Ari menatap Fery dan Ibam yang keluar dari ruangan saat jam menunjukkan jam makan siang. Ia mengeluarkan makanan yang sudah ia pesan dari office boy kantor, sementara Vanya mengeluarkan bekal makan siangnya.
“Lo masak sendiri?” tanya Ari. Vanya mengangguk sambil tersenyum kecil.
Keduanya makan dalam diam di mejanya masing- masing. Sesekali, Ari melirik Vanya yang fokus pada makanannya. Gadis itu selesai makan dan langsung melanjutkan pekerjaannya, bahkan saat Ibam dan Fery belum pulang dari makan siangnya. Ari pergi keluar untuk merokok dan kembali dengan dua cup kopi yang salah satunya ia taruh di depan gadis itu. Sekali lagi, Vanya berterima kasih sambil tersenyum ramah.
Gadis itu tak banyak bergaul dengan karyawan yang ada di luar ruangan. Vanya banyak menghabiskan waktunya di dalam ruangan dan hanya keluar ruangan saat benar-benar perlu memfotocopy, ke kamar mandi ataupun yang lainnya. Tak seperti Ari yang mulai mengenal karyawan-karyawan dari divisi lain. Vanya hanya peduli pada pekerjaannya dan tak pernah ingin tahu apa yang orang lain lakukan di luar ruangannya.
***
Ivi membaca majalah fashion di tangannya. Salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lainnya. Di belakanganya, penata rambut tengah seibuk dengan gunting dan rambut panjangnya.
“Ibam nggak ngebolehin gue potong pendek. Katanya muka gue kelihatan jutek kalau rambut gue pendek.” Kata Ivi pada Tyo yang juga sedang di potong rambutnya di sebelahnya.
“Ya emang benar.” Jawab Tyo, “awas aja, kalau sampai Ibam ngira gue yang ngajak lo ke sini.”
Ivi tertawa, ia melihat kaca yang ada di depannya. Penata rambut tengah memotong rambut panjangnya yang sudah ia rawat hingga melewati bahunya.
“Lo mah aneh. Dibilang gak boleh sama Ibam, malah dilakuin.” Kata Tyo lagi, membuat Ivi mengulum senyum.
“Nggak cuma gue, dia juga gitu.” Jawab Ivi.
“Aneh memang lo berdua.” Tyo melirik Ivi melalui kaca. Wanita itu tengah melihat layar ponselnya dan memencet layar dengan kedua jempolnya.
“Ibam udah di depan.” Kata Ivi, penata rambut di belakangnya mulai mengeringkan rambutnya sementara Tyo sudah selesai. Pria itu kini berdiri dan menatap wajahnya di cermin dan merasa ketampanannya bertambah setelah memotong rambutnya.
“Makin cantik, Yo.” Goda Ivi.
“Sialan.” Pria itu bergaya di depan kaca lalu keluar terlebih dulu dan melihat Ibam yang sudah ada di ruang tunggu.
“Ivi nakal, ya, mas? Omelin aja nanti.” Kata Tyo saat mendekat ke arah Ibam dan duduk di sebelahnya.
“Makin cantik, nih.” Kata Ibam.
“Sialan. Nggak laki, nggak bini, mulutnya sama-sama kurang ajar.” Kata Tyo dengan nada khasnya yang langsung membuat Ibam tertawa. Pria itu meminta maaf dan bilang bahwa potongan rambut baru tampak cocok pada pria itu.
“Ivi potong rambut pendek banget, lho, Bam.” Tyo memberitahu. Ia menaruh tangannya di bawah telinga untuk memberi gambaran pada Ibam sependek apa Ivi memotong rambutnya.
Mata Ibam membulat tak percaya. “Beneran?”
Tyo mengangguk mantap dan mengulum senyum melihat Ibam melotot tak percaya. Pria itu lalu merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dan sibuk mengetikkan jarinya di layar sementara Tyo mengurus tagihan.
***
“Aku pikir kamu beneran potong sependek ini.” Kata Ibam sambil menirukan Tyo saat pria itu memberitahunya sependek apa Ivi memotong rambutnya.
Ivi tertawa sambil duduk di depan meja riasnya. Tangannya sibuk menuangkan isi botol dan meratakannya ke wajahnya. Ia memang hanya memotong sebatas bahunya karena tahu bahwa Ibam pasti akan mengomel jika ia melakukannya lebih pendek sedikit lagi.
“Tahu, nggak, Bam, di kantor lagi banyak skandal perselingkuhan.” Ivi bercerita sambil mengoleskan krim ke wajahnya. Ibam yang sedang menatap ponselnya, menengadahkan kepalanya dan menatap Ivi lewat cermin yang ada di depan wanita itu.
“Skandal perselingkuhan?” Ibam mengulangi kata-kata Ivi dan melihat wanita itu mengangguk. “siapa?”
“Manager HR sama staff tender.” Jawab Ivi, “yang satu lagi Ardian yang hampir nikah sama tunangannya tapi batal karena dia lebih milih sekretaris bos.”
Ibam menatap Ivi yang berdiri dan mendekat lalu duduk di tepi ranjang.
“Manager HR itu sudah punya istri, lho. Anaknya udah dua.” tutur Ivi sambil menatap Ibam. “padahal istrinya cantik, wanita karir. Kok bisa ya, dia selingkuh padahal keluarganya kelihatan sempurna.” mata Ivi menatap Ibam yang kebingungan.
“Ya… itulah laki- laki yang nggak tahu bersyukur.” Ibam menatap Ivi lalu mengusap rambutnya pelan. Rambut wanita itu terasa halus di tangannya. “dia serakah. Nggak mau melepas istrinya, tapi berhubungan sama perempuan lain.”
“Memang menikah itu nggak bisa mengandalkan cinta, ya.” Kata Ivi, “kita berharap bisa sampai tua. Belasan tahun yang kita habiskan sama orang yang sama, jelas mengikis cinta yang dulu jadi alasan untuk menikah.” Ivi melihat Ibam mengangguk setuju di depannya.
“Makanya jangan pernah menikah hanya karena cinta. Menikahlah sama orang yang kamu yakin bisa berkomitmen sampai akhir.”
***
Vanya keluar dari bus dan menuruni halte lalu berjalan di trotoar. Gadis itu menyusuri jalan menuju kantornya.
“Vanya.” Gadis itu menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat melihat Ari tengah duduk di warung bubur. Laki-laki itu berdiri dari duduknya dan membawa plastik yang ada di atas meja dan berjalan menghampirinya.
“Tumben lo pagi banget?” Vanya bertanya pada Ari yang hanya mengulas senyum tipis. Keduanya berjalan beriringan menuju kantor.
Suasana kantor masih sangat sepi karena jam baru menujukkan pukul tujuh lewat. Ari dan Vanya langsung masuk ke ruangannya. Vanya duduk di kursinya dan termangu saat nmelihat Ari menaruh satu boks bubur yang baru saja ia ambil dari dalam plastik. Satu boks lagi ia taruh di depannya.
“Itu satu porsi terakhir. Gue beli aja biar abangnya bisa langsung pulang.” Kata Ari.
“Makasih.” Kata Vanya. Ari tersenyum sambil mengangguk lalu duduk di kursinya. Ia melihat Vanya yang membuka bungkusan itu dan menyuapkan sedikit demi sedikit bubur itu ke mulut hingga bubur itu habis.
Setelah membuang bekas makannya, Vanya memngambil dompetnya di dalam tas dan mengambil selembar uang dan memberikannya pada Ari.
“Eh, nggak usah.” Kata Ari.
“Nggak apa-apa. Nggak enak, lo nraktir sarapan terus.” Kata Vanya sambil memaksa Ari menrima uangnya.
“Pagi…” keduanya menoleh dan melihat Fery muncul dari balik pintu, Ibam mengekor di belakangnya.
“Pagi…” Ari dan Vanya membalas sapaan Fery secara bersamaan. Fery dan Ibam duduk di meja masing- masing.
“Fer, coba cek surat perijinan yang semalam gue email yaa.” Kata Ibam sambil menyalakan komputernya.
“Siap.” Kata Fery.
Ibam menyesap isi gelas di mejanya lalu keluar dari ruangannya. Pria itu melihat karyawan lain yang sedang berkumpul di salah satu meja kosong yang memang kerap dijadikan tempat berkumpul.
“Sarapan, Bam.” Pipit menatap Ibam yang mendekat. Di atas meja ada piring berisi kue bantal, cakue dan berbagai macam gorengan.
Ibam duduk di salah satu kursi kosong dan mengambil satu kue bantal dan mengigitnya.
“Lagi banyak kerjaan, Bam? karyawan baru yang cewek di dalam ruangan mulu.” Riski bertanya.
“Iya, kalau ketemu juga jarang senyum. Jutek banget mukanya.” Pipit berkomentar.
“Masa, sih? Ramah kok dia anaknya.” Jawab Ibam. “mungkin masih malu kali karena baru.”
“Kalau ramah, mah, senyum kali kalau disapa.” Kata Dinda.
“Kalau yang cowok asik tuh. Gue sering ketemu kalau ngerokok di lantai atas.” Kali ini Riski berpendapat mengani Ari.
“Nah, iya, kalau yang cowo ramah banget. Papasan di jalan aja dia nyapa.” Ujar Pipit yang membenarkan kata-kata Riski.
“Masih adaptasi dia. Nanti lama-lama juga kayak lo semua yang nggak tahu malu.” Kata-kata Ibam membuat tiga orang yang ada di sana terkekeh ringan.
“Bam, jumat ini kita pada mau nobar. Ikut nggak?” tanya Dinda.
“Ajak Ivi sekalian kalau bisa.” Kata Pipit.
“Oke nanti gue tanya dulu deh Ivi bisa apa nggak.”
***
“Wah… mbak Ivi. Makin segar nih habis potong rambut.” Kata Alice saat melihat Ivi datang.
“Iya, kayaknya lo lebih cocok rambut segitu deh. Kalau rambut panjang, rapi pas pagi doang, menjelang siang pasti udah dijepit asal pakai paperclip atau disanggul pake pulpen.” Kata Jeni yang langsung membuat Ivi tertawa.
“Gue juga abis potong rambut, tahu. Nggak ada yang sadar apa?” Kata Tyo dari balik kubikelnya. Ia berdiri lalu memutar badannya. Memamerkan rambutnya dengan jumawa.
“Oh, pantesan aja. Tyo makin cantik.” Kata Jeni.
“Cantikan Ivi apa gue?” tanya Tyo. Pria itu menaruh kedua tangannya di pinggang dan bergaya.
“Ya Ivi dong.” Kali ini Yoga yang menjawab.
“Nggak ada yang ngajak ngomong elo, ya, Ga.” Sentak Tyo sambil merengut kesal dan kembali duduk di kursinya. Jeni dan Ivi terkekeh pelan.
Ivi masuk ke ruangannya. Ia menyesap air putih yang ada di meja lalu menyalakan komputernya.
***
Hujan mengguyur kota Jakarta siang itu. Tak ada karyawan yang keluar untuk makan siang. Hanya office boy yang bertugas membeli makanan untuk karyawan yang terpaksa keluar dengan menggunakan payung.
Jalanan yang biasanya ramai mendadak sepi. Hanya mobil yang terlihat berlalu lalang dan beberapa motor yang penggunanya memakai jas hujan. Kolong jembatan dan halte-halte mendadak ramai dijadikan tempat berteduh sementara.
“Kamu bawa makan, Van?” tanya Ibam saat Arif hanya memberikan tiga bungkus makanan.
“Iya, Mas.” Jawab Vanya.
“Makan di luar aja, yuk. Rame-rame sama yang lain.” Ajak Ibam. Fery dan Ari sudah keluar dari ruangan terlebih dulu.
“Nggak usah, Mas. Saya makan di sini aja.” Kata gadis itu sambil menggeleng pelan.
“Nggak apa-apa. Ayo.” Ibam mengambil kotak makan Vanya yang baru saja gadis itu keluarkan dari tasnya dan membawanya keluar.
Vanya menghela napas dan mengikuti Ibam keluar dari ruanganya. Di sebuah meja kotak yang tidak berpenghuni dan biasa dijadikan meja makan bersama, sudah berkumpul beberapa karyawan. Sisanya memilih makan di meja masing-masing. Ibam membawa kursi kosong terdekat dan menyuruh Vanya duduk di sebelahnya.
Vanya duduk di kursi yang sudah disediakan Ibam dan tersenyum kaku pada karyawan yang lain. Ari ada di sana juga, bersama Fery dan tampak akrab dengan karyawan laki-laki lainnya.
Vanya makan dalam diam. Ia hanya mendengarkan orang lain berbicara tanpa berani menimpali. Ia hanya mengulas senyum tipis saat seseorang melemparkan lelucon hingga membuat yang lainnya terbahak.
Ia melirik Ibam yang tertawa di sebelahnya. Pria itu sudah menyelesaikan makannya dan kini tengah saling mengejek dengan Riski dan membuat yang lain tertawa. Suasana di sana sangat menyenangkan. Ini adalah kali pertama Vanya berkumpul dnegan yang lainnya dan rasanya tak begitu buruk.
***
Hujan masih mengguyur Jakarta hingga sore. Kemacetan mulai terlihat di beberapa ruas jalan. Ivi masih berkutat dengan laporan saat Tyo masuk ke dalam ruangannya. Pria itu mendekat ke arah jendela di ruang Ivi dan melihat tetes hujan yang membasahi kaca gelap itu.
“Hujannya pakai formalin apa, yak? Awet banget.” Kata pria itu lalu berjalan dan menjatuhkan diri di kursi kosong di depan Ivi yang masih tampak sibuk.
“Ngapain sih pulang cepat- cepat. Kayak bakal ada yang nyariin aja.” Kata Ivi tanpa melepas pandangannya dari layar di depannya.
“Gue tadinya mau ngedate.” Kata Tyo.
“Sama siapa?” kali ini Ivi melepas tatapannya dari layar dan menatap Tyo yang tersenyum. Pria itu lalu mengutak-atik ponselnya dan menunjukkan sebuah foto pada wanita di depannya.
“Gue kenalan dari Tinder.” Kata pria itu sambil tersenyum.
“Wah… cantik.” Ivi berujar. Ia melihat lagi foto wanita dengan kulit putih dan rambut panjang yang ada di ponsel laki-laki itu.
“Iya lah. Tipe gue banget ini.”
“Sudah di cek belum backgroundnya? Nanti ternyata tunangan orang lagi, atau mungkin istri orang.”
“Ih… amit- amit, yak. Gue nggak ada bakat main rebut-rebutan kayak gitu.” Tyo bergidik.
“Nyokap lo udah nyuruh nikah lagi?” tanya Ivi. Ia tahu salah satu alasan Tyo gencar mencari pacar, ya, karena ibunya kerap memberondong pertanyaan pada pria itu kapan menikah.
“Iya. Pusing gue. Tiap hari yang di tanya kapan bawa pacar ke rumah? Kapan nikah? Mau mama jodohin sama anak teman mama nggak?” Tyo menirukan perkatan ibunya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat ia semakin tidak betah di rumah karena sikap ibunya. “nyokap gue takut gue jadi gay kali yaa.”
Ivi setengah tertawa mendengar cerita Tyo.
“Sabar, Yo. Nanti setelah nikah, akan ada lebih banyak pertanyaan.” Kata Ivi.
“Iya, ya, nanti kalau udah nikah, pada nanya kapan punya anak, kapan tambah anak. Duh, ampun deh.”
Ivi mengulum senyum. Dia bisa di bilang sudah kebal jika ada yang bertanya kapan hamil. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang pertama kali dilontarkan padanya saat ia bertemu teman-teman lamanya.
Ivi telah mengeraskan hatinya setiap kali diberi pertanyaan- pertanyaan yang mungkin biasa bagi orang lain. Tapi baginya, pertanyaan itu seperti kaset kusut yang terus menerus dilontarkan orang setiap bertemu dengannya. Kadang membuatnya jengah, kesal bahkan sedih. Beberapa orang mengira Ivi menunda memiliki momongan. Mareka pikir Ivi masih begitu terobsesi dengan karirnya sehingga tak pernah memikirkan untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Mereka pikir Ivi tak ingin melepaskan karirnya demi anak sehingga memutuskan menunda momongan. Ivi hanya mengulas senyum tipis setiap kali orang berpikir alasan kenapa ia belum memiliki anak. Ivi tak kuasa menjelaskan apa yang terjadi padanya. Ia menutup rapat sindrom yang ia derita. Ia ingin orang melihatnya baik-baik saja.
Jika Ivi bisa diberi pilihan. Ia ingin bisa langsung mengandung setelah menikah. Ia tahu bagaimana Ibam menyukai anak- anak. Juga posisinya dan Ibam sebagai anak tunggal pasti membuat kedua orangtua dan mertuanya ingin keduanya memiliki anak secepatnya.
Tapi, Ivi tak punya pilihan. Sama seperti jodoh dan maut, anak juga merupakan hak prerogratif Tuhan. Yang bisa ia lakukan adalah terus meminta kepada Yang Maha Kuasa.
TBC
LalunaKia