan melempar dirinya ke sofa usang. Tidak ada furniture mewah di sini. Tidak ada lukisan mahal atau lampu kristal. Hanya sofa lama, TV kecil, dan meja kayu dengan laptop yang ia gunakan untuk mengakses server gelap. Ini adalah rumah Rafael. Tempat di mana ia tidak perlu berpura-pura. Ia menutup mata, berharap bisa tidur. Tapi begitu kelopak matanya tertutup, bayangan-bayangan mulai muncul. Ia berusia sepuluh tahun, berdiri di koridor panti asuhan yang berbau desinfektan dan keputusasaan. Anak-anak lain sedang tidur, tapi ia tidak bisa. Tidak setelah apa yang baru saja terjadi. Tangannya bergetar. Masih ada darah di sana—darah Pak Hadi, pengurus panti yang suka memukul anak-anak kalau mereka tidak nurut. Darah yang keluar dari kepala pria itu setelah ia terjatuh, setelah ia tersandung, setelah... Tidak. Bukan tersandung. Ia didorong. Oleh bocah kecil bernama... siapa namanya? Ia hampir lupa. Nama itu sudah ia kubur begitu dalam sampai seperti tidak pernah ada. Tapi ia ingat wajah itu. Wajahnya sendiri, tapi lebih muda, lebih polos, lebih takut. "Kau membunuhnya," bisik suara dari kegelapan. Bukan suara nyata. Suara di kepalanya. "Kau membunuhnya, dan kau tidak menyesal." Tidak. Itu tidak benar. Ia menyesal. Ia menyesal sekali. Tapi ia juga lega. Karena Pak Hadi tidak akan pernah bisa menyakitinya lagi. Lalu ada suara lain—suara seorang wanita paruh baya dengan wajah keras dan mata dingin. Ibu Ratna, kepala panti asuhan. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan?" katanya, berdiri di depan bocah kecil itu dengan tangan bersedekap. "Kau pikir aku tidak tahu kau yang dorong dia?" Bocah itu tidak menjawab. Hanya menatap lantai dengan tubuh gemetar. "Tapi aku tidak akan laporkan," lanjut Ibu Ratna dengan senyum tipis yang tidak hangat. "Karena kau berguna. Kau cerdas. Dan orang cerdas... bisa dipakai." Sejak hari itu, bocah itu tidak pernah lagi disebut dengan nama aslinya. Ibu Ratna memanggilnya dengan nama lain—nama yang ia berikan, nama yang ia bentuk, nama yang... Rafael. Ia terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin membasahi kausnya. Ruangan masih gelap. Jam di dinding menunjukkan pukul empat pagi. Rafael duduk dengan tangan menutupi wajahnya, mencoba mengatur napas. Mimpi itu lagi. Mimpi yang selalu datang kalau ia terlalu stress. Kalau ada sesuatu yang membuatnya tidak stabil. Dan kali ini, sesuatu itu adalah Ardena Callista. Ia bangkit dari sofa, berjalan ke dapur kecil, dan menuang segelas air dingin. Ia minum dengan cepat, tapi rasa haus di tenggorokannya tidak hilang. Bukan haus biasa. Ini haus yang berbeda—haus akan kontrol, haus akan kepastian, haus akan... Ketenangan. Tapi ketenangan itu sudah hilang sejak wanita itu masuk ke hidupnya. Rafael menaruh gelas ke wastafel dengan keras, lalu menatap keluar jendela yang menghadap kota Ardencia. Lampu-lampu gedung masih menyala meskipun malam sudah larut. Kota yang tidak pernah tidur. Kota yang ia kuasai dari bayang-bayang. Tapi sekarang... ada celah. Ada seseorang yang mulai melihat terlalu dekat. Dan yang lebih buruk lagi, ia membiarkannya. "Kau mulai goyah," gumam Rafael pada dirinya sendiri. "Kau mulai... lemah." Ia seharusnya memerintahkan Kael untuk menghilangkan Ardena sejak malam pertama wanita itu mulai menggali. Seharusnya ia tidak ragu. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi ia peduli. Dan itu yang membuatnya marah. Karena Rafael tidak seharusnya peduli pada siapapun. Itulah yang membuatnya bertahan selama ini—tidak ada attachment, tidak ada kelemahan, tidak ada yang bisa digunakan melawannya. Tapi Ardena... Wanita itu seperti retakan kecil di tembok beton. Kecil, hampir tidak terlihat. Tapi cukup untuk membuat seluruh struktur mulai goyah. Rafael kembali ke kamar mandi, menatap cerminnya lagi. Kali ini, ia tidak marah. Hanya... lelah. "Siapa kau sebenarnya?" tanyanya pada pantulan di cermin. "Leonard? Rafael? Atau bocah panti asuhan yang berpura-pura sudah dewasa?" Tidak ada jawaban. Hanya diam. Dan dalam diam itu, Rafael menyadari satu hal yang menakutkan: ia tidak tahu lagi siapa dirinya. Batas antara Leonard dan Rafael mulai kabur. Mulai saling tumpang tindih. Mulai... menyatu. Dan itu berbahaya. Karena kalau kedua sisi itu menyatu, salah satunya harus mati. Dan Rafael tidak tahu siapa yang akan menang. Ia mematikan lampu kamar mandi, kembali ke sofa, dan menatap langit-langit dengan mata terbuka. Tidak ada gunanya tidur. Mimpi buruk itu akan datang lagi. Di kepalanya, wajah Ardena terus muncul. Mata tajam yang menatapnya tanpa takut. Senyum tipis yang menantang. Suara yang tenang meskipun ia tahu sedang bermain dengan api. Dan yang paling mengganggu: cara wanita itu menatapnya di balkon tadi—bukan dengan kebencian, bukan dengan ketakutan, tapi dengan... keingintahuan. Seolah ia tidak melihat monster di depannya. Seolah ia melihat sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan Rafael sendiri tidak tahu ada. "Kau salah, Ardena," bisik Rafael pada kegelapan. "Aku bukan orang yang kau kira. Aku bukan orang yang bisa diselamatkan." Tapi suara kecil di kepalanya—suara Leonard—berbisik balik: Tapi bagaimana kalau dia bisa? Rafael menutup matanya, memaksa pikiran itu menghilang. Tidak. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Sudah terlambat untuk itu. Ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam kegelapan. Sudah terlalu banyak darah di tangannya. Sudah terlalu banyak mayat yang ia kubur. Dan Ardena Callista... akan jadi salah satunya kalau ia tidak berhenti menggali. Rafael membuka mata lagi, kali ini dengan keputusan yang lebih jelas. Besok, ia akan memerintahkan Kael untuk mengawasi Ardena lebih ketat. Setiap gerakan. Setiap orang yang ia temui. Setiap artikel yang ia tulis. Dan kalau wanita itu melangkah terlalu jauh... Rafael akan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dari awal. Menghilangkannya. Seperti yang ia lakukan pada ayahnya lima tahun lalu. Keputusan sudah dibuat. Tidak ada ruang untuk keraguan. Tidak ada ruang untuk perasaan. Tapi saat ia menutup mata lagi, satu pikiran terakhir melintas di kepalanya—pikiran yang membuatnya tidak yakin apakah ia benar-benar bisa melakukannya: Bagaimana kalau aku tidak mau dia mati? Dan pertanyaan itu membuat Rafael menyadari sesuatu yang menakutkan. Ia mulai goyah. Dan dalam dunia Rafael, orang yang goyah... adalah orang yang mati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN