Terusir dari Rumah Sendiri
“Lagi-lagi kamu buat ulah! Luna Artamevia! Apa kamu sadar perbuatan yang sudah kamu lakukan kali ini?!” Ucap kasar lelaki paruh baya berperut buncit dan kumisnya tebal. Aku memanggilnya Papa, ayah kandungku.
Sekali lagi tamparan dari tangan Papa membekas di pipi kiriku. Ini tamparan yang sudah kesekian kalinya melayang dari Papa. Kini pipiku terasa panas, namun lebih panas lagi hatiku yang membara atas ketidak adilan yang ku terima. Papa yang selama ini ku kenal sebagai seorang yang bijak dan bertanggungjawab, kini telah berubah 180 derajat setelah menikah dengan istri keduanya, mama tiriku, Nanik si nenek sihir.
“Dia ini ada masalah apa sih, Pa? Selalu saja bikin gara-gara.” Keluh Mama, wanita berambut keriting sebahu dengan lipstick tebal berwarna orange yang ikut memanasi situasi ini. “Lihat! Sekarang korbannya adalah kucing kesayangan Mama. Padahal Papa kan tahu kalau merawat Momo itu sulit sekali. Mama tiap bulan sampai habiskan berjuta-juta hanya untuk obat penghalus bulunya saja”
Wanita itu dengan ketus menyudutkanku tanpa rasa bersalah padahal dia sendiri yang memintaku memberikan makanan kucing itu dari boxnya. Siapa yang tahu kalau makanan kucing itu sudah kadaluarsa hingga membuat Momo muntah-muntah kemudian harus dibawa ke klinik dokter hewan.
Meskipun menyebalkan, namun tak dapat dipungkiri, saat ini dia adalah istri sah dari ayahku. Bahkan dulu aku jugalah yang ikut merestui hubungan keduanya hingga ke pelaminan. Kini aku menyesalinya. Kini hidupku terasa seperti di neraka setelah ibu dan adik tiriku tinggal serumah dengan kami.
“Dasar pembuat onar! Jangan-jangan nantinya dia berniat meracuni kita semua di rumah ini seperti yang dia lakukan ke Momo! Ih amit-amit punya sodara psikopat kayak dia” ketus gadis cantik yang seumuran denganku.
Ini si tukang ikut campur, Milia, adik tiriku yang hanya 5 bulan lebih muda dariku. Ia pada awalnya bersikap manja dan imut di dekatku terutama di sekolah. Namun semakin lama kami bersama, ia memperlihatkan sifat aslinya. Kebencian dan iri hatinya terlihat jelas di depanku. Ia seperti sudah tak ingin aku berada di sekitarnya.
Ia selalu berusaha menjatuhkan dan menyingkirkanku pada berbagai kesempatan yang ada, baik di rumah maupun di kampus. Ya, kami memang satu kampus, aku di Jurusan Manajemen Bisnis, sedangkan Milia di Jurusan Akuntansi. Terkadang kami tak sengaja bertemu di kantin dan tak jarang pula ia membuat ulah yang membuatku kesal.
Terlebih lagi ketika kami ternyata menyukai seorang kakak tingkat yang sama di kampus. Padahal akulah yang pertama berkata ingin menembaknya lebih dulu, tapi Milia justru menikungku dari belakang dan menjatuhkan nama baikku di depan pria yang ku kagumi selama ini. Alhasil sekarang Milia berpacaran dengan Kak Raul. Sekarang namaku sudah buruk di matanya bahkan sampai terlihat jijik setiap kali pandangan kami bertemu.
“Ya ampun Pa, Ma, itu hanya seekor kucing! Dan siapa yang tau kalau makanan kucing itu sudah kadaluarsa” Sekali lagi aku mencoba membela diri sambil menutupi pipiku yang masih panas karena tamparan Papa. Aku yakin diriku tak bersalah secara langsung dan tak berhak diperlakukan kasar seperti ini..
“Hanya kucing? Hanya seekor kucing, kamu bilang?” Mama mendekat dan mendorong kasar tubuhku yang telah lelah atas semua konflik ini hingga aku terjatuh di lantai.
“Momo itu kucing persia dari keturunan keluarga kerajaan mesir! Statusnya jelas lebih tinggi dari kamu. Kok bisa-bisanya kamu menyamakannya dengan kucing biasa! Pakai matamu dengan benar!” Mama marah sampai ke ubun-ubun. Tatapannya penuh dengan kebencian.
Aku menatapnya balik dengan penuh kebencian tanpa perlu membalas kata-kata kasarnya karena Papa pasti akan lebih membelanya daripada aku. Aku tak ingin masalah ini semakin panjang dan runyam.
“Sudah! Cukup! Mulai sekarang kamu dihukum. Mulai malam ini kamu akan tinggal sendiri di apartemen Papa yang ada di Serpong. Dan tidak ada uang saku untukmu selama 3 bulan ini. Kamu cari sendiri!” Papa masih marah sembari menunjuk padaku.
“Hukuman itu terlalu murah untuknya, Pa! Seharusnya buang saja dia ke tantenya di kampung sana.” Ketus Milia lagi.
Ia tahu Tante Bunga dari keluarga ibuku itu terkenal sedikit nyentrik dan lebih suka tinggal di perkampungan pedesaan daripada perkotaan seperti saudaranya yang lain. Tante Bunga masih belum menikah di usianya yang ke 43 tahun ini. Banyak rumor beredar dan tentunya kebanyakan negatif tentangnya.
“Cukup! Keputusan Papa sudah final. Luna, sekarang rapikan barang-barangmu dan segera angkat kaki dari rumah ini” Ketus Papa. Ia beranjak pergi meninggalkan kami dan masuk kamar tidurnya.
Tak pernah terpikirkan olehku yang baru berusia 22 tahun ini, merasakan diusir dari rumah sendiri hanya karena kucing jelek itu. Bulir bening mengalir dari kedua mataku, namun segera ku usap dengan telapak tangan yang dari tadi gemetaran. Aku merasa sudah tidak dianggap sebagai anaknya Papa. Kenapa ia justru menyalahkanku hanya untuk membela seekor kucing? Untuk terlihat lebih baik di depan Mama?
“Dah, sana pergi. Titah Papa selaku kepala keluarga itu mutlak.” Ucap Milia dengan senangnya. Aku sudah muak mendengar suara Milia yang sombong itu. Ia seperti memiliki bakat menambah-nambah cerita dan memanasi konflik hingga masalah yang kecil menjadi besar.
Milia mendekatiku, “Ku harap kamu enggak akan pernah menginjakkan kakimu ke rumah ini lagi. Ini rumahku sekarang, kamu sudah tidak pantas berada disini” Bisik Milia di telingaku.
Mataku terbelalak. Bicara apa dia? Ini akan tetap jadi rumahku sampai kapanpun. Apa dia tidak tahu bahwa rumah ini dibangun dari tanah warisan ibuku? Justru dialah yang tidak pantas berada di rumah ini. Ini rumahku! Tanganku mencengkeram hebat. Namun aku harus menahan diri daripada nanti bisa memperberat hukumanku.
Aku berdiri lunglai dan melangkah ke kamarku di lantai 2 dalam diam, meninggalkan Mama dan Milia. Sedangkan kedua wanita licik itu melihatku dengan tatapan puas karena telah berhasil mengusirku dari rumahku sendiri. Sebenarnya apa yang telah membutakan Papa sampai lebih membela wanita jahat dan kucing jelek itu dibandingkan darah dagingnya sendiri?
Di depan pintu kamarku, berdiri seorang wanita berwajah ramah yang menungguku. “Non, yang sabar ya. Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan menguji kita melebihi batas kemampuan hambanya” Ucap Bi Ijah, pembantu sekaligus pengasuhku sejak sepeninggal ibuku 20 tahun lalu karena kanker otak. Ia satu-satunya orang yang paling dekat secara emosional denganku, memahamiku, bahkan manganggapku seperti putrinya sendiri.
Bi Ijah membelai kepalaku dengan lembut layaknya seorang ibu ke anak kandungnya. Akupun langsung memeluk Bi Ijah.
“Bi, Luna gak kuat lagi. Sekarang Papa berubah tidak seperti dulu. Entah kenapa Papa bisa jadi seperti itu?” Aku tak dapat membendung air mataku yang mengalir begitu merasakan kehangatan Bi Ijah meskipun kami tanpa ada hubungan darah namun kedekatan ini terjalin bertahun-tahun. Sejujurnya, bahkan perhatiannya kurasa melebihi Papa kandungku sendiri.
“Bi Ijah yakin, nona Luna akan bisa menghadapi ujian ini. Sudah, usap air mata nona, nanti cantiknya luntur lo.” Mendengar hal itu, membuatku tersenyum kecil. “Bibi bantu menata barang ya, Non”
Aku mengangguk, lalu kami masuk kamar untuk menata barang-barang yang akan ku bawa dalam kepindahanku. Alhasil 2 koper besar berisi semua barang yang kiranya ku butuhkan termasuk foto kenang-kenangan keluarga kecil kami saat bertiga: Papa, Ibu dan aku ketika masih berusia 2 tahun. Saat itu penyakit ibu, kanker otak sudah stadium 4 tapi ia masih bisa memperlihatkan senyum yang manis sekali.
Aku tersenyum melihat bingkai foto itu.
“Nyonya terlihat cantik sekali di foto itu ya, non” Ucap Bi Ijah yang ikut tersenyum setelah melihatku memandang penuh makna pada bingkai foto di tanganku.
“Iya bi. Ibu cantik sekali” Balasku.
“Nona juga punya senyum yang manis seperti almarhumah nyonya. Jadi, sebaiknya nona juga sering-sering senyum daripada nangis. Ya?” Ucap Bi Ijah menyemangatiku.
Aku tersenyum, “Bi Ijah bisa saja. Kalau Luna banyak senyum nanti bisa dikira gila dong, Bi.” Aku dan Bi Ijah tertawa kecil di dalam kamar yang sunyi itu.
“Lihatlah Ibuku sangat cantik dan senyumnya manis sekali di foto ini. Kadang aku merasa rindu ingin bertemu, tapi kami sudah terpisah sangat jauh” Aku memeluk bingkai foto keluarga kecil kami itu.
“Semoga beliau tenang di alam sana.” Doa tulus dari Bi Ijah benar-benar terasa sampai hatiku. Akupun memeluk Bi Ijah.
“Bi Ijah, jaga diri baik-baik ya di rumah ini. Kalau ada apa-apa hubungi Luna ya, Bi. Bi Ijah itu sudah Luna anggap sebagai bagian dari keluarga Luna.” Ucapku sungguh-sungguh.
Bi Ijah tersenyum dan membelai punggungku. Mungkin inilah rasanya memiliki seorang ibu. Hangat dan perhatiannya terasa meskipun tanpa mengeluarkan kata-kata.
Malam itu mobil Papa sudah dipanasi oleh Pak Muh, supir pribadi Papa. Ia sudah siap berangkat kapanpun sambil menungguku di halaman rumah. Begitu aku keluar rumah, ia membantuku memasukkan koper ke bagasi mobil.
“Sudah siap berangkat, Non?” Tanya Pak Muh setelah memasukkan 2 koper besar milikku.
Aku menoleh ke arah rumah, namun tidak ada satupun keluargaku yang mengantar kepergianku. Hanya ada Bi Ijah yang terlihat cemas. Aku tak tahu apakah ini masih bisa disebut sebagai keluarga? Ataukah hanya aku yang tersingkirkan dari lingkungan bernama “keluarga” ini? Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan takdirku yang malang ini.
“Sudah, Pak Muh. Kita berangkat sekarang saja” Jawabku lesu. Aku masuk ke dalam mobil lalu membuka jendela di sampingku.
“Non, jaga diri baik-baik disana. Jaga kesehatan. Jangan banyak makan mi instan. Setidaknya perbanyak makan sayur, itu lebih sehat, ya?” Nasehat Bi Ijah yang tahu bahwa selama ini aku tidak terlalu suka makan sayuran.
Aku tersenyum mendengar kecerewetan Bi Ijah yang bahkan melebihi perhatian Papa kandungku sendiri. Aku akan merindukan kecerewetan Bi Ijah yang seperti ini.
“Iya Bi. Luna pamit ya. Jaga diri Bi Ijah” Aku melambaikan tangan, kemudian dibalas Bi Ijah yang terlihat mulai menitikkan air mata.
“Non! Jaga diri baik-baik disana!” Ucap Bi Ijah lagi dengan nada suara yang bergetar karena menahan tangis.
Aku berusaha tegar. Sudah cukup banyak air mata Luna Artamevia tertuang di malam ini. Kamipun berangkat menuju apartemen pribadi Papa di daerah Serpong. Ya, itu sebenarnya tidak terlalu buruk. Berita baiknya, fasilitas di apartemen itu cukup lengkap, dekat dengan kampusku dan tentunya jauh dari Mama dan saudara tiri yang menyebalkan itu.
Ya, setidaknya ada poin positif jika aku keluar dari rumah yang sudah terasa seperti neraka itu. Tidak apa-apa Luna. Kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa menghadapi kejamnya dunia. Saatnya bagimu untuk mandiri. Tunjukkan pada mereka jika kamu bisa menjadi wanita tangguh.
Malam itu aku sudah membulatkan tekadku. Luna Artamevia bukan wanita lemah!
Gemerlapnya jalanan Jakarta di malam hari, begitu ramai namun hatiku terasa hampa dan kelabu. Kemudian disusul rintik air yang turun dari langit seraya ikut bersedih atas kepergianku yang terusir dari rumahku sendiri.
“Hah, bahkan langitpun kasihan padaku” keluhku dalam gumaman tak jelas.
“Gimana, Non?” Tanya Pak Muh yang ingin mengkonfirmasi pendengarannya.
“Gak apa, Pak. Hati-hati nyupirnya, sudah mulai hujan” sahutku untuk menghindar dari pertanyaan lanjutan.
“Ooh, baik Non. Jalanan agak ramai, tapi saya perkirakan kita sampai di apartemen 15 menit lagi” Balas Pak Muh.
“Iya, Pak. Huff” Aku menghela nafas pendek. Memang masih tersisa rasa kesal atas kejadian tadi di rumah.
“Non Luna yang sabar ya, ambil sisi positifnya dari kejadian ini. Non Luna sudah tidak perlu menghadapi orang-orang di rumah” ucap Pak Muh tiba-tiba.
Aku hanya mengangguk, karena kami berdua memang tidak terlalu dekat. Pak Muh biasanya tidak banyak bicara. Ya, mungkin karena situasiku saat inilah yang bisa mengundang simpati bahkan bagi orang yang sependiam Pak Muh.
Kemudian suasana mobil menjadi hening kembali. Pak Muh pun menyetel lagu keroncong kesukaannya untuk mengisi suasana yang canggung. Aku tak masalah dengan hal itu, aku hanya ingin segera sampai dan rebahan di kasur lalu meluapkan kekesalanku pada bantal yang tak bersalah.
Tak terasa disaat aku melamun sepanjang jalan, ternyata kami sudah sampai di parkiran apartemen Papa. Mobil kami berhenti di parkiran bawah tanah.
“Saya bawakan kopernya ya, Non. Non Luna duluan saja ke kamar” kata Pak Muh.
Aku mengangguk lalu meninggalkan Pak Muh di parkiran mobil. Aku berjalan sendiri lalu menaiki lift menuju ruangan 503 di lantai 5. Rasanya sudah lama sejak aku pertama kali menginjakkan kaki ke apartemen ini, mungkin sekitar 3 tahun lalu. Saat itu, papa mengadakan pertemuan keluarga untuk memperingati anniversary pernikahannya dengan Mama.
Ya, mungkin sejak saat itulah drama ini dimulai, sejak usaha Papa semakin melejit dan bisa memiliki apartemen mewah ini. Mama dan Milia jadi mulai berubah drastis. Mereka memperlihatkan sifat aslinya yang penuh iri dengki padaku. Aku memikirkan hal ini hingga melamun dalam keadaan berjalan menuju kamar.
“Aduh!” Di lorong menuju kamar, aku menabrak seseorang hingga keseimbanganku goyah, tetapi ia merangkul tubuhku agar tidak terjatuh.
Ternyata ia seorang pria gagah dengan tuksedo hitam mewah dan topeng bulu yang menutupi sebagian atas wajahnya. Apa ini? Sesuatu yang klise ini seperti cerita dongeng dalam novel-novel. Wangi parfumnya membuatku lemas seakan tak ingin lepas dari pelukan pria itu. Apakah dia sang pangeran hatiku, jodohku, atau cinta sejatiku yang selama ini telah aku impikan sejak kecil?