CHAPTER SEPULUH

2485 Kata
Jam menunjukkan pukul setengah enam saat Ivi sudah rapi dengan setelan trainingnya. Ia keluar dari kamar dan melihat Ibam tengah bermain dengan Loki di beranda rumah.            “Aku lari ke taman sebentar, ya.” Kata Ivi sambil duduk di satu kursi kosong dan memakai sepatunya.            “Aku nggak diajak?” tanya Ibam.            “Nggak diajak juga paling nanti kamu nguntit di belakang.” Kata Ivi tanpa menoleh. Ia fokus mengikat tali sepatunya.            “Hati- hati.” Kata Ibam saat melihat istrinya berdiri. Wanita itu mengangguk lalu berjalan pelan ke arah gerbang dan menghilang dari pandangan Ibam.            Ivi menyapa Erna yang sore itu sedang menyiram tanaman.            “Sendirian aja, mbak Ivi.” Kata Erna saat melihat wanita itu hanya seorang diri.            “Iya, Ibamnya lagi main sama Loki.” Jawabnya lalu pamit untuk melanjutkan kegiatan olahraganya.            Ivi berlari kecil menyusuri komplek perumahannya. Ia beberapa kali memelankan langkahnya untuk menyapa orang-orang yang dikenalnya. Ivi dan Ibam termasuk pasangan yang terkenal di komplek itu. Selain karena bagi orang mereka terlihat sangat serasi, juga karena Ibam yang mudah bergaul dengan semua tetangga.            Ivi sedikit minggir saat mendengar suara klaskon motor. Tapi suara klason itu masih terus ditekan hingga ia nyaris kehilangan kesabaran. Wanita itu berbalik, melotot dan menyentak, “Berisik.!” Ivi melihat Ibam menyeringai puas.            Ibam menghentikan motornya di sebelah Ivi yang masih menatapnya kesal, “Neng, Ikut abang dangdutan, yuk.” Kata Ibam mengutip dialog dari salah satu film.            Ivi melengos lalu kembali berlari kecil. Ibam tertawa melihat respon istrinya. Baginya tidak ada yang bisa menandingi kebahagiaan selain menjahili istrinya. Melihat Ivi melotot padanya ataupun menatapnya sinis membuatnya benar-benar gemas.            Ia melajukan motornya dan berjalan pelan di samping Ivi.            “Aku anterin aja, ayo. Ke taman kan?” goda Ibam. Ia menghentikan motornya dan melihat Ivi tetap melangkah.            “Jangan berisik, Bam.” Kata Ivi tanpa menoleh.            “Nanti aku jajanin teh gelas, deh.” Ibam memberikan penawaran agar Ivi mau ikut dengannya.            Ivi menarik napas lalu berhenti. Ia berbalik ke arah Ibam yang masih mengulum senyum. Ia memutar hingga berada di sebelah kanan laki-laki itu.            “Gimana kalau kamu yang ikut aku olahraga? Nanti aku jajanin jus jeruk. Lebih mahal daripada teh gelas.”            Ibam menggeleng, “Nggak bisa, aku bawa motor, pakai sandal jepit lagi.” Kata Ibam.            “Bisa kok.” Tepat saat ia mengatakan itu, ia memutar kunci motor Ibam hingga mesinnya mati lalu menarik kunci itu dan berlari menjauhi Ibam yang langsung berteriak.            “Iviiiiiiiiiii.” Ibam berteriak, ia melihat Ivi mengangkat kunci motornya tinggi-tinggi sambil berlari secepat mungkin. “Ish.” Pria itu bedecak saat melihat tubuh istrinya menghilang ditikungan. Ia berpikir sebentar, ia sudah cukup jauh untuk kembali ke rumahnya sehingga ia memutuskan untuk mendorong motor itu ke taman. “Waduh, hampir aja saya teriakin maling, ternyata mas Ibam.” Seorang pria paruh baya yang mengendarai motor matik berwarna merah itu berhenti di samping Ibam yang hanya tersenyum kecil. Pria itu adalah salah satu tetangga yang dikenalnya cukup baik “Kenapa motornya? Habis bensin?” tanyanya. “Nggak, Pak.” “Mogok, ya?” “Nggak juga, Pak.” Jawab Ibam. “Lah terus kenapa?” Ibma menceritakan kejadian yang dialaminya hingga membuat pria paruh baya itu tertawa lebar. “Walah, kalian ini ada-ada aja bercandanya. Saya jadi kangen masa muda.” Pria berkopiah itu terkekeh, “yaudah sini, tak bantu dorongin pakai kaki.” ***            Ivi melirik jam tangannya saat baru saja selesai melakukan transaksi di teller di sebuah bank. Jam menunjukkan pukul dua belas saat ia keluar dari bank dan ia memutuskan untuk mengajak Ibam makan siang bersama mengingat kantor pria itu tak jauh dari bank.            Ia hanya perlu melewati tiga gedung untuk sampai di kantor suaminya. Ia memutuskan untuk tak memberitahu pria itu sehingga langsung menemui resepsionis yang juga sudah sangat ia kenal.            “Ivi…” wanita itu menoleh dan melihat Pak Arsan, mantan atasannya keluar dari lift dan menghampirinya.            “Halo, Pak.” Ivi berdiri dan menjabat sebelah tangan pria yang sudah sangat dikenalnya itu.            “Gimana kabar kamu?” tanya pria itu. Ivi menjawab singkat dan bilang bahwa ia datang untuk mengajak suaminya makan siang.            “Ibam lagi pergi ke kantor owner, kayaknya belum balik deh.”            “Gitu, ya, Pak.”            “Iya, memang dia nggak bilang?” tanya pria itu.            “Saya sih, Pak, yang nggak bilang kalau mau ke sini.” Kata Ivi.            Pak Arsan akhirnya mengajak Ivi ke ruangannya untuk makan siang bersama, ia juga akhirnya mentraktir semua anak buahnya yang juga teman lama Ivi.            “Kamu betah, Vi, di kantor sana?” tanya Pak Arsan.            “Udah tiga tahun, Pak, ya masa nggak betah.” Jawab wanita itu dengan kekehan pelan.            “Mau rekrut Ivi lagi apa, Pak?” tanya Pipit dengan nada bercanda.            “Jangan, Pak, nanti Ibam nggak konsen kerjanya.” Fery menimpali, yang langsung membuat Pak Arsan mengangguk setuju.            “Iya, jangan, nanti Ibam kerjaannya nggak beres-beres kalau satu kantor sama istrinya.” Kata Pak Arsan sambil tertawa. Ivi ikut tertawa, menyenangkan bisa berkumpul dengan teman-teman lamanya.            Sebelum kembali ke kantornya, Ivi mampir ke ruangan Ibam. Di ruangan itu hanya ada Fery dan Ari, si karyawan baru.            “Ibam belum balik juga?” tanyanya saat masuk ke ruangan dan duduk di kursi di depan Fery.            “Belum.”            “Sendiri?”            “Sama Vanya.”            “Vanya?” Ivi bertanya saat mendangar nama asing yang tak dikenalnya.            “Iya, karyawan baru.” Fery juga melirik Ari yang duduk meja di sebelahnya. Laki-laki itu mengulas senyum ramah padanya.            Ivi hanya membulatkan mulutnya.            “Harusnya sih, dia udah balik, ya, jam segini.” Fery menyorot penunjuk waktu di pergelangan tangannya. “dia berangkat dari pagi soalnya. Coba aja lo telepon.”            “Gue udah WA tapi nggak dibalas. Mungkin memang belum selesai kali.” Kata wanita itu. Setelah tahu waktu makan siang sudah lewat, ia pamit pada Fery untuk kembali ke kantornya.            Ivi keluar dari kantornya dan menyetop taksi tepat saat melihat Ibam keluar dari kopi shop di samping kantor. Tak hanya sendiri, seorang gadis cantik keluar dari tempat yang sama dan berjalan bersisisan dengan suaminya. Keduanya memegang satu cup gelas di tangan masing-masing.            Suara klakson yang terdengar menyadarkannya, Ivi menoleh dan melihat sudah ada mobil di belakang taksi yang ia berhentikannya. Ivi bergegas masuk kedalam taksi sebelum kemacetan terjadi karenanya.            Ia merogoh ponsel di tasnya dan menatap chatnya pada Ibam yang tak terbalas. Wajah gadis itu terlintas dipikirannya. Ibam biasanya selalu menceritakan apa yang terjadi di kantornya setiap hari. Tapi, ia yakin pria itu tak pernah bilang bahwa sudah ada karyawan baru di divisinya.            Ivi menggeleng-gelengkan kelapanya, berusaha mengusir firasat buruk yang mulai menganggunya.            Ibam: Vi, maaf, HP aku ketinggalan. Kamu udah balik ke kantor?             ***            Ivi masih menatap layar komputernya saat jam menunjukkan pukul enam sore. Menjanya masih penuh dokumen. Jari-jarinya masih asik menari di atas papan ketik. Di luar ruangannya, karyawan yang lain tak kalah sibuk meski jam sudah menunjukkan lewat dari jam pulang. Karyawan-karyawan yang lain juga tengah berjuang menyelesaikan pekerjaanya yang menumpuk karena menjelang akhir bulan.            “Ya Tuhan… pinggang gue.” Tyo berdiri dari duduknya dan merenggangkan otot- ototnya yang terasa kaku karena seharian duduk di depan komputer. Ivi yang baru saja keluar dari ruanganya tersenyum dan menghampiri pria itu lalu menaruh dokumen di mejanya.            Tyo mengambil dokumen yang diberikan Ivi, menatapnya sebentar lalu melemparnya kembali ke atas meja. “besok aja, ah. Gue mau pulang.” Kata pria itu.            “Ih, jam berapa nih? Udah mau pulang aja.” Kata Ivi.            “Nongkrong di kopi shop depan, yuk.” Aja pria itu. “jangan terlalu loyal sama perusahaan. Kalau kita mati, mereka mah gampang cari pengganti kita.” Lanjutnya.            Ivi tertawa, begitu juga dengan karyawan lain yang mendengarnya.            “Gue masih harus nyiapin giro buat dijalanin besok pagi.” Jawab Ivi.            “Yaudah gue duluan kalau begitu.” Pria itu mematikan komputernya lalu membereskan dokumen-dokumen yang ada di mejanya. Setelahnya, ia berpamitan dengan teman-temannya yang ada di ruangan itu dan menghilang di balik pintu.            Ivi masih berkutat dengan buku giro saat Ibam memberitahu bahwa ia baru selesai dan akan segera menjemputnya. ***            Ibam mengklik shut down pada komputernya lalu memasukkan dokumen-dokumennya ke dalam map putih dan menaruhnya di dalam laci. Fery yang juga tengah bersiap untuk pulang dan kini meminta Vanya dan Ari untuk melanjutkan pekerjaannya besok. Ia memberitahukan kedua junior itu untuk tak lembur jika tidak ada pekerjaan yang mendesak.            Keempat orang itu keluar dari ruangan bersamaan. Mereka memasuki lift yang sama lalu berpisah di depan kantor. Ibam, Fery dan Ari berbegas menuju parkiran sementara Vanya keluar dari kantor dan menyusuri jalan menuju halte transjakarta terdekat.            Gadis itu masih dalam perjalanan saat mendengar suara klason mobil, ia menoleh dan melihat sebuah mobil berhenti di sampingnya, kaca jendela yang dibuka membuat Vanya bisa melihat Ibam yang ada dibalik kemudi.            “Kamu naik apa?” tanya pria itu setengah berteriak.            “Naik bus, Mas.” Vanya menunjuk halte transjakarta yang belum terlihat dengan ujung jarinya.            “Ayo naik, saya antar sampai sana.” Kata Ibam.            “Nggak usah, Mas. Makasih.” Vanya menolak dengan sopan.            “Udah nggak apa-apa. Saya lewat sana, kok.” Kata Ibam. Ia membuka central lock dan mengisyaratkan gadis itu untuk masuk ke mobilnya.            Vanya akhirnya membuka pintu dan melesak di kursi di samping Ibam. Pria itu tak berbicara apapun sampai mobilnya berhenti di depan sebuah halte. Gadis itu mengucapkan terima kasih sementara Ibam hanya mengangguk sambil mengulas senyum tipis.            Setelah pintu kembali ditutup, Ibam kembali melajukan mobilnya menuju kantor Ivi. Di belakang, mata Vanya menatap mobil laki-laki itu hingga kendaraan beroda empat itu menghilang dari padangannya.            Ivi sudah keluar dari kantornya saat mobil Ibam baru saja memasuki area kantornya. Pria itu menghentikan mobilnya di depan lobi dan membiarkan istrinya masuk dan duduk di sebelahnya.            “Kamu tadi makan siang di luar?” tanya Ivi saat Ibam berhenti di lampu merah.            “Iya, maaf, ya. Ponsel aku ketinggalan, tadi lagi aku charge di bawah meja soalnya.” Pria itu menoleh lalu menatap Ivi penuh penyesalan.            “Udah ada karyawan baru di divisi kamu?” tanya wanita itu.            “Iya, baru minggu ini masuk.” Jawab Ibam, “aku belum cerita, ya?”            Ivi mengangguk. Tangannya bergerak untuk memutar musik di mobil itu.            “Aku dapat info mereka bakal masuk awal bulan. Tapi nggak tahu kenapa HR minta masuk minggu ini.” Ibam bercerita            “Oh…” hanya itu yang keluar dari mulut Ivi.            Mobil Ibam sampai di depan gerbang setelah menempuh perjalanan selama lebih dari satu jam karena kemacetan. Ibam menoleh ke arah Ivi yang tengah memejamkan matanya.            “Tidur?” Ibam keheranan saat melihat kedua mata wanita di sampingnya terpejam dan tampak pulas. “tumben.”            Pria itu akhirnya keluar dari mobil dan membuka gerbang, setelahnya kembali ke dalam mobil dan membawa mobil itu masuk ke dalam garasi. Ibam kembali menutup gerbang lalu berbalik dan terkejut melihat pintu rumah yang sudah terbuka. Pria itu kembali ke mobilnya dan melihat istrinya sudah tidak ada di tempatnya.            “Males banget, sih, buka gerbang doang.” Ibam masuk ke dalam rumah dan melihat wanita itu duduk di sofa sambil tertawa.              “Tadi aku beneran tidur, kok.” Kata Ivi saat Ibam menjatuhkan diri di sebelahnya.            “Kamu jadi artis aja deh. Udah makin jago aktingnya.” Kata Ibam sambil menarik ikatan rambut Ivi hingga rambut wanita itu tergerai.            “Bam, aku potong pendek, gimana?” tanya Ivi sambil menyisir rambut dengan jari-jari tangannya.            “Jangan, ah. Kamu kalau rambutnya pendek kelihatan jutek.” Kata Ibam.            “Oke.” ***            Ari masuk ke dalam ruangan dan melihat Vanya sudah ada di dalamnya. Laki-laki itu duduk di kursinya, tepat di samping Vanya yang sedang membaca buku.            “Datang jam berapa? Pagi banget.” tanya Ari sambil menaruh tasnya di lemari yang ada di sebelahnya.            “Iya, takut macet kalau kesiangan.” Jawab Vanya yang hari itu memakai kemeja pendek berwarna hitam dipadu dengan celana bahan warna serupa. Rambut panjangnya diikat setengah dan dibiarkan tergerai melewati bahunya.            “Ari mengeluarkan dua buah roti dan dua buah s**u kotak dari dalam plastik yang ia bawa dan memberikan salah satunya pada Vanya yang langsung membuatnya mengucapkan terima kasih.            Keduanya mengobrol singkat. Mereka sudah saling mengenal selama masa training di luar kota, namun jarang berbicara bahkan setelah akhirnya masuk di divisi yang sama.            Ari menatap Vanya yang selalu ia lihat tampak tak banyak bicara. Gadis itu selalu berkutat dengan pekerjaan dan menjawab semua pertanyaannya dengan singkat. Wajah cantiknya terbalut pakaian yang sederhana.            Keduanya menoleh ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan wajah Fery di baliknya. Pria itu menyapa dua juniornya lalu duduk di kursinya.            Vanya sibuk mengunyah roti yang diberikan Ari karena memang ia tak sempat sarapan. Ari masih mencoba membukan obrolan dengan gadis itu yang hanya dijawab dengan singkat. ***            “Yo, ada gosip apa lagi hari ini?” tanya Jeni saat mereka sedang berkumpul di ruangan Ivi untuk makan siang.            “Lo kira gue Feni Rose. Nanya gosip kok sama gue.” Tyo melengos pada Jeni yang langsung tertawa. Begitu juga dengan Ivi dan Yoga yang juga ada di sana.            “Gue dengar-dengar, ya. Mia udah dikasih apartemen, lho, sama Pak Doni.” Tyo berbisik pada ketiga kawannya.            “Ya nggak heran sih, gue.” Jeni menimpali. “Pak Doni sama bawahannya aja royal banget, apalagi sama selingkuhannya.”            “Udah apa, sih. Jangan ngomongin Mia mulu.” Kata Ivi. Mencoba menghentikan pembicaraan Tyo dan Jeni yang sepertinya akan semakin melebar.            “Iya, ih, bosen, kita tungguin aja nanti mereka akhirnya.” Kata Tyo lalu memasukkan isi sendok ke mulutnya.            “Ardian katanya batal nikah, ya?” pertanyaan ini keluar dari mulut Yoga yang langsung membuat ketiga pasang mata di sekelilingnya membulat.            “Yang benar?” Ivi kali ini menatap Yoga yang mengangguk pelan sambil mengunyah.            “Kenapa?” tanya Jeni dengan nada penasaran.            “Selingkuh sama sekretaris bos.” Jawab Tyo. “gue udah nggak mau ngegosip, lo malah mancing.”            “Sekretaris yang mana?” tanya Ivi.            “Ami.” Jawab Yoga.            Ivi dan Jeni saling pandang lalu menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Keduanya begitu mengenal Sina, tunangan Ardian yang kerap pria itu bawa ke acara-acara kantor. Gadis itu adalah seorang dokter yang tengah menjalani koas di salah satu rumah sakit swasta.            “Gila banget, ih, kalau sampai itu benar.” Kata Jeni. Masih tidak percaya dengan gosip yang baru saja mereka dengar.            “Teman satu tim Ardian sendiri yang bilang kalau Ardian ketahuan selingkuh sama Ami. Makanya Sina akhirnya batalin pernikahannya setelah Ardian lebih milih Ami dari pada dia.” Kata Yoga.            Semua orang mengenal Ardian sebagai pribadi yang tak neko-neko. Semua orang menganggap bahwa Ardian tampak begitu serasi dengan tunangannya. Pria yang memang mudah bergaul itu tak pernah terlihat memiliki hubungan spesial dengan Ami, sang sekretaris bos.            “Ya baguslah kalau mereka belum sampai nikah. Coba kalau sampai nikah terus Ardian berhubungan sama Ami. Apa nggak lebih kasihan istrinya.” Kata Yoga. Ivi dan Jeni mengangguk setuju.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN