CHAPTER ENAM

1609 Kata
Ivi melesak di balik kemudi dan menaruh tasnya di kursi sebelahnya. Ia mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya dan kembali keluar dari mobil untuk menutup dan mengunci gerbang.            “Pagi mbak, Ivi. Wah udah rapi pagi- pagi. Mas Ibamnya ke mana?” tanya seorang wanita paruh baya yang berdiri tak jauh dari rumahnya. Wanita itu tengah berkumpul dengan ibu- ibu lain dan mengelilingi gerobak tukang sayur.            “Iya Bu, Ibamnya lagi ada kerjaan diluar kota.” Jawab Ivi sambil tersenyum ramah.            “Segar banget, ya, lihat mbak Ivi udah cantik pagi- pagi begini.” Kata salah satu wanita lainnya yang juga ada di sana, “kita mah masih pada dasteran gini.” Lanjutnya.            Ivi tersenyum kaku lalu memilih pamit dengan ramah untuk kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan roda empat itu menuju kantor.            “Mas Ibam itu sabar banget, ya. Nikah udah lama tapi belum punya anak juga.” Kata salah satu ibu- ibu berdaster batik yang sedang memilih- milih sayuran di gerobak.            “Iya, lho. Mbak Ivi tuh beruntung dapet suami seperti mas Ibam. Coba kalau laki- laki lain. Apa nggak ditinggalin tuh.” Kata salah satu yang lainnya.            “Hust… kalau ngomong mbok yo dijaga. Wong nikah juga baru lima tahun lebih, masih pada muda, mungkin memang mereka ndak mau punya momongan dulu.” Seorang ibu berjilbab cokelat menjadi peredam.            “Halah, nggak mungkin, orang yang saya dengar tuh ya, mas Ibam sama Mbak Ivi sama- sama anak tunggal, lho. Nggak mungkin mereka nunda punya momongan.” Salah satu ibu yang rambutnya di cepol berbicara. “lima tahun yo udah lama, lho. Saya lima tahun aja udah punya dua anak.”            “Anak itu yang kasih Tuhan, lho. Kita ndak boleh menghakimi pasangan yang belum punya anak. Itu tandanya memang Tuhan belum kasih.”            Kerumunan ibu- ibu itu selalu menyelipkan gossip di antara kegiatan berbelanjanya. Mereka bisa menggosipkan semua penghuni komplek dan menghabiskan waktu lebih dari satu jam dengan kedok berbelanja. Mereka saling berbagi gosip yang mereka ketahui hingga menjadi konsumsi semua yang mengelilingi gerobak sayur itu. Mereka melakukannya setiap hari dan tidak pernah bosan.            Ivi sendiri tak terlalu suka bergaul dengan ibu- ibu komplek itu. Selain dirinya tak punya banyak waktu seperti yang lainnya, ia tahu bahwa dirinya juga sering menjadi bahan gosip ibu- ibu itu. Ivi pernah mendengar sendiri bagaimana ibu- ibu mempertanyakan kondisinya yang sudah lama menikah namun belum juga memiliki anak.            Saat itu, Ivi berbelanja di tukang sayur lantaran belum sempat ke supermarket. Ibu- ibu itu membrondong pertanyaan kenapa dirinya belum hamil padahal saat itu baru memasuki tahun keduanya menikah. Seorang ibu bertanya apakah dirinya menunda memiliki momongam. Dan ibu lainnya memberikan nasihat- nasihat untuk Ivi agar cepat hamil. Mulai dari pergi ke tukang pijat, meminum jamu, sampai hal- hal yang baginya tak masuk akal. Ivi hanya menjawab dengan mengulas senyum tipis. Semua itu keluar dari mulut ibu- ibu yang sudah memiliki satu anak bahkan lebih. Kalimat yang mungkin biasa bagi mereka namun terasa menyakitkan baginya.            Karena itu, mood Ivi hancur seharian. Yang ia lakukan hanya mengurung diri di kamar dan memarahi Ibam jika pria itu bersikeras bertanya ada apa dengannya. Wanita itu sedih dan ingin menyimpan semuanya sendiri. Namun, Ibam tak pernah ingin membiarakn istrinya menanggung semua masalah sendirian. Pria itu memeluk Ivi hingga akhirnya wanita itu tak sanggup lagi dan menangis dalan pelukanya. Wanita itu menceritakan apa yang terjadi padanya.            Ivi terkadang merasa bahwa mungkin ia terlalu sensitif, tapi terkadang ia juga merasa mereka semua keterlaluan. Setelah sekian lama, ia bahkan masih belum juga terbiasa dengan semua pembicaraan mengenai kehamilan yang tak kunjung datang padanya.            Ivi memarkirkan mobilnya di pelataran kantor. Ia keluar dari mobil dan berjalan menuju lobi kantornya. Senyumnya terlontar pada wanita yang berada di balik meja resepsionis yang menyapanya saat ia masuk melalui pintu kaca itu. Ia berdiri di depan lift dan menunggu pintu besi itu terbuka di depannya.            Ia masuk ke dalam lift dan memencet tombol lantainya dan menunggu hingga kotak besi itu membawanya ke lantai tujuan dan terbuka. Ivi menyapa teman- temannya yang sudah datang lebih dahulu lalu masuk ke dalam ruangannya.            Ia duduk di kursinya dan meneguk air mineral yang sudah tersedia di mejanya. Setelah menghabiskan setengah, ia menyalakan komputernya.              Tak ada yang istimewa dengan hari- hari wanita itu. Ia berkutat dengan sistem, laporan, dan berkas- berkas keuangan yang lainnya. Kepalanya menengadah saat pintunya terdengar diketuk dan tak lama wajah Yoga, rekan se timnya menyembul di balik pintu.            “Daftar piutang yang di sistem udah update ya, Vi.” Kata pria itu. Ivi mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Wajah pria itu menghilang bersamaan dengan pintunya yang kembali ditutup rapat. ***            Ibam masih menunggu di lobi hotel bersama dengan teman- teman satu kantornya yang juga akan melanjutkan pelatihan hari ini. Calon- calon karyawan baru sudah masuk ke ruang pelatihan masing- masing. Tahun ini, perusahaannya memang membuka lowongan yang cukup banyak untuk ditempatkan di kantor pusat dan di kantor proyek.            Ibam melirik jam saat salah satu temannya mengajaknya untuk pergi ke ruang pelatihan. Pria itu mengangguk lalu berdiri dan mengekori teman- temannya yang lain. Ia melewati lorong yang ruangannya sudah penuh. Ibam terus berjalan, tak menyadari sepasang mata menatap ke arahnya saat Ibam melewati satu ruangan.            Ivi : Baru mau cari makan siang sama Jeni.            Ibam membaca pesan dari Ivi saat seorang trainer baru saja keluar dari ruangannya. Pria itu membereskan modul di mejanya dan menentengnya di sebelah tangan lalu keluar dari ruangan itu.            Ibam yang melihat ruang makan tampak ramai siang itu memutuskan untuk pergi keluar hotel dan masuk ke salah satu restoran padang yang berada tepat di depan hotel. Ibam memesan lalu menempati satu meja yang kosong.            Sebuah piring disajikan di depannya tepat saat seorang gadis masuk ke dalam tempat makan itu dan mengulas senyum pada Ibam yang hanya Ibam balas dengan lengkungan tipis.      Pria itu memulai kegiatan makannya hingga tiba- tiba gadis itu berdiri di depannya. Ibam mendongak dan melihat gadis itu berujar,            “Boleh gabung nggak, Mas?” tanya gadis itu pelan.            Ibam melirik sekeliling, masih ada beberapa meja kosong. Ia menatap gadis itu lalu berujar. “Boleh.” Ibam mempersilakan. “kamu calon karyawan yang lagi training kan?” Ibam ingat bahwa gadis itu adalah gadis yang kemarin juga duduk di depannya saat semua meja terisi penuh.            “Iya, mas.” Jawab gadis itu. Ibam melanjutkan makannya hingga sebuah piring disajikan di depan gadis itu dan keduanya makan dalam diam. Ibam menyelesaikan makannya dan langsung meneguk teh manisnya dan pergi dari hadapan gadis itu.            Gadis itu mengangguk sambil tersenyum dan memutar kepalanya untuk melihat punggung Ibam keluar melalui pintu kaca dan menghilang dari pandangannya.             ***            “Sudah dengar gosip baru belum?” Tyo berbisik pada Ivi, Jeni dan Yoga yang mengeliling meja yang sama dengannya.            “Gosip apa?” tanya Jeni dengan nada penasaran, sementara Yoga dan Ivi tampak menatapnya dengan rasa yang sama.            “Gue dengar- dengar, ya, Mia ada affair sama Pak Doni.” Jawabnya dengan nada berbisik. Ketiga pasang mata itu membulat, Jeni bahkan menutup mulut saking tidak percayanya.            “Cuma gosip kan? Belum tentu benar.” Kata Yoga.            “Sudah banyak staff yang sering pergokin mereka pulang bareng.” Kata Tyo dengan nada semangat.            “Pantesan, ya, gue pernah ngegepin Mia ada di ruangan Pak Doni waktu gue meeting sampai malam. Mia kan di bagian yang jarang berhubungan langsung sama Pak Doni.” Jeni bercerita.            “Nah, kan.” Kata Tyo, “gak salah lagi, kan. Parah yaa, padahal Pak Doni kan udah punya istri, anaknya udah dua lagi.”            “Memang jaman sekarang perempuan tuh nakutin banget. Banyak yang pada kecantol sama laki- laki beristri.” Kata Jeni, “padahal yang lajang masih banyak.”            “Ya salah lakinya juga kali. Kalau nggak dibukain pintu kan, tamunya juga nggak bakal masuk.” Ivi memberitahu pandangannya.            “Iya benar juga sih. Dua- dua salah dan nggak tahu diri.” Kata Tyo.            Empat mangkok berisi mie ayam disajikan di depan mereka. Mereka menjeda pembicaraan dan sibuk memasukkan sambal, kecap dan saos ke dalam mangkok masing- masing.            “Padahal istrinya Pak Doni cantik lho, wanita karir sukses, nggak ngerti bisa- bisanya dia selingkuh.” Kata Jeni setelah berhasil menelan sendokan pertama.            “Iya benar, gue pernah ketemu pas kondangan ke nikahan Putri. Cantik banget istrinya.” Timpal Tyo. “emang dari mukanya pak Doni, mah, emang udah kelihatan, kegatelan.” Lanjut Tyo yang langsung disambut kekehan pelan teman- temannya. Laki- laki itu tampak sangat jengkel.            “Pokoknya jaman sekarang kudu pinter- pinter jagain suami. Amit- amit deh kalau sampai diselingkuhin.” Kata Jeni.            Ivi tak memberikan tanggapan apapun. Ia fokus pada makanannya dan mendegar semua komentar- komentar mengenai hubungan terlarang staff tender dengan manager general affair di perusahaannya dari mulut Tyo dan Jeni.            Gosip- gosip seperti itu tak pernah menggugah minat Ivi. Ia tak pernah mau ikut berkomentar karena ia tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ia tak pernah mau mengambil kesimpulan sendiri dan meghakimi, meski ia tahu bahwa apa yang dilakukan keduanya jelas salah. Ia setuju bahwa perselingkuhan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun.            Bukan sekali- dua kali skandal perselingkuhan terjadi di perusahaannya. Yang paling dia ingat adalah saat ia belum lama masuk ke perusahaan itu. Ivi melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa seorang istri dari salah satu karyawan di sana mendatangi si selingkuhan dan melabrak langsung di kantor.            Wanita itu memaki si selingkuhan hingga menjadi tontonan semua karyawan di perusahaan itu. Wanita itu menyerukkan caci- maki dan sumpah serapah pada selingkuhan suaminya yang hanya diam sambil menunduk. Suaminya sendiri berusaha menenangkan istrinya yang sudah meledak- ledak hingga akhirnya berhasil membawa istrinya keluar dari kantor. Setelah itu keduanya dipecat dari perusahaan dan kabar terakhir yang ia dengar, pria itu menceraikan istrinya dan menikahi selingkuhannya.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN