7. Dihukum

1406 Kata
“Perumpamaan persaudaraan kaum muslimin dalam cinta dan kasih sayang di antara mereka adalah seumpama satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit maka mengakibatkan seluruh tubuh menjadi demam dan tidak bisa tidur.”  -(HR Muslim)- ~~~ Zikri menguap lebar, tangannya mengucek-ngucek mata. Kesadarannya yang belum terkumpul penuh membuat penglihatannya sedikit mengabur. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur, melihat jam di sana. Matanya terbelakak ketika layar handphone menunjukkan pukul 07.15. Refleks ia melompat dari tempat tidur, mengambil handuk lalu segera masuk kamar mandi. Tak perlu waktu lama untuknya selesai mandi, hanya 10 menit dan Zikri telah keluar dari kamar mandi dengan seragam lengkap. Ia melihat pantulan dirinya di cermin, "Mandi sebentar aja udah ganteng, gimana lama." ucapnya pada pantulan cermin. Bibirnya menyunggingkan senyum— senyum percaya diri. Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, baru saja satu langkah ia melangkah, telinganya tak sengaja mendengar obrolan orang tuanya di kamar. Zikri mencoba untuk nguping melalui pintu kamar yang terbuka sedikit. "Pa, Angel lebih cocok untuk Zikri. Lagi pula orang tuanya lebih kaya daripada Amel." Zikri mendengar ucapan mamanya. Dari ucapan itu Zikri sudah tahu arah pembicaraan mereka ke mana. "Ma, orang tua Amel itu sahabat papa. Lagi pula mereka juga gak kalah kaya dari orang tua Angel." kini suara Papanya lah yang terdengar. Zikri merapatkan giginya, rahangnya mengeras. Sungguh ia tidak tahan dengan orang tuanya, tanpa berpikir panjang ia langsung memukul pintu tersebut hingga terbuka lebar. Orang tuanya yang masih berdebat, sontak terkejut kaget. Mereka melihat ke sumber suara, dan dengan bersamaan mata keduanya terbelalak melihat kehadiran Zikri dengan mata menusuknya. "Zikri sejak—" "DIAM!" Zikri berteriak kencang, memotong ucapan papanya. Sorot matanya menatap kedua orang tuanya menusuk. "Kapan kalian tidak memikirkan uang? Di mata kalian tidak ada yang lain selain uang? Sadar, Ma, Pa. Kalian sudah tua, seharusnya kalian bertaubat bukan malah memikirkan uang, uang, dan uang. Setengah mati kalian mencari uang, tapi ketika mati nanti uang itu gak akan kalian bawa. Ingat itu." setelah mengucapkan itu, Zikri memutar tubuhnya agar segera pergi. Namun langkahnya terhenti, ada hal yang di lupa. Tanpa berbalik badan ia berkata "Satu lagi, Zikri gak akan mau di jodohkan dengan wanita pilihan kalian. Jadi lupakan semua rencana kalian." selesai. Ia telah mengatakan semuanya tanpa ada yang tertinggal. Setelahnya Zikri langsung pergi dari sana, meninggalkan orang tuanya yang terbujur kaku. *** MOTOR Zikri berhenti tepat di parkiran belakang SMA CADIKA. Sekolahnya memiliki dua tempat parkir, yang pertama di dalam gedung sekolah, dan yang kedua di belakang gedung sekolah. Zikri lebih suka memarkirkan motornya di parkiran belakang, selain jarang di datangi guru, tempat parkir itu juga menjadi pelarian Zikri jika sedang malas masuk kelas. Entah kenapa, hari ini tempat parkir sepi, tidak ada teman-teman Zikri yang biasa menongkrong. Ia melepas helm yang masih melekat di kepalanya lalu meletakkan di jok, tak lupa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Jam menunjukkan pukul 08.05. Zikri berdecak kesal, pantas saja teman-temannya tidak ada, ternyata bel masuk sudah berbunyi. Zikri membuang napas kasar, biasanya jam segini guru sudah masuk kelas apalagi hari ini pelajaran pertama di kelasnya Matematika. Selain pelajaran yang sangat di hindari Zikri, gurunya yang killer juga membuat Zikri semakin malas masuk ke kelas. Kaki jenjang Zikri melangkah menuju pintu rahasia yang berada di belakang sekolah. Pintu itu Zikri dan teman-temannya yang buat. Pintu tersebut tampak seperti tembok, tapi tidak ada yang tahu ternyata itu adalah tripleks yang bisa di buka kapan pun dan oleh siapapun. Membukanya juga tidak susah, cukup di tarik sedikit dan pintu itu akan terbuka lebar. Dan pintu tersebut juga langsung terhubung ke kantin sekolah, yang di mana kantin tersebut tempat Zikri dan teman-temannya nongkrong bahkan dekat dengan UKS. Lokasi yang sangat strategis untuk bolos jam pelajaran Setelah memasuki pintu tersebut, Zikri langsung memanggil Buk Atik-- sang penjaga kantin. "Pagi buk Atik," sapanya. "Eh, nak Zikri, kok baru datang jam segini?" "Iya buk telat. Ohiya, saya titip tas disini ya, Buk mau ke UKS aja." "Nggak masuk kelas?" "Nggak, Buk, gurunya killer." Setelah itu Zikri menyalim tangan Buk Atik lalu pergi dari sana. Untuk orang-orang yang sudah mengenal Zikri ini merupakan suatu hal yang biasa, namun tidak untuk orang-orang yang tidak mengenalnya. Zikri yang terkenal bad boy itu sebenarnya bukanlah bad boy yang sesungguhnya. Di balik sikapnya itu, ia masih memiliki rasa hormat terlebih untuk orang yang lebih tua darinya. Tidak jarang ia menyalami penjaga kantin atau bahkan penjaga sekolah, Zikri sudah menganggap mereka sebagai orang tuanya karena ia bisa mendapatkan apa yang tidak ia dapat dari mama dan papanya sendiri. Dengan santai ia berjalan menyusuri setiap lorong, seolah tidak terjadi apa-apa. "Zikri!" Suara nyaring dari salah seorang guru yang sangat ia kenali membuatnya berhenti melangkahkan kaki. "Ah, iya, Buk." Itu adalah Bu Sri, salah satu guru kesiswaan yang terkenal cerewet di seantero sekolah. Namun, bukan Zikri namanya jika tidak bisa menghadapi semuanya dengan gampang. "Kamu dari mana mau ke mana?" Tanya Bu Sri dengan sedikit sinis. "Itu, Bu, dari kan-- eh, dari kelas mau ke UKS. Perut saya mules, Bu," alibinya. "Mules gimana? Kamu aja santai kek gini, kok." "Beneran, Buk. Aduhh, Tuh kan, Bu kumat lagi." "Kamu sudah izin sama guru piket?" "Emm, belum, buk. Saya cuma izin sama Bu Ami, karena ini jam pelajarannya, Bu." "Bener?!" "Iya, Bu, Benar." "Awas kalau kamu bohong, ya." "Iya, Bu. Tuh kan, Bu, saya udah mau kentut, ni." Lagi-lagi Zikri berbohong. "Is, jorok banget, sih. Yaudah sana pergi." "Oke, Bu, terima kasih, Ibu cantik." Ia menyalim tangan Bu Sri, lalu segera berlari seolah dirinya memang beneran sakit. Setelah di rasa aman, Zikri kembali melanjutkan jalannya dengan santai. Dan tak terasa ia sudah sampai di depan UKS. Dilirknya keadaan sekitar dan setelah dirasa tidak ada yang melihatnya ia mulai masuk. Baru saja ia ingin membuka pintu, suara tangisan dari dalam UKS membua Zikri mengundurkan niatnya itu. Dengan segala penasarannya, ia mencoba mengintip dengan membuka pintu hanya sedikit saja. Disana ia melihat dua orang gadis yang tengah berbincang, salah satu gadis yang berada di atas kasur bercerita sambil menangis. Zikri tidak tahu apa yang mereka ceritakan karena suaranya tidak begitu jelas dan wajah kedua gadis itu pun tidak terlihat lantaran yang satu tertutupi oleh temannya, dan yang satu membelakangi pintu masuk. Zikri terus saja menintip kedua gadis itu, hingga seseorang dari belakangnya menarik bajunya agar sedikit menjauh. "Et dah siapa,ni yang berani narik baju gue." "Apa? Lo ih nguping Lo, ya. Parah banget." Orang itu ternyata Sandi, salah satu sahabat Zikri. "Yeee, mana ada gue nguping. Cuma nggak sengaja dengar doang," alibinya. "Halah, bacot. Trus Lo ngapain di sini? Perasaan Lo gak ada masuk kelas." "Lah Lo yang ngapain di sini, kenapa nggak masuk kelas?" Sandi memukul bahu Zikri sambil cengengesan, ia tahu sahabatnya yang satu ini gila bahkan gilanya melebihi orang sakit jiwa. "Udah lah ayo kita ke kantin aja, laper gue. Bu Ami marah terus kerjaanya jadi gue izin aja ke kamar mandi, kalau di kelas terus bisa pecah kepala gue." "Nah, ini ni, gimana Indonesia mau maju kalo siswanya modelan kek begini." "Bacot Lo, udah ayo." Sandi menarik baju Zikri, lagi. Menyeretnya menuju kantin. Sementara Zikri hanya cengengesan dan mengikuti saja. Baru saja mereka mau masuk ke kantin, suara bariton dari seseorang yang berada di belakang mereka menghentikan keduanya. "Zikri, Sandi, berhenti." Zikri dan Sandi sontak berbalik. "Eh, Pak Jo," ucap keduanya bersamaan sambil sedikit menyengir tidak berdosa. "Kalian bolos jam pelajaran, kan?" "Ha? Eh, nggak kok pak. Kita cuma mau beli pulpen," jawab Zikri terbata-bata. "Nah, iya Pak, benar," sambung Sandi. "Jangan bohong kalian. Kalian pikir saya tidak tahu. Kamu Zikri, kamu tidak ada masuk kelas kan? Dan kamu Sandi, kamu mau bolos pelajaran buk Ami, kan?" "Hah? Emm, enggak, kok, pak." "Jangan berbohong lagi, sekarang ikut saya ke ruang kesiswaan." "Pak jangan, deh. Oke, kita jujur. Iya kita emang mau bolos pelajaran tapi jangan di bawa ke ruang kesiswaan dong, pak. Langsung hukum aja, Pak. Ya, pak ya," Sandi memohon, ia sangat tidak suka berada di ruang kesiswaan karena disana banyak guru dan kalau mereka berdua sudah di bawa ke sana semua guru pasti akan ikut menghasut pak Jo agar memberi hukuman yang berat. "Iya, Pak benar kata Sandi. Udah lah pak, langsung kasih tau saja hukumannya apa." Lanjut Zikri. Pak Jo membuang napas kasar sembari menjewer telinga Sandi dan Zikri. Ia sudah sangat lelah menghukum kedua anak ini, dan anehnya mereka tidak kapok sama sekali. "Aduh, Pak, sakit," ringis keduanya bersamaan. "Sekarang kalian keliling lapangan 50 kali dan setelah itu temui saya di ruang kesiswaan." "Pak kok 50 kali ..." "Oke, 100 kali." "Pak--" "Kerjaakan sekarang atau saya tambah jadi 150 kali." "Eh, jangan dong, Pak... " "Sekarang!" Mendengar suara pak Jo yang semakin tinggi lantas membuat Zikri dan Sandi lari terbirit-b***t. Mereka tahu jika pak Jo sudah marah bisa-bisa hukuman yang akan di berikan malah bertambah berat. "Hitung yang benar dan jangan berbohong, saya awasi kalian dari cctv," ucap pak Jo lagi sedikit berteriak. []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN