PROLOG
"Apa yang kau lakukan di sini? Acara penobatan akan di mulai sebentar lagi."
Pria berambut merah yang mereka sebut dengan Yang Mulia itu mengangkat alisnya saat melihatku mendatangi ruang kerjanya.
"Anda akan lebih sibuk setelah hari ini..." aku melirik seorang pria berambut coklat yang berdiri di belakang pintu yang besar itu. Dia adalah Lucio, asisten Putra Mahkota. Tidak. Putra Mahkota akan menjadi Raja malam ini. Raja Dogge meninggal lima hari yang lalu karena usianya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Derich Albuz Phillipe De Barbaria menjadi Raja di usianya yang masih 23 tahun. Dia memiliki bola mata biru yang sama dengan ayahnya, tapi rambut merahnya adalah turunan dari ibunya, Ratu Verana. Dulu aku bangga menjadi kekasihnya, tapi sekarang tidak lagi. Walaupun pria itu sekarang adalah Raja, aku bukanlah calon ratunya.
Sudah enam tahun aku berada di sisinya sebagai seorang kekasih dan aku baru menyadari betapa bodohnya aku selama ini. Kurasa dia hanya menganggapku sebagai bonekanya. Jangankan tunangan, dia tidak pernah membahas akan menjadikanku pasangan resminya. Apa karena aku hanya anak pungut?
Ilsa Winterson, anak pungut Grand Duke Winterson, penjahat wanita dan penggoda Putra Mahkota. Begitulah mereka menyebutku. Banyak lagi julukan yang orang-orang berikan padaku. Setelah enam tahun kenapa aku baru merasa lelah dan bosan dengan ini semua?
Walaupun begitu, Derich tetap saja menebar pesona dan bergonta-ganti pasangan. Tidak ada cinta di antara kami, melainkan hanya saling mengisi kekosongan. Aku mengenal pria itu sejak usia 10 tahun. Tak terasa sudah 14 tahun!
Dulu kami hanyalah sahabat dan aku tahu kenapa dia masih mempertahankanku. Sejak kecil aku dan adikku, Luca, selalu bersamanya sampai akhirnya dia mengajakku berkencan tanpa ada kejelasan. Aku pun tidak merasa dia membutuhkanku lagi sekarang.
Aku sudah berada di titik jenuhku, apalagi jika berhadapan dengan ibunya, Sang Ratu. Dia tidak menyukaiku. Dia sudah menentukan calon pendamping untuk putra pertamanya itu, tapi Derich menolaknya mentah-mentah. Kurasa pria itu masih ingin bermain-main.
"Lucio tinggalkan kami berdua..."
Perkataan Derich berhasil menggugah lamunanku. Pria yang dipanggil Lucio itu langsung keluar dari ruangan itu. Sekarang hanya tinggal kami berdua. Pria itu mendekatiku dan mengambil wajahku seenaknya. Yah, dia sering melakukannya. Dia mencium bibirku dengan lembut, lalu berkata, "Apa kau mau mengucapkan selamat padaku?"
Dia lalu menciumi leherku, tapi aku hanya diam, tidak berselera. Tangannya melilit pinggangku sesukanya. Aku terpaksa tersenyum padanya. Bagaimana aku mengatakannya? Aku ingin keluar dari istana dan kembali ke Westla, tempat dimana orang tua angkatku tinggal. Aku juga merindukan mereka.
"Ya..."
"Kau bisa mengatakannya nanti, sekarang aku harus bergegas."
Seperti biasa, dia selalu sibuk. Dia hanya menemuiku jika ingin bercinta, lalu pergi lagi. Sudah waktunya seorang ratu mendampinginya dan bukan aku orangnya. Aku juga tidak tertarik dengan gelar itu. Aku hanya ingin hidup damai.
"Yang Mulia... sebentar saja, saya meminta waktu Anda." Aku sedikit menarik tangannya saat dia berniat meninggalkanku. Dia langsung menoleh, menatapku heran.
"Apa kau ingin memberiku hadiah?" Kemudian dia menertawakanku.
"Ya." Jawabku ragu-ragu.
"Yang benar saja." katanya lirih.
"Tapi, bukan berupa benda..." aku menutup mulutku sejenak dan menarik nafas sebelum berbicara lagi.
"Lalu?"
"Yang Mulia... sebentar lagi Anda harus menikah. Jadi, putuslah dengan saya."
Beberapa detik setelah melanjutkan ucapanku, keheningan menghampiri ruangan itu. Dahinya tampak sedikit berkerut. Pria yang sudah rapi memakai setelah putih dan jubah merah tua itu mengamatiku bingung.
"Sudah saatnya Anda mengangkat seorang Ratu..." kataku lagi.
"Apa kau bercanda?" Dia lalu menaikkan sudut bibirnya lagi. Mengejekku sekali lagi.
"Akhiri hubungan ini. Saya lelah disebut sebagai penggoda."
"Siapa yang mengatakannya?" Aku terdiam sejenak. Masalahnya bukan siapa, tapi aku benar-benar ingin pria itu sadar kalau hubungan ini tidak benar.
"Yang Mulia... Ratu memanggil Anda." Tak lama terdengar suara Lucio di balik pintu. Derich melengos dan kemudian berbalik, "Kita bicarakan nanti..." pria itu membuka pintu dan keluar tanpa melihatku lagi.
Aku hanya bisa diam dan menggigit bibirku. Apa-apaan dia? Dia tidak pernah mendengarkanku, tapi kenapa wajahnya tadi sempat berubah jadi kesal? Harusnya dia langsung mengiyakannya. Aku sudah lama menunggu saat seperti ini tiba, setelah ini aku akan kembali ke rumah orang tua angkatku.
***