CHAPTER LIMA

1413 Kata
“Kamu cuma pergi tiga hari?” tanya Ivi sambil memasukkan kemeja- kemeja Ibam ke dalam ransel. Pria yang tengah duduk di atas ranjang itu menatap Ivi lekat- lekat. “Iya, kamu jangan kangen ya.” Kata Ibam sambil terkekeh pelan. Ivi mendesis, “jangan kayak ABG deh. Jijik.” Kata Ivi yang langsung membuat Ibam tertawa lebar. “Kamu tidur di rumah mama aja kalau kesepian.” ujar Ibam yang langsung membuat Ivi mengangguk pelan. Wanita itu memastikan kembali isi ransel yang akan suaminya bawa dan memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah itu ia menutup resleting ransel berwarna hitam itu. Ivi berdiri dari duduknya dan melihat Ibam melebarkan kedua tangannya. Ivi berdecak dan malah pergi menuju meja riasnya. “Ish… kamu tiga hari nggak bakal ketemu aku, lho, Vi.” Kata Ibam. Ia menatap istrinya tersenyum dari pantulan cermin di meja rias wanita itu. Wanita menuangkan isi botol ke kapas dan mengusapkan ke wajahnya. “Kamu tuh udah cantik, Vi. Gak usah pake begituan.” Kata Ibam, “sini peluk aku buruan.” Ibam kembali membuka lengannya. Ivi bergidik setiap kali Ibam menggodanya dengan kata- kata romantis atau memujinya secara berlebihan. Rasanya semuanya terdengar aneh saat keluar dari mulut Ibam yang dulu sangat cuek. Pernikahan memang sepertinya mengubah pria itu. Dann setelah lebih dari lima tahun, ia sepertinya tak juga terbiasa. “Cuma tiga hari, Bam. Bukan tiga tahun.” Kata Ivi sambil mengoleskan serangkaian skincare ke wajahnya perlahan. “Tiga hari itu bagi aku kayak tiga tahun.” Keluh Ibam yang membuat sebelah alis Ivi terangkat. Melihat istrinya tak juga beranjak dari tempar duduknya membuat Ibam akhirnya turun dari ranjang dan mengambil kursi lain dan duduk di belakang wanita itu. Ibam mengambil sisir yang ada di atas meja dan menyisir rambut Ivi yang panjangnya sudah melewati bahu. “Ayo pergi liburan awal bulan besok.” Ajak Ibam, “kita udah lama nggak liburan.” Ivi menatap Ibam dari pantulan cermin di depannya. “ke mana?” tanyan wanita itu. Ibam tampak berpikir, sebelah tangannya masih terus menyisir rambut panjang istrinya. “Lombok, gimana?” Ivi membalik tubuhnya hingga akhirnya duduk berhadapan dengan Ibam yang masih menyunggingkan senyum. “Kenapa harus bulan besok?” tanya Ivi. “Bulan besok kan, bonus kamu turun.” Kata Ibam sambil terkekeh pelan. Ivi berdecak lalu menatap suaminya yang juga tengah menatapnya. “Kita udah lama nggak liburan, Vi. Kalau karyawan baru masuk awal bulan ini, kayaknya aku bisa minta cuti sama pak Arsan.” Jelas Ibam. “Aku lagi sibuk- sibuknya. Nggak akan boleh ambil cuti.” Ivi berdiri lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Ibam berdecak lalu mengikuti istrinya ke atas ranjang. “Pokoknya nanti aku pesen tiketnya. Bisa nggak bisa, ya, harus bisa.” Kata Ibam sambil merebahkan tubuhnya di samping Istrinya. “Jangan seenaknya deh.” Keluh Ivi, “tunggu aku ambil cuti dulu, baru pesan tiket.” “Kalau kayak gitu, kamu pasti ngulur- ngulur terus.” Kata Ibam, “kamu kan lebih sayang sama kerjaan kamu dibanding aku.” Ivi melihat bibir Ibam yang mengerucut sebal. Ia memiringkan tubuhnya hingga menghadap pria itu. “gimana kalau kita ke Singapur aja.” Kata Ivi. “Nggak mau, aku mau lihat pantai. Aku mau nginep di Gili air.” Kata Ibam tak mau kalah. Ia tahu ini akan kembali menjadi perdebatan sengit antara keduanya. “Di Singapur juga ada pantai, Bam.” Ujar Ivi. “Tapi aku maunya ke Lombok.” Ibam menatap langit- langit kamar dan bersidekap. Jelas tak ingin mengalah. “Yaudah pergi aja sendiri.” ujar Ivi tak mau mengalah. Ibam mengambil ponselnya di atas nakas lalu berbaring membelakangi Ivi. Suara ponsel berdenting, Ivi yang sudah mulai memejamkan matanya kembali membuka mata dan meraih ponselnya yang ia taruh di atas nakas di sebelahnya. “Ibaaaaam.” Ibam kembali membalik badannya menghadap Ivi dengan senyum kemenangan. Ivi melotot padanya saat mengetahu bahwa pria itu sudah memesan tiket atas nama mereka berdua untuk tujuan Lombok di minggu terakhir bulan depan. *** Ibam : Aku baru sampai. Ivi membuka menu chatting lalu membaca pesan yang dikirmkan Ibam. Belum sempat ia membalas, pesan lainnya masuk. Ibam : Jangan nakal ya, cantik. Jika Ivi sedang minum, ia pasti sudah menyemburkan air di dalam mulutnya saat membaca pesan Ibam yang membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi mau tak mau ia tersenyum geli. Tak membayangkan jika kalimat itu langsung dari mulut suaminya. Ivi : Ok. Pesan balasan sampai tak lama seelah ia membalas. Ibam : Dih, gitu doang? Singkat banget. Ivi : Ok Ok Ok Ok Ok Ibam berdecak di tempatnya mendapati pesan balasan istrinya yang tak pernah bisa diajak romantis. Seorang panitia menyambutnya di sebuah hotel tempat training di adakan. “Ini jadwalnya, Mas. Sesi mas Ibam abis dzuhur ya.” Kata pemuda itu sambil memberi kunci pada Ibam dan mempersilakan pria itu untuk menaruh barang- barangnya di dalam kamar. *** Ibam menatap berkas- berkas materi traning di atas meja, di sebelahnya secangkir kopi tersaji. Ia masih berada di restoran setelah menyantap makan malam. Disaat semua teman- temannya sudah kembali ke kamar, pria itu memilih untuk tetap di restoran untuk menikmati secangkir kopi. Segerombolan anak- anak muda masuk ke dalam restoran untuk makan malam setelah menyelesaikan training untuk karyawan baru. Ibam menatap mereka sekilas lalu mengambil ponselnya di atas meja dan menguhungi satu nomor. Butuh lebih dari tiga nada dering hingga akhirnya panggilan itu terjawab. “Kenapa?” tanya Ivi ujung sambungan. “Udah pulang?” tanyanya lalu menyesap kopinya pelan. “Belum.” “Udah jam berapa ini?” “Baru jam setengah tujuh.” “Jam pulang itu jam setengah enam. Ngapain jam segini masih di kantor.” “Ish… bawel deh.” Keluh Ivi diujung sambungan. Ibam dan Ivi berbicara selama kurang lebih setengah jam hingga akhirnya Ivi mengakhiri pembicaraan karena akan membereskan pekerjaannya lalu pulang. Ibam menutup sambungan telepon tepat saat seorang gadis berkemeja putih dan rok hitam berdiri di depannya. “Mas, boleh numpang duduk sini, nggak? Kursi yang lain udah penuh.” Kata gadis itu dengan sebuah nampan di tangannya. “Silahkan.” Ibam menyingkirkan modul materinya dan menaruhnya di kursi samping, membiarkan gadis itu menaruh nampan di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis itu memulai suapan pertama. Ibam sendiri sibuk dengan game di ponselnya. Gadis berambut panjang itu beberapa kali melirik Ibam yang tampak fokus pada poselnya. Sesekali, pria itu menyesap kopi dalam cangkirnya. Gadis itu menyelesaikan makannya dan meneguk air dalam gelasnya hingga tersisa setengah. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dan menatap jam yang sudah menunjukkan hampir jam delapan malam. Gadis itu berdehem lalu berujar, “makasih, ya, mas.” Katanya. Ibam menengadahkan kepalanya, ia mengulas senyum tipis lalu mengangguk dan membiarkan gadis itu pergi dari hadapannya. Gadis itu masih sempat menoleh ke arah Ibam sesaat sebelum keluar dari restoran. *** Ivi keluar dari kamar mandi dan menatap kamarnya yang kosong. Ia menghela napas, benar kata suaminya, ia akan kesepian saat pria itu meninggalkannya. Ia seharusnya mengikuti perintah pria itu untuk menginap di rumah orangtuanya. Wanita itu keluar dari kamar dan pergi menuju dapur. Tangannya membuka kulkas dan mengambil sebuah pir dari dalamnya. Setelah mencuci buah itu dengan air bersih, ia menggigit buah itu dan duduk di sofa ruang tamu. Sebelah tangannya mengambil remote dan menyalakan televisi. Ia menekan tombol di remot untuk mencari drama melalui layanan streaming. Ia baru hendak mulai menonton saat ponselnya kembali berbunyi. Nama Ibam ada di layar. “Udah sampai rumah?” tanya pria itu setelah Ivi menjawab salamnya. “Udah, baru selesai mandi.” Jawab Ivi. Ia memutuskan untuk mematikan televisi dan masuk ke kamarnya. “Ish, udah dibilang kabarin kalau udah sampai rumah.” Kata Ibam. Ivi tersenyum diujung sambungan lalu merebahkan dirinya di atas ranjang. “Kamu di rumah?” tanya Ibam. “Iya.” “Nggak nginep di rumah mama?” tanya Ibam lagi. “Nggak.” “Memang nggak sepi nggak ada aku?” tanya Ibam dengan nada menggoda. “Kalau aku bilang kesepian, gimana? Kamu mau pulang?” tanya Ivi. “Bisa sih, besok jadwal trainingku agak siang kok, aku bisa pulang malam ini kalau kamu kangen banget.” Jawab Ibam sambil tertawa, tapi ia tahu bahwa istrinya tak akan menyuruhnya pulang hanya karena rindu. Wanita itu bukan tipe wanita yang akan dengan mudah menyatakan perasaanya. Ibam menemani Ivi hingga wanita itu terlelap. Setelah memastikan bahwa sudah tak ada suara di ujung sambungan dan meyakinkan diri bahwa wanita itu sudah terlelap. Ibam mematikan panggilan. Ia menatap langit- langit kamarnya hingga akhirnya ikut terlelap. TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN