Ardena tidak tidur semalaman. Ia duduk di depan laptop dengan mata merah dan kopi yang sudah dingin, membolak-balik dokumen-dokumen yang ia terima dari email anonim itu untuk kesekian kalinya. Ada sesuatu yang ia lewatkan. Ia tahu itu. Ada benang merah yang belum ia tangkap.
Pukul enam pagi, ia memutuskan untuk membuka kardus lama yang ia simpan di lemari—kardus berisi barang-barang ayahnya yang ia ambil dari kantornya setelah kematiannya lima tahun lalu. Selama ini ia tidak pernah berani membukanya. Terlalu sakit. Terlalu banyak kenangan.
Tapi sekarang, ia harus. Ardena menarik kardus itu keluar, merobek lakban yang sudah menguning, dan mulai mengeluarkan isinya satu per satu. Buku catatan kerja. Map-map dokumen. Pena-pena yang tidak pernah lagi dipakai. Dan sebuah amplop cokelat tua yang tersembunyi di bawah tumpukan kertas.
Ia membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya ada beberapa foto lama—foto keluarga, foto acara kantor, foto pertemuan-pertemuan resmi. Ardena tersenyum sedih melihat wajah ayahnya yang masih muda, masih penuh semangat, masih... hidup.
Tapi satu foto membuat tangannya berhenti. Foto itu sudah agak pudar, sepertinya diambil sekitar sepuluh tahun lalu.
Ayahnya berdiri di sebuah ruangan yang terlihat seperti kantor, mengenakan kemeja formal dan senyum tipis. Di sampingnya berdiri seorang pria muda—mungkin awal dua puluhan—dengan setelan hitam dan tatapan tajam yang sangat familiar.
Sangat, sangat familiar.
Ardena mendekatkan foto itu ke wajahnya, matanya menyipit. Garis rahang. Bentuk mata. Cara pria itu berdiri dengan tangan di saku celananya—postur yang terlalu percaya diri untuk seseorang seusia itu.
"Tidak mungkin," bisik Ardena.
Tapi semakin lama ia menatap, semakin yakin ia.
Pria muda di foto itu adalah Leonard Varghese. Atau setidaknya, seseorang yang sangat mirip dengannya.
Ardena membalik foto itu. Di belakangnya ada tulisan tangan ayahnya—tulisan yang ia kenal dengan baik:
"Pertemuan dengan LV. Project Hartanto - awal fase. Semoga ini keputusan yang benar."
LV.
Leonard Varghese.
Jantung Ardena berdetak cepat. Ayahnya kenal Leonard? Mereka pernah bekerja sama? Tapi kenapa ia tidak pernah menceritakan ini? Kenapa tidak ada catatan tentang ini di dokumen-dokumen lain?
Ia menyalakan laptop lagi, mencari-cari di file-file yang ia terima dari email anonim. Project Hartanto. Nama itu muncul berkali-kali. Tapi tidak ada detail tentang siapa yang terlibat di awal proyek.
Ardena membuka browser, mencari informasi tentang Leonard Varghese di tahun-tahun awal karirnya. Profil resminya mengatakan ia memulai bisnis dari nol sepuluh tahun lalu, membangun Varghese Group dari perusahaan kecil menjadi kerajaan bisnis.
Tapi foto ini... foto ini menunjukkan bahwa Leonard sudah terlibat dengan ayahnya sebelum itu. Sebelum ia menjadi pengusaha sukses. Sebelum...
Sebelum ayahnya meninggal.
Ardena merasa ada sesuatu yang mencengkeram dadanya. Ini bukan kebetulan. Tidak mungkin kebetulan.
Ia mengambil ponselnya, memfoto gambar itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu mengirimnya ke nomor yang ia simpan dengan nama "Pak Adi"—wartawan senior di kantor yang punya koneksi ke mana-mana.
Ardena: Pak, tolong bantu trace. Ini foto lama. Saya perlu tahu siapa pria di sebelah ayah saya.
Ia tidak perlu menunggu lama. Lima menit kemudian, ponselnya berbunyi.
Pak Adi: Itu Leonard Varghese, kan? Kenapa ada foto dia sama bapakmu? Mereka kenal?
Ardena: Itu yang saya coba cari tahu. Ada info soal dia di masa lalu?
Pak Adi: Yang resmi sih cuma profil standar. Tapi ada gosip lama—sepuluh tahun lalu dia terlibat dalam investigasi korupsi besar yang tiba-tiba dihentikan. Kasusnya melibatkan proyek infrastruktur. Beberapa saksi menghilang. Dokumen hilang. Kasus ditutup tanpa penjelasan.
Ardena: Nama proyeknya apa?
Pak Adi: Hartanto, kalau nggak salah ingat. Kenapa?
Ardena tidak menjawab. Ia hanya menatap layar ponselnya dengan napas yang tertahan.
Project Hartanto.
Ayahnya sedang menyelidiki Project Hartanto sebelum ia meninggal. Dan Leonard Varghese terlibat di dalamnya sejak awal.
Semua mulai terhubung. Semua mulai masuk akal. Tapi masih ada satu pertanyaan besar: apa peran Leonard dalam kematian ayahnya?
Sementara itu, di kantor mewah Varghese Tower, Leonard duduk di kursi direkturnya dengan ekspresi datar, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh investigator pribadi yang ia pekerjakan dua hari lalu.
Nama investigator itu adalah Marcus—pria paruh baya dengan wajah biasa yang bisa menyamar jadi siapa saja. Ia sudah bekerja untuk Leonard selama lima tahun, menggali informasi tentang orang-orang yang Leonard butuhkan untuk diawasi. Dan kali ini, targetnya adalah Ardena Callista.
Marcus berdiri di depan meja dengan tablet di tangan, melaporkan temuannya dengan nada profesional.
"Ardena Callista. Dua puluh tujuh tahun. Lulusan Jurnalistik Universitas Indonesia. Bekerja di surat kabar independen Jurnalis Terbit selama tiga tahun. Tidak ada catatan kriminal. Tidak ada hubungan romantis yang stabil. Hidup sendirian di apartemen kecil di Menteng Selatan."
Leonard mengangguk, matanya masih fokus pada laporan di tangannya. "Keluarga?"
"Anak tunggal. Ibu meninggal saat ia berusia lima belas tahun—kanker. Ayah, Aryanto Callista, meninggal lima tahun lalu. Kasus bunuh diri resmi, tapi..." Marcus ragu sejenak. "Ada beberapa kejanggalan."
Leonard mengangkat pandangannya. "Kejanggalan seperti apa?"
"Aryanto Callista adalah pejabat di Kementerian Pekerjaan Umum. Dikenal bersih, tidak pernah terlibat skandal."
"Tapi tiga hari sebelum kematiannya, ia mengajukan permohonan perlindungan saksi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengklaim punya bukti penggelapan dana besar-besaran di proyek infrastruktur."
Leonard terdiam. Sesuatu di dadanya terasa berat.
"Proyek apa?" tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
"Project Hartanto," jawab Marcus.
"Proyek jalan tol senilai ratusan miliar yang dimenangkan oleh konsorsium perusahaan, termasuk... PT Arjuna Konstruksi. Anak perusahaan Varghese Group."
Keheningan.
Leonard menutup map di tangannya dengan gerakan pelan. Wajahnya tetap datar, tapi ada sesuatu yang berubah di matanya—sesuatu yang gelap dan berbahaya.
"Lanjutkan," katanya dingin.
Marcus melanjutkan. "Aryanto Callista berencana menjadi saksi kunci dalam pengungkapan kasus itu."
"Ia punya dokumen internal yang membuktikan adanya mark-up harga dan suap kepada pejabat tinggi. Tapi sebelum ia sempat bersaksi, ia ditemukan mati di kantornya. Kasus ditutup sebagai bunuh diri tanpa investigasi lebih lanjut."
Leonard meremas lengan kursinya, rahangnya mengeras. Ia ingat kasus itu. Ingat dengan sangat jelas. Karena dialah yang memerintahkan Rafael untuk "menyelesaikannya."
Dan Rafael menyelesaikannya dengan cara yang paling efisien: membuat Aryanto Callista menghilang sebelum ia sempat berbicara.
"Ada lagi?" tanya Leonard, suaranya terdengar lebih serak dari biasanya.
Marcus mengangguk. "Ardena Callista menghabiskan lima tahun terakhir mencari kebenaran tentang kematian ayahnya. Ia tidak percaya itu bunuh diri. Dan semua jejak investigasinya mengarah ke Varghese Group."
Leonard tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela kantornya, ke arah kota Ardencia yang membentang luas di bawah sana.
"Ada satu hal lagi, Mr. Varghese," kata Marcus pelan. "Saya menemukan foto lama di database arsip media. Foto Anda bersama Aryanto Callista, diambil sepuluh tahun lalu saat Anda masih menjadi konsultan muda di proyek Hartanto."
Leonard menoleh tajam. "Foto itu sudah seharusnya dihapus."
"Seseorang menyimpan salinannya," jawab Marcus. "Dan saya curiga Ardena Callista sudah menemukannya."
Leonard menutup matanya, menarik napas panjang. Di kepalanya, semua potongan puzzle mulai menyatu menjadi gambaran yang sangat, sangat rumit.
Ardena bukan hanya jurnalis yang kebetulan menyelidiki Varghese Group. Ia adalah anak dari orang yang Rafael bunuh. Ia mencari kebenaran tentang kematian ayahnya. Dan semua bukti mengarah padanya.
Pada Leonard.
Pada Rafael.
Pada pria yang bertanggung jawab atas kehancuran hidupnya.
"Apa yang harus saya lakukan, Mr. Varghese?" tanya Marcus. "Mau saya lanjutkan pengawasan?"
Leonard diam lama. Terlalu lama. Lalu, ia membuka matanya dan menatap Marcus dengan tatapan kosong. "Cukup. Kau boleh pergi."
Marcus tampak bingung, tapi ia tidak bertanya. Ia hanya mengangguk, mengambil tabletnya, dan berjalan keluar dari ruangan.
Begitu pintu tertutup, Leonard berdiri dari kursinya dan berjalan ke jendela besar. Ia menatap pantulannya di kaca—wajah yang selalu ia jaga agar tetap tenang, tetap terkontrol, tetap... sempurna.
Tapi sekarang, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Leonard merasa sesuatu yang asing di dadanya.
Rasa bersalah.
Ia tidak pernah merasa bersalah sebelumnya. Tidak saat ia memerintahkan Rafael untuk menghilangkan orang-orang yang jadi ancaman. Tidak saat ia melihat nama-nama di daftar korban. Tidak saat ia tahu bahwa di balik kerajaan bisnisnya, ada tumpukan mayat yang ia kubur.
Tapi kali ini... berbeda.
Karena kali ini, ia melihat wajah korbannya. Ia melihat Ardena—wanita yang menatapnya dengan mata yang sama dengan ayahnya, wanita yang mencari kebenaran dengan keberanian yang sama bodohnya, wanita yang...
Wanita yang ia mulai pedulikan.
"Bodoh," gumam Leonard pada pantulannya. "Kau bodoh, Leonard."
Tapi kali ini, bukan Rafael yang menjawab.
Ini Leonard sendiri. Dan ia sedang marah pada dirinya sendiri—karena ia tahu bahwa ia sudah melewati batas. Ia sudah terlalu jauh. Ia sudah...
Ia sudah jatuh.
Jatuh ke dalam perasaan yang tidak seharusnya ia miliki.
Leonard menutup matanya, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ia harus memilih. Harus memutuskan.
Apakah ia akan terus menjadi Rafael—pria yang tidak punya hati, yang tidak punya perasaan, yang hanya peduli pada kekuasaan dan kontrol?
Atau apakah ia akan menjadi Leonard—pria yang mulai merasakan rasa bersalah, yang mulai mempertanyakan pilihannya, yang mulai...
Yang mulai ingin jadi orang yang lebih baik. Tapi ia tahu itu mustahil. Terlalu banyak darah. Terlalu banyak dosa. Terlalu terlambat untuk bertobat.
Dan Ardena Callista... akan terus menggali sampai ia menemukan kebenaran.
Kebenaran yang akan menghancurkan keduanya.
Leonard membuka matanya lagi, menatap pantulan wajahnya di kaca dengan tatapan yang penuh dengan sesuatu yang ia tidak bisa namakan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Leonard Varghese tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Dan itu membuatnya lebih takut dari apapun.