Gadaian di Malam Sunyi
Istana Raden Mas Wijaya - Ruang Tamu
​Istana Raden Mas Wijaya terasa sunyi malam itu, hanya lampu minyak temaram yang menyinari Raden Mas Wijaya yang duduk di kursi kayu ukir. Pakaiannya adalah sarung batik sutra dan surjan, memancarkan wibawa bangsawan Jawa.
​"Assalamu'alaikum, Ndara Wijaya," sapa Bapak Suyono, seorang pria paruh baya dengan wajah cemas, beringsut duduk di tikar.
​"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Bapak Suyono?" tanya Raden Mas Wijaya, suaranya tenang namun berwibawa.
​"Maaf, Ndara. Saya mengganggu dan datang malam-malam begini," ujar Bapak Suyono, meremas kopiahnya.
​"Sampun, sampun. Langsung mawon pada intinya, ada apa?" desak Raden Mas Wijaya, tak sabar.
​"Jadi begini, Ndara. Saya sedang ada masalah ekonomi..." jawab Bapak Suyono, terpotong.
​"Arta toh?" potong Raden Mas Wijaya langsung ke inti.
​"Nggih, Ndara..." jawab Bapak Suyono pelan.
​"Tengga," pinta Raden Mas Wijaya.
​"Nggih, Ndara," kata Bapak Suyono patuh.
​Raden Mas Wijaya menyuruh seorang abdi mengambil sesuatu, sambil menunggu, terdengar suara salam.
​"Assalamu'alaikum..." sapa Arya, putra sulung Raden Mas Wijaya, yang baru pulang.
​"Wa'alaikumussalam, Den Mas Arya," jawab Bapak Suyono, membungkuk sedikit.
​"Loh, ada tamu ya, Bapak Suyono?" kata Arya, sedikit terkejut.
​"Nggih, Den. Sudah bertemu dengan Romo," jelas Bapak Suyono.
​"Oh, nggih sampun. Kula ke dalam dulu nggih," pamit Arya.
​"Nggih, Den."
​Kamar Dewi Ayu - Istri Ketiga
​Di kamar yang mewah, Dewi Ayu mondar-mandir.
"Saiki jadwalku karo garwaku. Aku seneng akhirnya bisa berduaan lagi," katanya pada diri sendiri, memperbaiki riasan.
​Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama Stella Cornelia, keponakannya yang sekolah di London, muncul di layar.
​"Sapa toh ganggu wae? Hmm..." gerutu Dewi Ayu, kesal karena waktunya terganggu.
​Dewi Ayu menerima panggilan itu.
​[Dewi Ayu : Halo Stella. Ada apa?]
[Stella : Halo, Budhe... Kirimin uang lagi dong, Hehe...]
[Dewi Ayu : Lho, bukannya minggu lalu sudah Budhe kirim? Sudah habis?]
[Stella : Ya sudah habis, Budhe. Uang yang Budhe kirim juga tidak cukup untuk sebulan di sini.]
[Dewi Ayu : Iya, iya. Nanti Budhe kirim. Tapi tidak sekarang, banknya tutup, ini sudah jam sembilan malam.]
[Stella : Okay, Budhe. Bye...]
​Dewi Ayu meletakkan ponselnya dengan dongkol.
"Ada-ada saja. Tapi, kok Kang Mas Wijaya belum masuk ke kamarku ya? Apa jangan-jangan jatahku malam ini direbut lagi sama Mbak Retno?"
Ia mulai berprasangka buruk. "Yen ngono aku sing mboten terima!"
​Ruang Tamu
​"Oh ya, Bapak Suyono butuh pira?" tanya Raden Mas Wijaya setelah abdi kembali dan duduk di singgasananya.
​"Lima puluh juta mawon, Ndara. Kula konjuk modal usaha," jawab Bapak Suyono.
​"Oh ya wis, ini artane," kata Raden Mas Wijaya, menyerahkan segepok uang. "Tapi sebelum Bapak mengambil uang ini, kita buat perjanjian terlebih dahulu. Mohon ditandatangani berkasnya."
​Bapak Suyono menerima berkas itu dengan tangan gemetar.
​"Oh ya, satu lagi saya lupa. Bapak Suyono bisa tuliskan jaminannya apa pada kertas itu, jika setelah tiga kali meminjam dan tidak mampu membayar utang pada saya." Raden Mas Wijaya tersenyum tipis, senyum yang sulit diartikan.
​"Oh, nggih Ndara..." kata Bapak Suyono, menelan ludah.
​Setelah Bapak Suyono menulis dan menandatangani, disebutkan jaminan itu adalah putri pertamanya.
​Dengan berat hati, Bapak Suyono menuliskan "Rara Kinasih, putri pertama saya." Setelah berkas ditandatangani, Bapak Suyono pun pamit, bergegas kembali pada teman-temannya untuk main judi.
​Di dapur, Mbok Surip sedang memanaskan lauk. Arya menghampirinya.
​"Eh, Den Arya sampun mulih," kata Mbok Surip.
​"Nggih, Mbok, sampun. Lauknya apa, Mbok?" tanya Arya.
​"Ada ayam kecap, jangan sampah (sayur asem), ikan asin, dan sambal terasi, Den. Mau makan sekarang?"
​"Nggih, Mbok. Sekarang saja," jawab Arya.
​Lalu, terjadi keributan para istri dan anak-anak, yang segera dipadatkan.
​"Assalamu'alaikum, Mas Arya," sapa Nanda, adik Arya.
​"Wa'alaikumussalam, Dik. Baru pulang?" tanya Arya.
​"Nggih, Mas. Banyak tugas kelompok di rumah Farel," jawab Nanda.
​"Farel atau Malik?" goda Arya.
​"Ih, apaan sih, Mas! Orang beneran Farel juga. Nggak percaya banget!" protes Nanda, kesal.
​Retno Asih (Istri Kedua), Dinda (anak Retno), dan Sri Wulan (Istri Pertama) datang ke dapur.
​"Eh, apa-apaan sih kalian berdua ini ribut melulu," tegur Retno Asih.
​"Mbok, tolong siapkan makan untuk anak-anak ya, Mbok," pinta Sri Wulan.
​"Inggih, Umi Sri, sebentar lagi disiapkan kok," kata Mbok Surip patuh.
​"Nah, ini dia orangnya," Dewi Ayu tiba-tiba muncul di ambang pintu, matanya tajam menatap Retno Asih.
​"Ngopo toh kowe Dewi?" tanya Retno Asih dingin.
​"Mboten usah tanya, nggih Mbak!" Dewi Ayu mulai mencari gara-gara.
​"Sik, sik, sik... Maksudmu bagaimana, Dewi? Retno? Bisa jelaskan?" sela Sri Wulan, mencoba melerai.
​"Kula mboten mangertos, Mbak. Apa yang dimaksud Dewi ini," jawab Retno Asih, pura-pura polos.
​"Alah! Jangan ngapusi, nggih kowe Mbak Retno! Kang Mas Wijaya ke mana? Kalau bukan bersama panjenengan!" tuduh Dewi Ayu.
​"Haaa... Kang Mas Wijaya? Panjenengan lihat mboten enten di sini?" balas Retno Asih, meninggikan suara.
​"Nggih, mboten sih. Tapi bisa jadi Mbak Retno umpetin kan, Kang Mas Wijaya?" balas Dewi Ayu tak mau kalah.
​"Enak saja kamu menuduh! Ada bukti nggak kamu, Haaaa, Dewi?" Retno Asih marah.
​"Retno benar, Dewi. Tidak baik menuduh seseorang tanpa bukti," Sri Wulan mencoba menenangkan.
​"Asal Mbak Sri tahu, setiap jadwal saya dan Kang Mas Wijaya, pasti saja Mbak Retno ganggu!" Dewi Ayu membela diri.
​"Sudah, sudah, Umi-Umi sudah ya," Arya maju. "Umi Dewi tadi mencari Romo toh?"
​"Inggih, Le. Romo di mana, Le? Panjenengan mangertos mboten?" tanya Dewi Ayu.
​"Kula mangertos, Umi Dewi. Romo enten di ruang tamu. Romo sedang ada tamu," jawab Arya.
​"Oh, seperti itu. Nggih sampun, Umi ke sana ya, Le. Nuwun sewu," pamit Dewi Ayu, buru-buru pergi.
​"Nggih, Umi Dewi."
​"Huuuu... Asal tuduh saja! Malu tuh, huuuu..." sorak Retno Asih puas.
​"Eh, panjenengan nggih Retno! Sudah, sudah. Ayo dimakan makan malamnya. Umi Sri dan Umi Retno tinggal dulu nggih," pamit Sri Wulan, membawa Retno keluar dari dapur.
​KEESOKAN HARINYA.
​Di meja makan yang ramai, Raden Mas Wijaya sedang sarapan dengan seluruh keluarganya.
​"Nuwun sewu, Ndara," kata Rahman, ajudan kesayangan Raden Mas Wijaya, berbisik di telinga tuannya.
​"Nggih, Man. Enten menapa?" tanya Raden Mas Wijaya.
​Ajudan itu membisikkan sesuatu.
​"Apa!!" teriak Raden Mas Wijaya, kaget, membuat semua orang terdiam.
​Karena terkejut, Raden Mas Wijaya segera memerintahkan ajudannya untuk memata-matai rumah Bapak Suyono.
​"Enten menapa, Mo?" tanya Dinda.
​"Nggih, Kang Mas, ada apa toh?" tanya Dewi Ayu.
​"Mboten punapa-punapa, lanjut lagi makannya," jawab Raden Mas Wijaya, kembali tenang.
​Setelah sarapan, anak-anak bergegas pergi sekolah. Ajudan itu kembali dan membisikkan kabar yang membuat Raden Mas Wijaya tersenyum misterius.
​"Untung sudah selesai sarapan ya, anak-anak juga sudah pada pergi sekolah," gumam Raden Mas Wijaya, tanpa sadar di dengar oleh Dewi Ayu yang menguping.
​"Kok Kang Mas Wijaya kelihatan mencurigakan sekali ya? Aku nguping sedikit saja, deh..." pikir Dewi Ayu, bersembunyi.
​"Apa benar ya yang dikatakan oleh Rahman tadi, kalau anaknya Bapak Suyono itu cantik? Penasaran aku. Langsung saja deh ke rumahnya Bapak Suyono, sekalian nagih utangnya yang sudah jatuh tempo," kata Raden Mas Wijaya.
​"Haaaa.... Apa!! Jangan-jangan Kang Mas Wijaya mau menikah lagi! Nggak bisa, nggak bisa dibiarkan ini. Aku harus kasih tahu Mbak Sri juga Mbak Retno!" Dewi Ayu mendengar seluruh perkataan itu.
​"Rif, Arif!" panggil Raden Mas Wijaya pada ajudan lainnya.
​"Nggih, Ndara, enten menapa?" tanya Arif.
​"Antar saya ke rumah Bapak Suyono saiki."
​"Oh nggih, mangga," kata Arif patuh.
​​Dewi Ayu bergegas ke ruang tengah.
​"Mbak, Mbak, Mbakyu!" panggil Dewi Ayu heboh.
​"Dewi kenapa lagi sih?" tanya Sri Wulan.
​"Drama itu mah, Mbak. Biasa itu dia begitu..." jawab Retno Asih sinis.
​"Mbak..." panggil Dewi Ayu lagi, suaranya tercekat.
​"Kami di sini, balik!" pinta Sri Wulan.
​"Nggih, Mbakyu Sri..." kata Dewi Ayu patuh.
​"Mau drama apa lagi sekarang, Dewi?" tanya Retno Asih, menyilangkan tangan.
​"Kok malah drama toh, Mbak? Ini bukan drama. Ini beneran Mbak!" jawab Dewi Ayu.
​"Ya sudah, cerita cepat dan jangan bertele-tele," pinta Retno Asih.
​"Oke, jadi gini ceritanya, Mbak..." Dewi menceritakan apa yang didengarnya.
​"Apa!! Yang benar kamu, Dewi? Kang Mas Wijaya mau menikah lagi?" tanya Sri Wulan, terkejut.
​"Nggih, Mbak. Buat apa aku ngapusi? Aku dengar sendiri kok Kang Mas Wijaya ngomong begitu!" jawab Dewi Ayu yakin.
​"Yen tenanan, mboten bisa dibiarkan ini, Mbak. Nanti si Dewi merasa tersaingi, piye Mbak, karo bojone Kang Mas Wijaya sing anyar?" tanya Retno Asih, mulai khawatir jatah suaminya berkurang.
​"Iya ih, kamu benar Retno. Wong enten Dewi wae sudah membuat rusuh dan berisik satu rumah ini, apalagi enten saingan anyare Dewi nanti," sindir Sri Wulan.
​"Ih, Mbak, bukan saatnya sindir-sindiran! Sekarang saatnya kita kompak jadi satu, ngono!" keluh Dewi Ayu, menyadari ancaman baru lebih besar daripada permusuhan lama mereka.