Jam menunjukkan pukul tujuh lewat saat Ibam masih berkutat dengan berkas-berkas perijinan di depannya. Ia mendongak saat melihat secangkir kopi di sajikan di depannya. Senyum ramah Vanya menyapanya.
“Nggah usah repot-repot. Saya bisa minta tolong OB kalau mau kopi.” Kata pria itu.
“Nggak apa-apa mas. Tadi sekalian. OB kebetuan lagi nggak ada di pantry.” Kata gadis itu. Vanya kembali ke mejanya dan menaruh cangkir berisi kopi miliknya di atas meja.
Ibam mengucapkan terima kasih. Fery dan Ari memang pergi ke notaris sejak sore sehingga di ruangan itu hanya ada dirinya dan Vanya, karyawan baru fresh graduated dari salah satu univresitas di Jakarta.
Ibam melirik jam lalu meraih ponselnya diatas meja dan mengutak-atiknya sebentar. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masih-masing hingga akhirnya pintunya terdengar diketuk pelan. Seorang pria berseragam OB masuk dan memberikan satu bungkus makanan pada Vanya.
“Udah waktunya makan malam.” Kata Ibam saat melihat Vanya kebingungan. Ia mengucapakan terima kasih pada Arif, office boy yang baru saja membelikan makanan. “selesai makan langsung pulang aja. Kerjaannya dilanjut besok.”
“Mas Ibam nggak makan?” tanya Vanya setelah ia mengucapkan terima kasih. Pria itu hanya menggeleng lalu kembali fokus ke komputernya.
Ivi : Aku tunggu di coffe shop dengat kantor yaa.
Ibam membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Ibam : Sama siapa?
Ivi : Tyo.
Ibam : Nanti aku chat kalau udah sampai yaa. Aku males lihat Tyo.
Ivi tertawa membaca pesan yang baru masuk ke ponselnya lalu memberitahu Tyo apa isi pesan yang baru saja dikirim suaminya.
“Ish... laki lo aja yang kebangetan. Tiap lihat gue udah kayak ngelihat dedemit. Ya makin senang lah gue godainnya.” Kata Tyo.
“Dulu dia tuh pernah dikejar- kejar bencong. Makanya masih suka trauma.” Ivi bercerita.
“Sialan, gue disamain sama banci.” Tyo mengeluh sambil memutar bola matanya. Gerakan yang sudah menjadi ciri khas pria itu. “gue gini-gini juga masih doyan cewek kali.”
Sambil menunggu Ibam, Ivi memang memenuhi ajak Tyo untuk ngopi di kedai kopi di seberang kantornya meski ia hanya membeli air mineral. Tempat itu cukup ramai, didominasi oleh karyawan-karyawan yang kantornya berada di sekitar. Mereka semua masih berkemeja rapi dan duduk secara bergerombol.
Ivi menyesap air dalam botolnya dan menatap Tyo yang matanya melirik liar ke sekeliling.
“Ngapain, sih?” tanya Ivi dengan nada penasaran.
“Nyari cewek.” Jawab Tyo cepat. Matanya masih berkenala menatap satu-persatu waita yang ada di sana.
“Di kantor kan banyak yang jomblo.” Kata Ivi.
“Nggak ada yang tipe gue.” Jawab laki- laki itu.
“Gaya banget lo.” Kata Ivi.
“Vi...Vi... coba lihat cewek yang itu.” Tyo menyuruh Ivi mengikuti arah pandangnya. Tatapannya terfokus pada seorang wanita yang tengah berdiri di depan kasir untuk memesan. Wanita itu berambut panjang, memakai rok pendek dengan kemeja yang dilapisi jaket denim. Kakinya dibungkus flat shoes dengan rambut yang dibiarkan terurai melewati bahu.
“Cantik.” Puji Ivi. Wanita yang dibicarakan berbalik dan menatap sekeliling, mencari meja kosong. “terus kalau lo suka, memangnya lo berani deketin?” tanya Ivi.
“Ya berani lah.” Tyo masih menatap wanita itu hingga wanita itu menghampiri seorang pria yang sudah duduk terlebih dahulu di salah satu meja.
Ivi terkikik geli saat melihat bahu Tyo melemas di depannya.
“Cewek cantik, mah, jarang yang jomblo, Yo.” Kata Ivi.
“Gue nggak nyari yang cantik. Gue nyari yang ngena di hati saat pandangan pertama.” Kata Tyo.
“Masih percaya aja sama cinta pada pandangan pertama.” Cibir Ivi pada sahabatanya yang kini menyesap isi gelasnya.
“Lo sama Ibam emang nggak gitu?” Tanya Tyo.
Ivi tampak berpikir sebentar lalu menggeleng. Ia ingat kali pertama berkenalan saat Ibam menjadi karyawan baru di kantornya. Ibam tak terlihat spesial di matanya. Pria itu terlihat sama seperti karyawan pria yang lain. Tapi, cinta pandangan pertama mungkin dirasakan Ibam sehingga pria itu memutuskan untuk mendekatinya dan melakukan cara-cara unik untuk mendapatkan perhatiannya.
“Lo mah keliahatan. Cuek banget. Untung ada Ibam yang mau sama lo.” Celetuk Tyo yang langsung membuat Ivi melotot. “Ibam lo pelet pakai apa sampai mau sama lo.”
“Sialan.” Ivi merutuk lalu melambaikan tangan saat melihat Ibam memasuki kafe. Pria itu mendekat dan duduk di sebelah istrinya setelah menyapa Tyo.
“Katanya nggak mau masuk, takut gue godain.” Celetuk Tyo yang langsung membuat Ibam merasa tak enak hati. Ia melirik Ivi dan menatapnya sebagai protes karena bercerita yang tidak-tidak pada Tyo.
“Nggak gitu, kok.” Jawab Ibam dengan nada tak enak.
“Trauma pernah dikejar-kejar bencong, ya?” Tyo bertanya yang langsung membuat Ibam gelagapan. “Tega ih, gue disamain sama bencong.”
“Nggak... nggak gitu...” Ibam menatap Ivi yang terkikik geli di sebelahnya.
“Gue bercanda lho, Bam. Gue gini-gini juga masih suka cewek.” Kata Tyo, “tapi kalau lo mau sama gue ya, ayo.” Lanjutnya. Ivi sudah terbahak melihat wajah Ibam yang kebingungan.
“Gue balik duluan, ya. Lo masih mau di sini?” tanyanya pada Ivi yang menjawab dengan sebuah anggukan. “Yaudah gue duluan, ya. Bye, Ibam.” Tyo menjawil pipi Ibam sebelum berlalu dari hadapan keduanya.
“Kamu cerita apa aja sama Tyo?” Ibam menatap istrinya dengan tatapan menyelidik.
“Nggak cerita apa-apa.” Ivi mengangkat bahu tak acuh.
“Kok Tyo bisa tahu kalau aku pernah trauma karena dikejar-kejar bencong.” Ibam menatap Ivi yang menyesap air mineralnya. “aku nggak enak sama Tyo, nih.”
“Nggak apa-apa, Bam. Tyo tuh nggak bakal tersinggung sama hal-hal kayak gitu.” Kata Ivi.
“Ya tapi tetap aja aku nggak enak.”
“Kasih kucing aja kalau nggak enak.” Kata Ivi sambil tekekeh. “kamu mau pesan kopi nggak?”
“Mau dong, espresso aja.”
“Dih, pesan sendiri lah. Jangan manja.” Kata Ivi.
“Ih aku takut di godain sama mbak-mbaknya. Kemarin pas aku pesan, masa dia nanya nama aku. Nanti kalau aku pesan lagi, jangan-jangan nanyain nomor Hp lagi.” Kata Ibam yang langsung membuat Ivi mendesis.
“Ya pasti nanya nama dong, Bam. Mereka, kan, bukan cenayang.”
***
Ibam masuk ke dapur dan melihat istrinya tengah sibuk dengan mixer di tangannya. Bahan-bahan kue terserak di atas meja. Wanita itu tampak fokus menuangkan tepung terigu ke dalam wadah sedikit- demi sedikit.
Ibam mendekat lalu duduk tepat di depan wanita itu. “Kue buat besok?” tanyanya, wanita di depannya mengangguk.
“Kamu nggak mau buka toko kue gitu, Vi?” tanya Ibam lagi. Pasalnya, wanita itu memang punya bakat membuat kue. Resep- resep yang dicoba wanita itu tak pernah gagal dan selalu enak.
“Mau dong. Nanti kalau aku pension, aku udah mikir mau punya toko kue sendiri. Kamu siapin aja modalnya, ya.” Katanya lalu mencicipi adonannya dan menaruhnya di dalam dua buah loyang di atas meja.
“Kalau mau sekarang juga bisa, kok, aku siapin modalnya.” Kata Ibam. Ivi yang baru saja menaruh loyang terakhir di dalam oven menoleh dan menatap suaminya yang tengah memakan choco chip di wadah kecil.
“Kamu pengin aku resign? Kenapa?” tanya Ivi. Pria itu mendongak dan melihat Ivi tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
“Ha? Gak gitu maksunya.” Ibam mencoba menjelaskan. “aku tahu banget gimana beban kerjaan kamu. Kalau kamu memang punya keinginan untuk jadi wirausaha, ya aku senang. Pasti nggak akan selelah kalau kerja kantoran.”
Ibam menatap Ivi yang kini menunduk menatap lantai marmer rumahnya. Ia tahu ia tak seharusnya membahas masalah ini. Ia tahu seberapa cintanya Ivi pada pekerjaan dan karirnya. Wanita aktif sepertinya tak akan pernah mau meninggalkan dunianya saat ia masih sanggup menopang beban pekerjaannya. Karena bagi Ivi, pekerjaannya memang bukan sebuah beban, ia menyukai apa yang ia lakukan dan tak pernah berpikir untuk berhenti di usia produktifnya.
Ivi mendapatkan bayaran yang cukup untuk pekerjaannya. Wanita itu bisa membeli apapun yang ia mau dengan uang hasil kerja kerasnya. Bagi Ivi yang terbiasa mandiri, mengantungkan diri pada suaminya tak pernah terpikirkan olehnya meski Ibam tetap memberikan lebih dari setengah gajinya padanya, lebih dari cukup. Namun Ivi tidak ingin menyia-nyiakan usia produktifnya. Ia ingin melakukan semua hal selagi ia bisa dan mampu.
Ibam bangkit dari duduknya dan berdiri di depan istrinya yang tampak murung.
“Kenapa? Aku nggak minta kamu resgin, lho. Aku ngerti banget kamu kayak gimana.” Ibam mengusap kepala Ivi yang masih menunduk.
“Bam, mungkin gak yah, kalau salah satu alasan aku susah hamil karena aku terlalu capek kerja.” Lirih wanita itu, masih tak berani menatap Ibam yang ada di depannya
Ibam mengambil dagu Ivi dan mengarahkannya hingga wajah wanita itu menatap ke arahnya. “Vi, kamu udah melakukan semua yang terbaik dari yang dianjurkan dokter. Kamu makan-makanan sehat, rajin olahraga, kurangin konsumsi gula. Kita nggak pernah bisa paksa Tuhan kalau Tuhan belum mau kasih ke kita.”
Ibam mengangkat pinggang Ivi dan mendudukan wanita itu di meja dapur di depannya. Ivi menatap Ibam yang tampak serius.
“Kalau sampai kita nggak berhasil juga, gimana?” tanyanya.
“Perlu berapa kali sih aku bilang, kita masih punya banyak kesempatan dan pilihan. Kita masih bisa program bayi tabung ataupun adopsi anak. Kalau kamu nggak mau ya nggak apa-apa. Aku nggak masalah kok seumur hidup cuma berdua sama kamu.” Ibam melingkarkan tangannya ke pinggang istrinya. “aku cuma minta kamu untuk nggak berubah. Tetap jadi Ivi yang kayak gini.” Lanjutnya.
“Kalau nanti kamu yang berubah, gimana?” tanya Ivi ragu-ragu. Ia tahu, semua orang bisa berubah, termasuk juga suaminya.
“Aku pasti berubah, lah. Kayaknya aku makin tua makin ganteng, deh.” Kata Pria itu sambil terkekeh pelan.
“Aku serius.” Ibam menatap wajah Ivi dan menyadari bahwa bukan saatnya untuk bercanda. Raut wajah wanita itu tampak serius.
Ibam tampak berpikir sebentar, “berubah gimana maksud kamu?” tanyanya dengan nada kebingungan.
“Ya… gimana kalau suatu saat kamu jatuh cinta lagi.” Ivi melirih.
“Lho, aku kan emang setiap hari selalu jatuh cinta sama kamu.” Kata Ibam, ia melihat wajah di depannya tak tersenyum.
“Sama perempuan lain maksdunya.” Ivi melanjutkan.
“Berarti pelet kamu udah berkurang khasiatnya.” Ibam hampir menyunggingkan senyum namun tak jadi karena melihat Ivi menatapanya dengan tatapan sulit diartikan. Ia benar-benar menyadari bahwa ini bukan saat yang tepat untuk bercanda.
Ibam berdehem pelan lalu berujar. “Selain partner hidup, kamu itu lawan yang sepadan buat aku. Cuma kamu yang bisa nandingin egoisnya aku, cuma kamu yang bisa nerima keusilan aku setiap hari. Perempuan lain nggak akan ada yang betah sama aku.” Jawab pria itu sambil mengusap sebelah lengan istrinya pelan.
Ivi menaikkan sedikit garis bibirnya. “pokoknya kalau sampai aku cinta sama perempuan lain selain anak peremuan kita, kamu boleh iris sebelah kuping aku.” Kata pria itu. Ia memegang daun telinga sebelah kirinya. Ivi berdecak, ia tak tahu pria itu bercanda atau serius, yang ia tahu, ia percaya pada Ibam. Ia percaya bahwa pria itu tak akan pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun.
Suara pengaturan waktu oven berdenting. Ivi turun dari meja dan membuka oven lalu mengeluarkan kue buatannya. Wangi harum langsung tercium.
Ibam memeluk Ivi dari belakang saat wanita itu tengah menaruh dua kue buatannya ke dalam mika plastik. Ia menurunkan outer gaun tidur wanita itu dan mengecup tulang belikatnya.
“Bam…” Ivi menggerak-gerakkan tubuhnya agar Ibam menjauh karena ia masih harus membereskan sisa-sisa bahan yang masih berantakan di atas meja.
“Hmmmm.” Gumam Ibam, kecupannya berlanjut pada bahu dan leher bagian belakang wanita itu.
“Aku mau beresin ini dulu.” Keluh Ivi saat merasakan kecupan suaminya semakin intens.
Ibam membalik tubuh Ivi dan mendudukkannya di atas meja. Ivi bisa melihat kabut gairah dalam tatapan suaminya. Ibam menarik tengkuk istrinya dan mengecup pelan bibir wanita itu.
***
Ivi menatap Ibam yang sudah tertidur di sebelahnya. Sebelah tangan pria itu memeluknya dengan posesif. Ivi mengusap perutnya yang telanjang. Ia tidak pernah lupa berdoa setelah berhubungan dengan suaminya. Ia selalu berdoa semoga apa yang ia lakukan bersama suaminya membuahkan janin dalam perutnya. Ia kerap berharap bahwa malam ini adalah malam yang ia dan suaminya tunggu-tunggu. Malam di mana sel telurnya cukup matang untuk dibuahi hingga bisa berkembang menjadi janin. Ia tak pernah bosan meski apa yang lakukan tampak tak membuahkan hasil. Ia selalu percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Dirinya mungkin divonis sulit hamil, tapi bukan berarti dirinya tidak bisa hamil sama sekali.
Ia percaya bahwa suatu saat, cepat atau lambat, Tuhan akan memberikan tangis bayi di dalam rumah mereka. Ivi dan Ibam akan sibuk mempersiapkan kamar untuk anak yang sedang dikandungnya, ia akan membaca banyak buku tentang kehamilan demi menyambut sang buah hati, Ibam akan mengusap perutnya setiap malam, membacakan doa dan berbicara dengan janin dalam kandungannya.
Ivi menarik napas panjang saat airmata sudah menggenang dipelupuk matanya. Sesuatu yang tampak indah hanya dengan membayangkannya. Ia hanya terus merus mengingat kata- kata Ibam, yang bisa mereka lakukan hanya berdoa, berusaha dan bersabar.
TBC
LalunaKia