6. Cerita Gina

1389 Kata
“Seseorang itu tergantung pada agama sahabatnya, maka perhatikanlah salah seorang dari kamu kepada siapa dia bersahabat.”  -HR. Abu Daud- ~~~ MOBIL yang dikendarai Ayah Alya berhenti tepat di gedung utama SMA CADIKA. Alya yang sedari tadi hanya melamun lantas tersadar ketika ayahnya memberi tahu kalau mereka telah sampai. "Alya, kamu kenapa, sayang?" tanya Ayah lembut. Ia merasa Alya sedikit berbeda hari ini. "Emm, Alya gak papa kok, Yah." jawabnya. "Yang bener?" Alya mengangguk sebagai jawaban. Ia meraih punggung tangan ayah, lalu menciumnya. "Alya berangkat ya, Yah," ucap Alya. "Iya. Semangat belajarnya, sayang," Alya tersenyum lalu mengangguk. Ia memakai maskernya, dan membuka pintu mobil. "Assalamualaikum," salamnya. "Waalaikumsallam," jawab Ayah. Setelahnya Alya berjalan menjauh dari mobil Ayah. Alya menghembuskan napas pelan lalu membuangnya. Ia berusaha untuk terlihat baik, karena memang ia sama sekali tidak ada masalah. "Bismillah," ucapnya mengawali pagi di sekolah. Setelahnya, Alya kembali melanjutkan jalan. Seperti biasa, Alya tetap menundukan pandangannya, walau sesekali ia melihat ke depan— takut kejadian semalam terulang lagi. Setelah sampai di kelas, Alya melihat Gina yang tengah duduk di bangkunya. Alya sedikit bingung, tumben sekali Gina datang sepagi ini biasanya ia datang selalu terlambat. Gina tengah duduk sendiri, dengan wajah yang tertutupi rambutnya lantaran ia sedang menunduk, Alya berjalan mendekati Gina. "Assalamualaikum, Gin," sapa Alya. Ia duduk tepat di sebelah Gina. Gina tak menjawab salam Alya. Gadis itu masih saja diam. Alya yang menyadari hal itu lanatas melirik Gina, Ia merapikan rambut panjang Gina yang menutupi wajahnya. Dan betapa terkejutnya Alya ketika melihat wajah Gina yang pucat, bibirnya begetar, beserta air mata yang mengalir dari kelopak matanya. Alya menangkup wajah sahabatnya itu. "Gin, kamu kenapa? Cerita sama aku," ucap Alya, lalu memeluk tubuh Gina. Alya merasa tubuh sahabatnya itu bergetar, bahkan suhu tubuhnya panas. "Badan kamu panas, Gin. Kita ke UKS, ya." ajak Alya. Gina menggelengkan kepalanya. "Gin, please. Kalau kamu ada masalah kamu bisa cerita sama aku," bujuk Alya lagi. "Gu-gue gak kuat, Al," gina berbicara. Nadanya bergetar, isak tangisnya semakin keras. Sebagai sahabat Alya meraskan kerapuhan sahabatnya itu. Ia memeluk tubuh Gina lagi. "Kamu cerita sama aku, aku bisa jadi pendengar untuk kamu. Dan insya allah aku bisa bantu kamu. Gin, kamu gak bisa mendam semuanya sendiri, kamu butuh teman untuk bercerita, meluapkan semua keluh kesah mu. Dan aku sahabat kamu. Kamu bisa cerita semuanya sama aku," jelas Alya. Ia mengahapus air mata yang tersisa di pipi tirus Gina. Tatapannya menatap Gina ibah. Tak lama, Gina mengangguk pelan. Alya tersenyum, "Yaudah, yuk ke UKS. Di sana kamu bisa cerita semuanya sama aku," ajak Alya. Ia membopong tubuh Gina yang lemas. Sekolah masih sepi, belum ada teman sekelas Alya yang datang. Karena itu Alya harus segera membawa Gina sebelum ada yang melihat. Alya tak mau Gina menjadi bahan olok-olokan teman-temannya yang lain. *** Alya memberikan Gina secangkir teh hangat, menyuruh Gina untuk meminum teh tersebut berharap Gina bisa lebih tenang. Alya mengambil kursi yang telah di sediakan pengurus UKS lalu duduk menghadap Gina. Sorot matanya menatap Gina iba. "Gin?" panggil Alya lembut sembari merapikan rambut Gina yang terlihat kusut. Gina hanya diam tak menjawab. Mungkin ia masih butuh waktu untuk menenangkan diri dan Alya coba untuk mengerti. Alya melihat Gina yang tengah menarik napas lalu membuangnya pelan. Tak lama, ia menatap Alya dengan tatapan sendu. "Alya," panggil Gina pelan. "Iya, Gina," jawab Alya. "Al, gue capek. Gue gak kuat," suara Gina terdengar bergetar, Alya tahu bahwa Gina akan menangis lagi. Dan, benar saja. Air mata Gina mengalir deras dengan sendirinya. Melihat itu, lantas Alya memeluk Gina lagi mencoba untuk menenangkan sahabatnya itu. "Aku siap dengeri semuanya. Jangan sungkan untuk cerita sama aku," ucap Alya sembari mengelus pundak Gina. Alya melepaskan pelukannya, matanya menatap Gina tak kalah sendu. Ia sangat berharap Gina mau bercerita dengannya,  karena itu akan membuat Gina menjadi lebih baik. Gina kembali meminum tehnya, lalu meletakan di meja. "Orang tua gue mau cerai," kalimat itulah yang keluar dari mulut Gina. Gina tak kuasa, air matanya terus saja mengalir tanpa di minta. Sementara Alya hanya  terdiam. Ia menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Gina. Alya tak mau memotong ucapan Gina, ia akan menunggu Gina selesai bercerita dan setelahnya ia akan mencoba memberi saran untuk sahabatnya itu. "Gue gak kuat, Al. Setiap hari mereka berantam, bukan cuma di belakang gue tapi tepat di depan gue ... Rasanya sakit, Al." Gina menjeda kalimatnya, telapak tangannya menghapus air mata yang mengalir di pipi. "Di depan mata gue terlihat jelas saat Papa melayangkan tangannya tepat di wajah Mama. Dan, Mama yang gak terima lantas mencoba melawan dengan melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya. Gue gak kuat, Al. Pemandangan itu seolah menjadi objek yang wajib gue lihat di setiap harinya. "Bukan cuma itu, Gue juga ngeliat di saat Papa bermesraan dengan wanita lain, Mama juga seperti itu membawa pria tengah malam ... hiks." Gina tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia terus saja menangis meratapi hidupnya yang sangat menyedihkan. Terkadang, ia iri dengan teman-temannya yang hidup bahagia bersama orang tua, tertawa, atau bahkan menangis bersama. Tapi, keluarga Gina tidak! Orang tuanya tertawa sendiri tanpa memikirkan Gina yang rapuh. Gina dibiarkan hidup tanpa adanya kasih sayang dari mereka. Mereka menggagap dengan memenuhi segala kebutuhan Gina itu sudah cukup menunjukan sayang, tanpa mereka sadari Gina tidak memerlukan itu. Ia tidak perlu uang yang selalu dikirim tiap bulan itu, ia tidak perlu barang-barang yang selalu di belikan saat mereka pergi, yang ia butuh hanyalah kasih sayang, kedua orang tua yang akur dan saling mendukung. Hanya itu yang di butuhkannya bukan yang lain. "Kalau gue di kasih pilihan, lebih baik gue gak usah terlahir di dunia ini dari pada gue harus tersiksa kayak sekarang," Gina kesal, marah, jengkel, sedih, semua rasa itu bercampur aduk di hatinya. Orang tua Gina orang yang berada, semua kebutuhan Gina di penuhi, apapun yang mau di beli bisa dia beli. Tetapi tidak dengan kasih sayang orang tua. Ia sama sekali tidak bisa membeli itu mau sebanyak apapun uangnya, ia tetap tidak bisa. Untuk yang kesekian kalinya, Alya memeluk Gina. Melihat Gina yang menangis seperti itu, lantas membuat air mata Alya ikut keluar. Ia seperti merasakan sakit yang di rasakan Gina. Mungkin jika dia menjadi Gina, ia tak  bisa bertahan. Gina itu gadis yang kuat, ia sama sekali tak pernah menunjukkan kesedihannya di depan orang lain, ia selalu tersenyum seolah dia baik-baik saja. Padahal, kenyataannya ia rapuh. Ternyata benar ungkapan yang mengatakan, 'terkadang orang yang tampak ceria di depan kita adalah orang yang benar-benar rapuh.'  Ya, ungkapan itu benar adanya. Dan, sejak saat ini Alya percaya itu. "Gin, mungkin aku gak ngerasai apa yang kamu rasakan, sakit yang kamu tahan selama ini mungkin iya aku gak ngerasai. Tapi aku tahu rapuhnya kamu saat ini," ucap Alya sembari menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya. "Aku juga gak tahu harus ngasih saran seperti apa tapi yang perlu kamu ketahui, gak ada orang tua yang gak sayang sama anaknya. Sebejat apapun orang tua, mereka tetap menyayangi anaknya. Cuma, di sini orang tua kamu sudah di butakan oleh dunia, mereka terus menuruti nafsunya padahal mereka tahu mau sampai kapan pun mereka gak akan puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan. Mereka hanya perlu bersyukur dan mendekatkan diri kepada Allah. "Dan, kamu sebagai anak satu-satunya, harta yang paling berharga di hidup mereka, kamu harus menuntun dan bawa orang tua kamu ke jalan yang benar. Ajak mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah." "Gak bisa, Al. Mereka gak pernah mendengar perkataan gue. Apalagi sekarang mereka udah memutuskan untuk cerai. Mau sekeras apa pun gue menetang perceraian itu, mereka gak akan dengari. Semuanya cuma sia-sia," jelas Gina lagi. "Kalau memang bercerai adalah jalan yang terbaik kamu harus relakan. Percuma juga kan, kalau rumah tangga tetap di pertahanin tapi orang tua kamu sudah gak saling mencintai. Justru itu hanya semakin membuat kamu rapuh, Gin." ucap Alya lagi. Ia mengelus pundak Gina. "Kamu gadis kuat, kamu bisa melewati semuanya. Yang kamu perlukan saat ini, coba dekatkan diri pada Allah, bercerita dengan-Nya di sepertiga malam, meminta pertolongan pada-Nya. Ingat, Allah selalu mengabulkan doa hambanya yang mau bersungguh-sungguh. Dan, dengan itu kamu bisa mengembalikan semuanya atas ijin Allah. Jika memang orang tua mu berjodoh di dunia dan akhirat mereka akan di satukan kembali. Percaya dengan janji-Nya." Dan saat itu juga, Gina langsung memeluk Alya. Ia sangat bersyukur mempunyai sahabat seperti Alya, sahabat yang bersedia menjadi pundak di saat Gina terpuruk, sahabat yang selalu menjadi tempat untuk Gina mengadu. Saat ini yang ia harapkan hanyalah persahabatan antara dirinya dan Alya akan tetap utuh sampai kapan pun karena Guna percaya hanya Alya lah satu-satunya orang yang membawa pengaruh positif di hidupnya. Dan tanpa mereka sadari, seorang pemuda tengah mengintip dari balik pintu dan mendengar semua obrolan mereka. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN