Jalan setapak berganti hamparan tanah luas tak berjarak
Bau menyengat debu sulfatara telah sirna dari raga
Bunga cantigi pun telah beranjak pergi
Di depan mata, terlihat bukit bebatuan menunggu tuk dipijak
Sayup-sayup angin membelai dengan dingin
Langkah kaki merayap perlahan karena diterpa angin
Mata fokus ke depan, tetap berjalan pada titian
Memijah arah, supaya tak memutar kaki melangkah
Jarum jam menunjuk tiga-seperempat
Langkah harus dipercepat
Angin berubah arah tepat pukul empat
Asap sulfatara memenuhi trek hingga bahaya mendera
Udara dingin mulai menerpa, memenuhi raga
Menyambut diri ini beranjak dan berpijak di tanah terbuka
Naik turun bukit penuh batu kerikil beradu, bersuara
Sesekali terperosok hingga kaki terseok
Di kejauhan terlihat seperti kawah
Apakah itu puncaknya? Entahlah!
Kenapa tak menanjak? Malah turun ke bawah?
Hati bertanya, ada apa dibalik sana
Ditanjakan terakhir, kaki menyisir
Napas menghempas bebatuan cadas
Ingin segera naik ke atas, melihat ada apa ditepi alas
Penasaran menawan ingatan, ingin segera melampaui batas
Wow….!
Batu bersusun, dari kejauhan tampak seperti dusun
Begitu anggun, menyerupai untaian huruf yang berkerumun
Tunggu….! Membentuk kata, mengusik mata ingin membaca
Bagi sebagian orang terkesan sebuah ke-alay-an
Membunuh kebosanan dengan memainkan bebatuan
Namun bagi seorang pecinta, inilah pembuktian
Seperti Bandung Bondowoso dengan Candi Prambanan
Bukan pekerjaan mudah
Menyusun bebatuan terbaca arah ratusan meter menderah
Dari dekat terlihat abstrak, tak dapat dibaca dengan cepat
Hanya membayangkan hasilnya dengan singkat
Dari atas bukit terlihat menakjubkan sangat
Membentuk pola dan kata yang jelas dan padat
Sang pesona dalam balutan prasasti dan hikayat
Pembuktian cinta yang hebat, terekam dalam potret ingat
Andai drone ada di tangan
Namamu akan kutata ditumpukan bebatuan
Dari tempatku tiduran, drone terbang ke atas awan
Hingga nama terabadikan di gravelar mars dalam kenangan
#
Lembah Batu Susun – 3100 mdpl
Mt. Welirang (3156 mdpl)
Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia