CHAPTER SEMBILAN

2200 Kata
Ibam memarkirkan mobilnya di garasi rumah orangtuanya. Ia mengambil kue yang sudah Ivi buat semalam di kursi belakang sementara Ivi sudah menemui ayahnya yang sedang menggelar karpet di ruang tamu.            “Lho, katanya kalian nggak bisa dateng karena Ibam ada acara kantor?” Elia, ibu dari Ibam tergopoh-gopoh mendatangi menantu kesayangannya.            Ivi melirik Ibam yang hanya mengulas senyum. “Acara kantornya di cancel, Bun.” Jawab Ibam sambil menaruh tentengan yang ia pegang di atas meja.            “Kabar kalian gimana?” ayah Ibam menyuruh keduanya duduk dan berbicang sebentar.            Ibam mengobrol bersama ayahnya sementara Ivi pergi ke dapur untuk membantu Elia menyiapkan makanan.            Seorang asisten rumah tangga sedang berkutat dengan panci besar di atas kompor, Elia tengah memotong buah sedangkan Ivi mengambil pisau lalu memotong kue yang ia bawa lalu menatanya di atas piring-piring cantik yang sudah disediakan.            Ivi membantu menuntaskan semua kegiatan di rumah itu hingga beberapa saudara datang. Ivi menyalami mereka satu persatu lalu kembali menata piring-piring berisi berbagai macam kue atas lantai yang sudah dilapisi karpet.            Ivi berbicang dengan semua saudara hingga rumah itu ramai. Selain suara ibu-ibu dan bapak-bapak yang saling bertukar kabar, suara jerit dan tawa anak-anak juga menggema.  Ivi melirik Ibam yang tengah berkumpul dengan sepupu dan keponakannya. Dibanding berkumpul dengan bapak-bapak, Ibam memilih untuk berkumpul bersama anak-anak itu.            Ivi memerhatikan senyum dan tawa pria itu. Pria itu menggendong keponakannya yang masih berusia tiga tahun dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga anak laki-laki itu terkikik geli. Pria itu terlihat menoleh saat melihat keponakan yang lain mengulurkan satu buah jeruk padanya. Ibam memangku balita berusia dua tahun itu lalu mengupas jeruk dan menyuapinya dengan telaten.            Kebersamaan Ibam ternyata tak hanya di perhatikan Ivi, namun juga saudara-sudara yang lain. Semua orang tersenyum melihat interaksi Ibam dan dalam hati menyayangkan kenapa pria itu dan istrinya belum juga memiliki anak padahal sudah menikah lebih dari lima tahun.            “Ivi tuh belum hamil juga, ya?”            Ivi terdiam saat mendengar kalimat itu. Dirinya baru saja keluar dari kamar Ibam dan bermaksud kembali ke ruang tamu. Pertanyaan itu terdengar saat Ivi hendak melewati pintu yang mengarah ke taman belakang.            “Belum deh kayaknya.” Seseorang menimpali.            “Walah, kenapa gitu ya? Masa nunda sih? Orang udah pada mapan kok pakai nunda-nunda.”            “Iya, ya. Mbak Ivi tuh anak tunggal kan, ya? Sama kayak mas Ibam. Apa nggak kasihan sama orangtuanya. Mereka pasti udah ngarepin banget punya cucu.”            Jantung Ivi terasa diremas begitu kuat. Seperti ada batu ribuan kilo yang mengahantam dadanya hingga membuatnya sulit bernapas. Ia menelan ludah, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.            “Kecapekan kali tuh Ivi nya. Kalau mau program hamil, ya, nggak boleh terlalu capek. Dia katanya manager, kan? Pasti beban kerjaannya berat makanya nggak hamil-hamil.”            “Iya ya? Harusnya istri, mah, di rumah aja, ngurus suami. Gaji Ibam pasti lebih dari cukup kok.”            Ivi masih terpaku di balik tembok saat merasakan kedua telinganya di tutup hingga yang terdengar hanya suara-suara samar.  Ia menoleh dan melihat Ibam di baliknya. Pria itu menarik tangan Ivi dan masuk ke kamarnya.            Ia mendudukkan istrinya di atas ranjang. Ia menatap Ivi yang berkali-kali menarik napas panjang. Mata wanita itu sudah berkaca-kaca. Ibam duduk di sebelahnya dan memeluk istrinya tanpa mengucapkan apapun. Ia mengusap pundak Ivi pelan hingga akhirnya sebuah isakan terdengar. Ivi membalas pelukan Ibam dan menangis dipelukan pria itu.            Selama beberapa menit, yang Ibam lakukan hanyalah mengusap pundak istrinya pelan, atau mengusap rambutnya, mencoba menyalurkan ketenangan pada wanita dalam pelukannya hingga isakan tangis wanita itu mulai mereda.            Ibam mengurai pelukannya lalu mengusap bekas air mata di pipi wanita itu.            “Maaf ya.” Kata Ibam. Ia melihat wanita di depannya menggeleng. Ivi tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa meminta orang berhenti berkomentar tentang dirinya. Yang bisa ia lakukanya hanyalah menutup kedua telinganya. Tapi, omongan-omongan tentangnya seakan membentur dinding kesadarannya. Semua omongan-omongan itu kini berputar di otak kecilnya.            Haruskah ia berhenti bekerja demi program hamilnya?            Haruskan ia berada di rumah dan hanya mengurus suaminya?            Haruskan ia mengorbankan karirnya demi anak yang sangat ia idam-idamkan?            “Jangan dimasukin ke hati, ya, semua omongannya.” Kata Ibam sambil menyelipkan sejumput rambut Ivi ke belakang telinga.            “Aku memang egois banget ya, Bam?” Ivi menatap wajah tenang suaminya. “mungkin kata orang-orang benar, salah satu faktor aku belum hamil juga itu karena aku kelelahan.” Kata Ivi.            “Aku pengin banget punya anak. Tapi nggak mau mengorbankan karir aku.” Kata Ivi dengan nada putus asa. “aku nggak bisa pilih salah satu.”            “Kenapa kamu harus pilih salah satu kalau kamu bisa dapat keduanya.” Kata Ibam. “banyak orang diluar sana yang bisa jadi ibu dan punya karir yang bagus. Aku yakin kamu juga bisa.” Lanjut Ibam. Ia tersenyum pada istrinya.            “Tapi...”            “Nggak ada tapi-tapian.” Ibam memotong kata-kata Ivi. Ia merebahkan dirinya di ranjang dan menepuk sisi sebelahnya yang kosong. Menyuruh wanita itu menempatkan dirinya di sana.            “Aku mau bantu beres-beres.” Kata Ivi.            “Nggak usah. Sudah ada mbak yang bantuin.” Ibam menarik lengan Ivi hingga wanita itu menjatuhkan dirinya di sisi Ibam.            “Tapi aku nggak enak.”            “Kasih kucing aja kalau nggak enak.” Jawab Ibam sambil tersenyum. “nanti aku bilang sama bunda kalau kamu nggak enak badan.”            “Ish, kamu tuh bohong mulu.” Ivi mencubit pinggang Ibam hingga pria itu mengaduh sakit.            “Kamu mah kalau nyubit beneran.” Keluhnya sambil mengusap pinggannya yang pasti langsung memerah. “aku bohong, kan, juga demi kamu.” Katanya sambil mengecup hidung mancung istrinya. Ivi tersenyum, tahu bahwa pria itu akan melakukan apapun demi dirinya. Pria itu selalu memproritaskan dirinya di atas segalanya.            “Tadi bibi kamu bilang, harusnya aku di rumah aja, ngurus kamu, karena gaji kamu udah pasti lebih dari cukup.” Kata Ivi mengutip pembicaraan yang baru saja didengarnya.            “Biarpun kamu kerja, aku tetap terurus, kok.” jawab Ibam, “aku selalu berangkat ke kantor dan tidur dalam keadaan kenyang. Baju aku selalu rapi dan wangi, rumah yang kita tempatin selalu bersih dan nyaman. Itu semua kan karena kamu juga.” Lanjutnya. “Tapi kan kita kadang makan diluar. Baju juga kan aku laundry. Bersih-bersih juga kita bagi jadwal setiap minggu.” Jelas Ivi. “Iya, ya.” Iabm terkekeh pelan. “Ya udah makanya nggak usah dipikirin. Meski kamu wanita karir, kamu itu selalu memastikan semua kebutuhanku terpenuhi. Bagi aku, kamu udah sempurna banget sebagai istri.” Ivi merasakan dadanya menghangat. Senyum Ibam merekah di depannya. Pria itu bahkan bisa merubah suasana hatinya dengan begitu cepat. Ia tahu bahwa ia sudah memilih pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya. Ia juga mula bepikir bahwa menua hanya berdua sepertinya tak menakutkan asal pria itu tak pernah berubah.            “Jangan pernah berubah, ya, Bam.” Kata Ivi. Pria itu mengangguk lalu membawa kepala gadis itu ke dadanya. Ia mengusap- usap lengan istrinya hingga wanita itu terlelap. ***            Ivi membuka matanya pelan. Mataya langsung menangkap potret wisuda Ibam yang terbingkai rapi di atas meja. Ia membalik badan dan tak menemukan pria itu di sebelahnya. Ia bangun dari tidurnya lalu membuka pintu dan pergi keluar.            Suasana di luar sudah sepi. Karpet-karpet sudah dibereskan. Dapur yang Ivi lewati juga sudah bersih. Keadaan ruang tamu sudah rapi. Ivi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menyesal karena ketiduran dan tak enak karena tak membantu apapun.            “Masih pusing, Vi?” Ivi tersentak saat mendengar suara itu. Ia tersenyum saat melihat Ibam dan keluarga nya tengah mengobrol di sofa ruang tamu.            “Maaf ya, Bun, Ivi bukan bantuin malah ketiduran.” Kata wanita itu dengan nada tak enak. Ia duduk di samping suaminya.            “Nggak apa-apa. Tadi semuanya bantuin beres- beres kok sebelum pulang.” Kata wanita paruh baya itu pada Ivi. Wanita itu terseyum dan bilang bahwa Ivi tak perlu merasa tak enak.  Wanita itu bilang bahwa ia mengundang Ivi dan Ibam ke sana karena ia dan suaminya sudah merindukan keduanya yang semakin sibuk dengan pekerjaan sehingga jarang menyempatkan diri menemuinya.            Ivi menatap senyum tulus orangtua Ibam. Selain bersyukur mendapatkan Ibam, ia juga besyukur karena kedua orangtua Ibam sangat baik padanya. Kedua orangtua Ibam tak pernah sekalipun menyinggung masalah anak padanya. Kedua orangtua Ibam hanya selalu berpesan agar Ivi dan Ibam menjaga kesehatannya dan berdoa semoga keduanya selalu berbahagia.            Ivi tak pernah tahu apa yang dirasakan orangtua Ibam. Mungkin dalam hati  kecil mereka, mereka juga merindukan kehadiran cucu pertama mereka. Mungkin dalam hati, mereka juga menginginkan agar Ivi hamil secepatnya. Tapi, keduanya tak pernah membahas apalagi menyudutkan Ivi atas apa yang ia derita. Keduanya hanya terus mensupport mereka dan bilang bahwa semuanya akan datang di saat yang tepat. ***            Mereka mampir ke supemarket sebelum kembali ke rumah. Ibam mendorong trolley, sedangkan Ivi memulai perjalanan di rak buah. Ia mengambil plastik dan mulai dengan buah pir. Wanita itu memilah-milah lalu memasukkan buah pilihannya ke plastik lalu menimbangnya. Ia melanjutkan ke buah yang lainnya, apel, jambu kristal, dan jeruk.            Ivi kembali berjalan dan mendekati rak berisi teh dan kopi. Ivi tampak melirik menatap satu persatu lalu mengambil salah satu merk.            “Bukannya aku udah bilang, ya. Aku kurang suka teh itu.” kata Ibam saat melihat Ivi mengambil satu merk dan menaruhnya di dalam troli. Ivi menoleh dan menatap suaminya. “Tapi aku sukanya yang ini.” Kata Ivi lalu beralih ke rak gula yang ada di seberang rak teh dan kopi. “Ish...” Ibam mengambil teh dari dalam troli dan berniat mengembalikannya ke tempat semula kalau saja tangan Ivi tak menahannya. “Siapa yang suruh balikin. Taruh lagi.” Kata Ivi sambil melirik ke arah troli. “Aku nggak suka yang ini.” Kata Ibam. “Yang minta pendapat kamu siapa?” tanya Ivi dengan nada menantang. “Kan aku juga yang minum.” Kata Ibam. “Kan aku yang bikin.” Ivi mengambil produk dalam tangan Ibam dan kembali menaruhnya di dalam keranjang beroda. Ibam berdecak lalu mengamati berbagai teh yang ada di depannya lalu mengambil salah satu merk kesukannya.                   “Kalau pilih teh sendiri, bikin sendiri.” kata Ivi tanpa menoleh, matanya masih menatap berbagai macam merk gula di depannya.            “Dasar ibu tiri.” Ibam mengembalikan teh pilihannya dan mengerutu di belakang Ivi.            Ivi melanjutkan pencarian dan masih terus berdebat mengenai pilihannya dan pilihan Ibam yang tak pernah sepaham. Ibam tak pernah ingin menuruti Ivi, begitu juga sebaliknya. Hal selalu terjadi semenjak mereka berpacaran. Ivi tak rela menurunkan ego dan mengalah pada suminya, begitu juga sebaliknya. Keduanya tak pernah ingin sepaham. Orang mungkin berpikir bahwa hubungan keduanya tidak sehat. Namun keduanya menyukainya. Ibam menyukai Ivi karena merasa mendapatkan lawan yang sepadan, begitu juga Ivi.            Degan begitu, kedua belah pihak akan kalah sesekali. Tak ada yang mendominasi dan terus menerus mengalah. Salah satu dari mereka akan mengalah saat yang lainnya tak bisa dikalahkan.            “Kayaknya pewangi yang itu wanginya kurang enak deh, Bam.” Kata Ivi saat melihat Ibam mengambil salah satu varian pewangi pakaian. Ibam tersenyum kecil.            “Tapi aku suka wangi ini.” Kata Ibam. “kalau kamu pilih yang lain. Kamu yang gantiin jadwal aku nyuci besok, ya.” Kata Ibam sambil tersenyum puas. Ivi berdecak lalu memilih untuk pergi ke rak yang lain karena tahu bahwa ia tak punya pilihan selain mengikuti pilihan pria itu. Ia tidak mau menggantikan jadwal mencuci dan menjemur yang harusnya pria itu lakukan besok.             ***            Pagi yang sibuk di kediaman Ibam dan Ivi. Ibam sibuk membersihkan rumah dan akan dilanjutkan dengan mencuci dan menjemur. Ivi sibuk menyiram tanaman, memandikan Loki lalu berkutat di dapur untuk memasak.            Ibam masuk ke dapur tepat saat Ivi tengah menaruh mangkok berisi soto daging di atas meja. Pria itu langsung menengguk air yang ada di atas meja hingga tandas, lalu mengusap keringat di dahinya dengan tisu yang juga ia ambil di atas meja.            “Kenapa kita nggak punya ART sih, Vi?” tanya Ibam saat Ivi masih sibuk menata meja makan.            “Kenapa kita harus punya ART kalau semuanya bisa kita lakukan sendiri.” Jawab Ivi cepat.            “Ya punya ART tuh biar kita nggak perlu capek beres-beres rumah.” Kata Ibam, “kamu juga nggak pelu repot-repot masak.”            “Lho, yaiya, kenapa harus punya ART kalau kita bisa lakuin semuanya sendiri?” Ivi duduk di depan Ibam yang menatap kesal padanya. Ia mengulas senyum mengejek.            “Ya biar kalau weekend kita bisa istrirahat.”            “Lho, abis ini kamu ngapain? Istirahat kan? Beres-beres nggak makan waktu lebih dari tiga jam. Masih banyak waktu buat istirahat.”            Ibam berdecak, Ivi menuangkan nasi ke piring dan menaruhnya di depan pria itu.            “Aku ngga nyaman kalau ada oranglain di rumah selain kita.” Ivi menjawab pertanyaan Ibam. Ia mengingatkan kembali karena sejak awal menikah, ia sudah bilang pada pria itu untuk tak menggunakan ART karena alasan kenyamanan kecuali jika kelak mereka memiliki anak.             “Bisa-bisanya nggak nyaman padahal ARTnya perempuan.” Uja Ibam sambil menaruh sambal ke mangkoknya dan mengaduknya pelan.            “Iya dong. Nanti kalau ada ART kan, kamu nggak akan bisa tiba-tiba peluk aku dari belakang, atau ciuman mesra di dapur, nggak bisa juga romantis-romantisan di ruang tamu dan main di sembarang tempat.”            Ibam hampir tersedak mendengar kata-kata Ivi yang blak-blakan.            “Iya...iya... udah...stop. Pakai dijelasin lagi.” TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN