Setelah tiga hari merada damai di rumah, sebuah buket bunga besar dikirim atas namaku. Buket bunga lily dan freesia yang berwarna kalem. Aku tahu siapa pengirimnya. Derich. Dia tahu bunga kesukaanku. Aku lupa kapan terakhir dia memberikannya tanpa kuminta.
"Ilsa!!" Tapi yang membuatku senang adalah orang yang menerima bunga itu. Dia adalah Erika, satu-satunya sahabat perempuanku. Erika Murret, putri pertama dari Paman Rudoff dan Nyonya Berry. Sama seperti orang tuanya, dia sudah seperti asistenku di rumah ini, tapi aku menganggapnya sebagai sahabat.
Wanita berambut abu-abu itu berlari untuk memelukku. Dia sepertinya lupa sedang memegangi buket yang baru diterimanya dari seorang kurir istana. "Astaga, ini buket untukmu."
Dia melepaskan pelukannya dan menyodorkan buket itu, lalu memelukku lagi, "Astaga, kenapa kau tidak datang lebih cepat?! Aku langsung ke sini begitu tahu kau pulang." Aku membalas senyumnya, tapi begitu melihat bunga yang kupegang, senyum itu lenyap dalam seketika.
"Kau sedang marah pada Yang Mulia?" Dia mulai berbisik padaku. Aku menggeleng, lalu menatapnya.
"Aku putus dengannya."
"Apa?!" Kali ini dia tidak berbisik lagi. Untungnya tidak ada yang mendengarkan kami saat itu. "Kau sudah gila? Dia sekarang seorang Raja."
"Aku tahu. Semua orang juga tahu, tapi aku... bosan dengannya." Aku memberikan bunga itu padanya lagi, lalu berjalan keluar rumah dan dia mengikutiku. Kami selalu berjalan-jalan di taman jika hari cerah.
"Tidak. Aku tahu kau tidak pernah bosan dengannya." Dia terlihat tidak mempercayai kata-kataku.
"Sudah enam tahun, apa kau pikir aku tidak akan bosan?"
"Ibuku sudah menikah berapa dua puluh tahun, tapi dia tidak bosan. Apa... kau punya pria lain?" Dia tiba-tiba menghalangi jalanku. Aku hampir saja terjatuh karena menghindarinya.
"Bukan... masalahnya memang hanya itu. Aku lebih suka hidup bebas seperti ini."
"Tapi dulu kau sangat senang saat pria itu menjemputmu ke istana." Dia mengernyitkan dahinya.
"Kau benar... hati seseorang bisa berubah kapanpun. Itulah yang terjadi padaku." Baru saja aku mau melanjutkan langkahku, wanita polos itu memelukku lagi. Kenapa jadi dia yang sangat sedih?
"Kalau begitu jangan pergi ke sana lagi. Apa kau tahu aku sangat kesepian? Tidak ada Luca, tidak juga kau!"
Aku tertawa mendengarnya saat itu. Dia tidak berubah, selalu bertingkah seperti adikku. Terkadang bijak, tapi kadang juga manja.
"Tapi, apa kau benar baik-baik saja jika Yang Mulia menikah dengan wanita lain?" Tiba-tiba dia melepaskan pelukannya dan memegangi bahuku.
Aku kembali tersenyum, "Tentu saja, kalau tidak, aku tidak akan putus dengannya." Dia pun membalas senyumku. Kuharap dia mempercayaiku kali ini. Aku memang sudah mengatakan putus darinya, tapi dia belum mengatakan apa-apa. Kurasa kami sudah benar-benar tidak dalam hubungan itu lagi. Aku melangkahkan kakiku lagi menuju spot favoritku. Balkon di tengah taman. Walau hanya duduk menikmati angin di sana, itu sangat menenangkan.
"Tunggu, ada kotak di dalamnya!" Tiba-tiba wanita yang berada di sampingku itu setengah berteriak. Aku meliriknya dan melihatnya mengambil sebuah kotak kecil dari dalam buket itu. Tidak. Jangan katakan kalau itu...
"Anting-anting! Astaga, cantik sekali..." benar dugaanku. Sebuah perhiasan. Dan yang paling membuatku kesal adalah warna liontin itu. Merah, itu adalah batu ruby. Derich tahu aku menyukainya karena warnanyq hampir senada dengan warna mataku. Tapi kenapa dia memberikanku sekarang? Apakah tidak jelas aku mengatakan putus dengannya? Kupikir dia mendengarkanku kali ini.
"Ilsa, apa benar kau putus dengan Yang Mulia?" Erika menanyakannya lagi sambil terus menatap kotak kecil berwarna hitam itu.
"Ya... mungkin itu hadiah terakhir yang ingin diberikannya padaku." Aku memasang senyum canggung padanya.
"Tapi di sini tertulis, apa kau menikmati waktumu di sana? Aku akan mengirim kereta untuk menjemputmu besok..."
Apa? Erika dan aku saling menatap hampir bersamaan. Aku langsung merebut kotak yang dipegangnya itu untuk melihat kebenaran ucapannya. Astaga, benar saja, dia menyelipkan tulisan di dalam kotak itu. Sial. Apa maksudnya dengan menjemputku? Bukankah ayahku sudah menulis surat untuknya? Apa yang dia pikirkan? Apa dia masih ingin penjelasan dariku?
"Ilsa, jelaskan padaku." Tatapan Erika kini menjadi dingin. Aku tahu dia sangat penasaran sekarang dan juga kesal karena aku telah berbohong padanya.
"Aku... begini... aku benar-benar mengatakannya, aku ingin putus, tapi saat itu dia sedang sibuk dan dia belum menjawabnya..." aku berusaha mengatakan sesantai mungkin, tapi rasa cemas muncul begitu saja.
"Kau sudah gila?! Sebaiknya kau bicarakan baik-baik dengan Yang Mulia. Kalian belum putus seutuhnya..."
Kali ini aku terdiam mendengar ucapan Erika. Apa aku harus bertemu dengannya lagi? Kupikir ucapanku waktu itu sudah lebih dari cukup. Derich, apa dia pikir aku sedang bermain-main?
***
Seperti yang disarankan Erika, aku tidak membalas suratnya, tapi menaiki kereta kuda berwarna kuning keemasan yang menjemputku pagi itu. Aku hanya berpamitan dengan ibuku karena ayahku sudah pergi ke ibukota semalam, tapi aku sudah bilang padanya. Mungkin aku akan bertemu dengannya di istana. Tunggu, apa Derich juga memanggil ayahku? Apa karena surat itu?
Aku harap tidak berlama-lama di istana. Tiga hari di Westla jauh dari kata cukup untukku. Awas saja kalau sampai di sana dia sangat sibuk dan tidak bisa berbicara denganku. Dia selalu begitu sebelumnya.
"Katakan pada saya jika membutuhkan sesuatu, Lady." Riel yang duduk di depanku tiba-tiba menundukkan kepalanya. Dia merupakan salah satu pengawal istana. Aku sendiri bingung kenapa dia juga ikut menjemputku, biasanya hanya supir kereta. Aku lalu mengangguk padanya.
"Apa Yang Mulia memerintahkanmu begitu?" Aku menatapnya tanpa sebuah senyuman.
"Mulai sekarang saya akan menemani Anda kemana pun." Katanya sambil tersenyum padaku. Apa aku tidak salah dengar? Mulai sekarang? Tidak. Selanjutnya aku tidak berada di istana lagi. Ini tidak benar. Aku harus memberi peringatan pada Derich kalau aku serius dengan ucapanku waktu itu.
Aku memilih diam sampai kereta kuda itu berhenti di tempat paling megah di Barbaria itu. Istana Raja, alias tempat dimana aku tinggal selama 4 tahun terakhir ini. Aku menarik nafas sebelum menapakkan kakiku di halaman istana. Dengan hati-hati Riel mengiringiku berjalan menuju pintu masuk istana.
Beberapa detik kemudian aku berhenti saat melihat dua wanita dengan rambut tergulung rapi sedang mengobrol di samping kereta kuda yang ada di sana. Itu adalah Putri Briana. Aku lalu berbelok untuk sekedar menyapa wanita angkuh itu. Dia tetaplah seorang putri, aku tidak bisa mengabaikannya. Tapi aku lebih penasaran dengan apa yang dibicarakannya, pasalnya lawan bicaranya adalah Diorora Ronan, putri Duke Ronan yang juga merupakan calon pendamping Derich yang dipilih sendiri oleh Ratu.
Dua wanita itu pasti tidak senang jika melihatku ada di istana. Kabarnya Briana sengaja berteman dengannya karena tidak menyukaiku. Aku membentamg senyum di wajahku saat melihat mereka.
"Lady, sebaiknya..." ucapan Riel terhenti saat aku mengangkat tanganku mengisyaratnya untuk diam. Aku bukan tipe wanita yang takut dengan siapapun, bahkan aku lebih baik menghadapi musuh-musuhku dengan senyuman. Aku tidak mau bersembunyi di balik Derich. Mungkin itu juga yang menjadikan pria itu kagum padaku dulu.
"Yah, apa salahnya jika mencobanya? Satu-satunya harapanku adalah Grand Duke... walaupun sudah menua, sosoknya itu sangat misterius." Aku mulai memelankan langkahku saat mendengar wanita berambut merah itu mengatakan sesuatu tentang ayahku. Jadi dia membicarakan ayahku?
"Tapi, Yang benar saja, Putri... Apa yang orang-orang katakan nanti?" wanita berambut pirang yang ada di depannya terlihat ragu-ragu. Aku masih diam memperhatikan mereka yang belum menyadari keberadaanku itu.
"Apa kau tidak dengar, Grand Duchess itu penyakitan? Paling tidak aku harus bersabar jika ingin menjadi seorang Grand Duchess..."
Apa katanya? Dia benar-benar mendekati ayahku? Menjadi Grand Duchess? Ibuku penyakitan? Wanita sialan itu?! Tiba-tiba tanganku gemetaran mendengarnya. Telingaku yang panas, tapi dadaku yang terasa sesak. Tanpa berpikir lagi aku berjalan hampir berlari ke arah wanita itu.
"Tapi dibanding itu sebenarnya aku memang tertarik padanya. Dia terlihat begitu gagah dengan topeng-"
"Wanita jalang! Apa ibumu tidak pernah mengajarkanmu sopan santun?!!" Tanpa sadar tanganku sudah menarik rambut indahnya dengan sangat kasar.
***