CHAPTER TUJUH

2062 Kata
Seorang wanita cantik yang duduk di belakang meja resepsionis menyapa Ibam yang baru saja masuk melalui pintu kaca di kantor itu.                    “Tumben, Mas Ibam, baru keliatan.” Kata gadis itu.            “Iya.” Pria itu mengulas senyum ramah lalu duduk di sofa yang ada di sana.            Dea, sang resepsionis membereskan surat-surat di meja sementara Ibam menunggu Ivi yang katanya sedang meeting.            “Mas Ibam...” seorang pria yang baru saja keluar dari lift menghampiri Ibam yang langsung berdecak.            “Ke mana aja. Kok lama nggak kelihatan.” Pria berkemeja merah muda itu melesak duduk di samping Ibam.            “Iya kemarin abis ada pelatihan ke luar kota.” Ibam menggeser duduknya hingga mencapai ujung sofa.            “Pantesan aja Ivi bawa mobil sendiri.” Pria bernama Tyo yang senyumnya selalu mengembang setiap melihat Ibam ikut mengeser duduknya hingga bahu keduanya bersentuhan.            “Ivinya masih meeting, kita ngopi di luar dulu, yuk.” Ajak Tyo dengan nada menggoda. Ibam bergidik lalu menggeleng pelan.            “Nggak deh, gue habis ngopi tadi.” Jawab Ibam.            “Itu kan tadi, sekarangkan sama gue.” Tyo mengusap paha Ibam yang langsung membuat bulu kuduk pria itu berdiri.            Dea terkikik dibalik meja resepsionis. Bukan hal baru jika melihat Tyo, pria yang terkenal agak melambai menggoda Ibam yang selalu saja ketakutan tiap mendengar Tyo memanggil namanya dan berjalan mendekatinya.            Mata Ibam menyalang saat melihat Ivi keluar dari lift. Pria itu langsung berdiri dan berdecak pada Ivi yang baru saja sampai di depannya.            “Udah dibilang, jangan godain suami gue.” Kata Ivi pada Tyo yang langsung tertawa geli.            “Siapa yang godain, yang ada Ibam tuh yang godain gue.” Jawab Tyo. Mata Ibam membulat, membuat Ivi terkekeh.             Ibam menggandeng sebelah tangan Ivi keluar dari kantor setelah wanita itu mengucapkan salam pada Tyo dan Dea yang masih ada di meja resepsionis.            “Sebel banget aku sama Tyo.” Keluh Ibam saat dirinya melesak di belakang kemudi. “masa dia naruh tangannya di paha aku.” Lanjut Ibam yang justru membuat Ivi terkekeh geli.            “Kamu tuh makanya biasa aja kalau lihat Tyo. Biar nggak digodain. Dia itu sengaja karena tahu kamu takut gitu.”            “Ya gimana mau biasa aja kalau dianya aja agresif gitu.” Pria itu menyalakan mesin mobil dan membuat roda mobil berputar ke luar dari kawasan perkantoran istrinya.            “Gimana pelatihannya?” tanya wanita itu saat mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah.            “Ya gitu. Aku kangen sama kamu terus tiap malam.” Jawab pria itu sambil mengerling kepada Ivi yang justru mencibir. Ibam memang langsung menjemput wanita itu di kantornya setelah kembali dari pelatihannya.            Mobil Ibam berhenti di depan gerbang rumah mereka. Ivi bersidekap lalu menoleh ke arah Ibam lalu berujar, “tiga hari ini aku udah buka gerbang. Hari ini giliran kamu, lah.”            “Perhitungan banget, sih.” Keluh Ibam sambil membuka pintu mobil dan keluar untuk membuka gerbang. Ivi tersenyum puas hingga Ibam kembali dan memasukkan mobil mereka ke garasi.            Keduanya langsung masuk ke dalam kamar. Ivi bergegas ke kamar mandi sementara Ibam menjatuhkan dirinya di atas ranjang.            Kurang dari setengah jam, Ivi keluar dari kamar mandi dan melihat mata suaminya sudah terpejam. Ivi mendekat lalu menatap wajah lelah suaminya.            “Kamu nggak mandi, Bam.” Tanya Ivi dengan nada pelan sambil mengusap wajah suaminya pelan. Dua buah kelopak mata Ibam terbuka. Ia menarik tangan Ivi hingga wanita itu jatuh ke sisi kosong di sebelahnya.            “Aku udah mandi sebelum pulang tadi.” Jawab Ibam.            “Emangnya nggak gerah lagi?”            “Aku naik mobil Vi, bukan truk.” Kata-kata Ibam membuat Ivi terkekeh pelan.            “Vi, minggu besok ada arisan keluarga di rumah papa.” Kata Ibam pelan, ia melihat air muka istrinya langsung berubah. “tapi kita nggak perlu datang, kok. Aku udah bilang sama papa kalau kemungkinan nggak bisa datang.” Kata Ibam langsung.            Ivi menggeleng pelan, “Nggak apa-apa, Bam. Kita datang aja. Kasihan Bunda kalau nggak ada yang bantu masak.” Kata Ivi sambil tersenyum. Ibam tahu apa yang selalu dirasakan Ivi saat berkumpul di semua acara keluarga. Wanita itu tak nyaman, wanita itu tak nyaman karena kerap diberondong pertanyaan kapan hamil dan punya anak. Wanita itu tak nyaman saat semua orang berspekulasi tentang kenapa Ivi dan Ibam belum juga punya momongan. Yang tahu penyakit Ivi memang hanya kedua orangtuanya dan orangtua Ivi. Ibam tak ingin ada yang tahu demi melindungi istrinya dari omongan-omongan yang akan menyudutkan istrinya. Ia tahu tak semua orang terbuka mengenai apa yang dialami wanita itu. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Ibam. “Nggak apa-apa, lah. Lagian kita udah jarang kumpul sama keluarga besar kamu.” Kata Ivi sambil tersenyum. Ibam menatap senyum Ivi. Senyum yang selalu berhasil menyembunyikan perasaan wanita itu. Pria itu merengkuh tubuh istrinya dan memeluknya dengan erat. Ivi tak tahu sejak kapan ia mulai tak nyaman berada di acara-acara keluarga besar. Sepertinya setelah mengetahui bahwa dirinya sulit hamil. Ivi tahu bahwa vonis dokter mengambil sebagian semangat hidupnya. Vonis dokter sempat membuatnya tertekan dan tak ingin bertemu siapapun. Sejak saat itu, Ivi merasa bahwa ia tak seperti wanita-wanita lain. Ivi merasa bahwa dirinya tak sempurna sebagai seorang wanita. Ibam lah yang akhirnya membangkitkan kembali rasa percaya dirinya. Ibam selalu bilang bahwa seorang perempuan tetap berharga meski tak bisa mengandung sekalipun. Nilai seorang perempuan tak hanya sebatas bisa mengandung atau tidak. Ibam selalu bilang bahwa menua hanya bersamanya tak akan menjadi masalah. Ibam selalu bilang bahwa Ivi tetap berharga meski sampai mati wanita itu tak bisa memberinya keturunan. Ibam selalu bilang bahwa rasa cintanya pada Ivi tak akan pernah hilang hanya karena Ivi tak seperti perempuan perempuan lain. Ibam telah menelan semua pil terburuk sehingga ia tak lagi ingin berharap banyak. Ia tidak ingin membebani istrinya. Ia selalu berpikir bahwa ia dan Ivi bisa menjalani semuanya berdua. Yang harus mereka lakukan hanyalah menua bersama dan berbahagia. Atau mungkin mengadopsi anak bisa menjadi pilihan terakhir mereka. Ibam akan melakukan apapun demi istrinya. Ia hanya ingin menjadi suami yang selalu bisa diandalkan. Ibam ingin membuat Ivi merasa bahwa menjalani sepanjang hidup berdua bukan sesuatu yang menakutkan. “Kamu masih bisa berubah pikiran.” Bisik Ibam lalu mencium dahi Ivi dengan mesra. Ivi hanya mengangguk. Ia tahu seberapa besar Ibam ingin memberinya kenyamanan. Pria itu tak pernah memaksakan kehendaknya. Pria itu selalu mendahulukan kenyamannya dibanding yang lainnya. ***            Ivi membuka matanya dan terperajat saat melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Ia sudah ingin melonjak dari ranjangnya kalau saja tidak ada tangan yang melingkari pinggangnya.            “Udah jam setengah delapan, Bam.” Kata Ivi sambil berusaha melepas pelukan Ibam di pinggangnya yang justru semakin mengerat.            “Masih pagi.” Lirih Ibam. Kedua matanya masih terpejam.            Ivi menarik paksa tangan Ibam hingga pelukan dipinggangnya terlepas. Ia bergegas ke kamar mandi dan keluar setengah jam kemudian. Ia melihat Ibam sudah tidak ada di atas ranjang. Ia membuka lemari untuk mengambil setelan kerjanya dan memakainya dengan cepat. Ia keluar dari kamar tepat saat klakson mobilnya terdegar.            Ivi bergegas keluar dari rumah dan terkejut melihat Ibam sudah duduk rapi di baik kemudi dengan posisi mobil sudah ada di depan gerbang rumah mereka. Ivi mengunci pintu dan mengunci gerbang hingga akhirnya melesak di samping kemudi.            “Kamu nggak mandi, ya?” tanya Ivi saat Ibam menyalakan mobil dan roda mobil mulai berputar menyusuri komplek perumahannya..            “Mandi lah. Di kamar mandi luar. Aku baru ingat hari ini ada meeting sama direksi.” Kata Ibam, matanya fokus pada jalanan yang lumayan padat.            Ivi mengeluarkan pounch make upnya dan mengambil pensil alis dari sana. “Pelan-pelan dong, Bam.” Keluh Ivi saat manuver Ibam membuatnya kesulitan menggambar alis dengan presisi.            Ibam terkekeh pelan saat melihat dahi wanita itu tercoreng. Pria itu mengerem mendadak hingga membuat Ivi kembali berteriak.            “Lagian alis kamu tuh udah bagus, ngapain sih pakai di gambar-gambar segala.” Ibam masih mengulum tawa sementara Ivi menatapnya sinis dan kembali fokus pada kaca kecil dalam genggamannya.            Setelah selesai dengan alisnya, Ivi mengoleskan sunscreen di wajahnya lalu di tutup dengan membubuhkan bedak tipis-tipis.            “Jangan cantik-cantik. Nanti ada yang naksir aja.” Goda Ibam.            “Berisik!” sentak Ivi lalu mengoleskan lipstick berwarna nude ke bibir tipisnya. Setelahnya, ia menyisir rambutnya yang masih setengah basah karena tak sempat dikeringkan di rumah.            Mobil Ibam berhenti di depan kantor Ivi. Wanita itu mencium punggung tangan Ibam. Belum sempat melepas gengamannya, tangannya kembali ditarik oleh pria itu. Pria itu menaruh kedua tangannya di sisi wajah istrinya lalu mengecup bibir istrinya pelan, tak cukup, pria itu menggosokkan bibirnya ke bibir Ivi hingga lipstick yang dipakai wanita itu belepotan dan menempel di bibirnya.            “IBAAAAAAM.” Ivi berteriak, Ibam tertawa lalu mengambil tisu basah dan mengelap bibirnya sendiri. “Usil banget sih.” Wanita itu menatap kaca dan melayangkan tinjunya ke bahu Ibam yang masih saja terkikik geli.            “Udah buruan turun. Nanti aku telat meeting.” Usir Ibam yang langsung membuat Ivi melotot tajam. Wanita itu mengambil tisu basah lalu mengusap bekas lipstick di bibirnya yang sudah tak karuan bentuknya.            Ivi berdecak, lalu membanting pintu mobil untuk memberitahu bahwa ia benar-benar kesal. Kaca jendela yang terbuka membuatnya bisa melihat tawa geli suaminya. Tawa yang selalu ia lihat tiap pria itu berhasil mengusilinya. ***            Ibam keluar dari ruang meeting satu jam sebelum jam makan siang. Ia kembali ke ruangannya dan terkejut melihat ada tiga pasang mata yang menatapnya.            “Lho, karyawan baru udah masuk hari ini? Bukannya bulan depan?” tanya Ibam pada Fery. Ia menghampiri Fery lalu berkenalan dengan dua karyawan baru yang ditempatkan di divisinya.            “Lho, kamu bukannya yang ketemu saya di warung padang ya?” tanya Ibam pada seorang gadis yang ia temui saat training di Bogor kemarin.            “Iya, Mas.” Jawab gadis itu lengkap dengan senyum ramah.            Ibam kembali duduk di mejanya setelah berkenalan dengan Ari dan Vanya. Ibam membiarkan Fery menjelaskan semuanya pada karyawan baru sementara Ibam menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. ***                         “Gosip itu udah sampai ke lantai direksi, lho.” Tyo, yang kali ini memakai kemeja biru muda itu memulai keahliannya untuk bergosip. Meski terlihat hanya punya dua telinga, tapi Tyo selalu selangkah lebih maju mengenai gosip-gosip yang tengah berredar di kantor. Formasi makan siang seperti biasa, Ivi, Jeni, Yoga dan Tyo yang selalu membuat kegiatan makan mereka menjadi lebih ramai.            “Ish, gue kalau jadi Mia udah nggak punya muka kali buat masuk ke kantor. Semua orang udah pada tahu lho beritanya.” Jeni memberi pendapat. “kok bisa ada orang yang nggak punya malu kayak mereka.”            “Mia tuh kan kalau dilihat dari IG story kan kelihatannya hidupnya hedon banget yaa. Padahal staff kayak kita tuh gajinya berapa sih. Sekarang ketahuan kan dari mana sumber dananya.” Tyo memutar bola matanya sinis.            “Yaudah sih, biarin ajalah. Nanti juga mereka kena karmanya.” Kata Ivi. Yoga mengangguk setuju.            “Ish sumpah ya, gue kalau lihat Mia tuh sebel banget. Pengen gue acak-acak tuh mukanya.” Kata Tyo dengan nada geregetan. Ivi, Jeni dan Yoga menanggapinya dengan tawa.            “Gue dengar, di kantor lo yang lama, nggak boleh ada karyawan yang pacaran, ya?” kali ini Tyo bertanya pada Ivi yang langsung mengangguk.            “Nggak pernah ada skandal kayak gini dong?”            “Nggak ada sih, paling kalau ada yang ketahuan pacaran, ya, di suruh langsung resign salah satu. Belum pernah ada skandal perselingkuhan.” Jawab Ivi.            “Kok aneh sih, kan cuma pacaran, belum suami istri.” Yoga tak kalah bingung.            “Ya namanya juga peraturan. Poin itu ada di kontrak, lho, saat karyawan baru dalam masa percobaan.” Kata Ivi.            “Terus, kok lo bisa-bisanya melanggar peraturan dan malah nikah sama Ibam?” tanya Jeni yang langsung membuat Ivi terkekeh ringan.            “Ya namanya juga cinta.” Jawab wanita itu sambil mengulum tawa.            “Udah gitu, ya. Semua orang pada kaget karena Ivi tahu-tahu ngasih undangan. Udah gitu calon suminya Ibam yang satu kantor juga.” Cerita Tyo yang salah satu temannya bekerja di kantor Ivi yang lama. Ivi mengulum senyum. Ia masih saja kerap tertawa saat mengingat bagaimana perjuangannya dan Ibam untuk bisa sampai ke ikatan pernikahan.            Kenangan saat keduanya yang sama-sama keras kepala berusaha menurunkan ego mereka. Kenangan saat keduanya kerap bertengkar karena tak pernah satu pilihan. Kenangan-kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup. Termasuk kenangan saat Ibam menyatakan perasaannya di depan kedua orangtuanya, juga saat pria itu melamarnya tanpa memberitahu dirinya lebih dulu. Baginya, Ibam selalu penuh kejutan. TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN