CHAPTER DUA BELAS

2178 Kata
      Vanya melirik jam tangannya, lalu ke depan di mana tetesan hujan masih jatuh cukup deras. Beberapa orang memilih tetap di kantor dan menunggu hujan mereda. Beberapa yang lainnya menerjang hujan dengan jas hujan. Orang yang mengunakan mobil hanya mengalami kemacetan karena jalanan tampak padat sore itu.            Seorang laki-laki keluar dari lift dengan sebuah payung berwarna hitam di tangannya. Laki-laki itu menghampiri Vanya dan berdiri di sebelahnya, tangannya terulur untuk memberikan benda yang ada di tangannya.            Vanya menoleh dan melihat Ari tersenyum kecil. “Jangan hujan-hujanan.” Kata laki- laki itu.            “Nggak usah. Gue naik angkutan aja dari depan kantor.” Vanya menolak dengan halus.            Ari mengambil sebelah tangan Vanya lalu menaruh payung di telapak tangan gadis itu. “hati-hati.” Ari membalik badan lalu masuk ke dalam lift sebelum Vanya sempat mengucapkan terima kasih. Vanya menatap pintu lift yang menelan sosok Ari lalu ke hujan yang masih turun di depannya.            Vanya mengurungkan niatnya untuk naik angkutan umum. Dengan payung yang dipinjamkan Ari, ia menyusuri jalanan menuju halte bus yang jaraknya sekitar satu kilometer. Suasana halte ramai karena bertepatan jam pulang kantor. Ia mentap kartu perjalanan lalu mengantri di koridor tujuannya.            Antrian di koridor mengular. Tubuh Vanya terdorong setiap kali bus datang dan orang saling berdesak-desakan berusaha untuk masuk. Vanya berdiri di antara orang-orang yang memadati bus. Sebelah tangannya berpegangan pada gantungan yang disediakan. Perjalanan untuk sampai ke halte terakhir, halte tujuannya, memakan waktu kurang lebih satu jam.            Setelah sampai di halte terakhir, ia melangkahkan kaki keluar dan menghampiri angkutan yang sudah berbaris rapi menunggu penumpang. Gadis itu naik ke dalam angkutan yang ada di paling depan, bersama empat orang lainnya. Angkutan itu bisa menunggu penumpang sampai setengah jam atau mungkin lebih hingga angkutan benar-benar penuh.            Hujan sudah berhenti saat Vanya turun dari angkutan umum. Ia menenteng payung milik itu dan menyusuri jalanan. Ia perlu berjalan sekitar lima menit hingga akhirnya sampai di kostnya.            Ia menempati sebuah kamar kecil. Kamar dengan kamar mandi di dalam itu cukup murah dan ia sudah menempatinya sejak kuliah. Kostan itu ada dua lantai. Ia menempati kamar di bawah dan semua kamar sudah terisi penuh. ***            Ibam mengetuk-ngetukkan jarinya di setir. Ivi sudah menguap beberapa kali. Kemacetan mengular sehingga satu jam yang biasanya sudah bisa mengantarkan mereka sampai rumah, kini masih setengah jalan. Suara klakson memekik di sekeliling. Ditekan oleh orang-orang tak sabar yang sebenarnya tak akan membuat jalan menjadi lancar seketika.            “Bam, aku lapar.” Lirih Ivi sambil menatap Ibam yang juga kebingungan.            “Gimana, dong. Ini mau belok juga nggak bisa. Padat gini.” Kata Ibam. Langit masih memuntahkan muatannya meski hanya rintik-rintik kecil yang tidak seberapa.            Ivi mendesah lalu menatap sekeliling. Matanya terpaku pada penjual bakpao di trotoar. Ia tidak punya pilihan. Bakpau itu setidaknya bisa mengganjal perutnya.            “Bam, aku keluar deh, ya. Cari makanan dulu.” Kata wanita itu.            “Ke mana? Nanti kalau tiba-tiba lancar gimana” kata Ibam.            “Ada tukang bakpao tuh di trotoar. Aku sebentar doang.” Ivi melongok ke belakang, Berniat mencari payung yang biasanya Ibam selipkan di belakang kursi. “payung mana, Bam?” tanya Ivi.            “Eh, nggak ada. Tadi aku pinjemin ke Vanya karena pas dia pulang masih hujan deras.” Jawab Ibam. Ivi kembali membalik badannya dan menatap air hujan yang menitik ke jendela mobil.            “Aku yang beli aja deh. Kamu tunggu sini.” Kata Ibam.            “Nggak usah.” Ivi langsung membuka pintu mobil lalu berlari-lari kecil menghampiri penjual bakpao di trotoar. Ia menutupi kepalanya dengan tangan meski tahu itu tetap akan membuatnya kebasahan. Wanita itu juga membeli sebotol air mineral dari penjual minuman yang ada di sebelah penjual bakpao lalu kembali ke mobilnya.            “Nekat banget, sih.” Kata Ibam saat melihat rambut dan baju wanita itu basah terkena rintik hujan.            “Ya abis gimana. Lapar.” Ivi memberikan satu kantong pada Ibam. Ia sendiri langsung membuka bungkus kertas dan mengigit bakpau isi ayam itu.            “Vanya itu memang tinggal di mana?” tanya Ivi sambil mengunyah.            “Di daerah Ragunan.” Ivi menatap Ibam yang menatap jalanan di depannya. Roda mobil jalan sedikit demi sedikit, sebelah tangan pria itu memegang bakpao dan mulutnya sibuk mengunyah.              “Dia tinggal sama orangtua?” tanya Ivi lagi.            “Nggak. Dia ngekost. Orangtuanya tinggal di luar kota.”            Ivi membulatkan mulutnya sambil mengangguk. “Terus kalau Ari gimana?”            Ibam menoleh pada Ivi yang juga tengah menatapnya. Bakpao yang ada di tangan wanita itu tersisa setengah.            “Dia tinggal di daerah Kemang.”            Ivi kembali fokus pada makanan yang ada di tangannya. Roda mobil mulai berjalan hingga akhirnya mobil itu melewati titik kemacetan.            Ibam yang sudah tak percaya jika Ivi tertidur langsung mengugah wanita itu saat melihat kedua mata Ivi terpejam. Pria itu terus mengusap lengan Ivi, mencoba membangunkan Ivi dari aktingnya karena wanita itu malas membuka pintu gerbang.            “Ivi…” Ibam membuka kacing kemeja Ivi paling atas.            “Vi…” Ibam melirih sambil membuka kancing kedua kemeja wanita itu.            Saat tangannya ingin membuka kancing ketiga kemeja wanita itu, tangan Ivi mencengkeram tangan pria itu kuat-kuat. Kedua mata Ivi melotot tajam pada Ibam yang langsung terkekeh pelan.            “Sekali-sekali nyobain di dalam mobil, yuk.” Kata Ibam.            “Dih, mau di grebek orang satu komplek.” Ivi berdecak. Ibam mengulum senyum lalu melihat Ivi keluar dari mobil dan membuka pintu gerbang.            Ivi bergegas ke kamar dan masuk ke dalam kamar mandi sementara Ibam langsung menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Pria itu memejamkan matanya dan tertidur pulas, kaos kaki masih membungkus kedua kaki pria itu.             Ivi keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiri meja riasnya. Ia melirik Ibam dari cermin yang ada di depannya. Suaranya hampir melengking kalau saja ia tak melihat kedua mata Ibam sudah terpejam dan pria itu tampak pulas.            Selesai melakukan kegiatan night skincare routinenya, Ivi pergi ke dapur dan kembali dengan segelas teh hangat. Ia menaruh cangkir yang ia bawa dari dapur di atas nakas. Tubuhnya bergerak masuk ke kamar mandi dan kembali dengan sebuah gayung berisi air dan sebuah sapu tangan.            Ia duduk di atas ranjang dan perlahan membuka kaos kaki yang masih membungkus kedua kaki pria itu. Ia membasahi handuk kecil dengan air dari dalam gayung yang ia ambil dari dalam kamar mandi dan mengusapkannya pelan ke wajah pria itu. Dahi pria itu mengernyit dan tubuhnya menggeliat, namun kedua mata itu tak terbuka. Ivi tersenyum kecil lalu melanjutkan mengusapkan handuk basah itu ke leher, tangan, sampai ke kedua kaki pria itu .            Ivi siap berdiri dan terkejut saat sebelah tangannya tertahan. Ia kembali terduduk di pinggir ranjang. Ibam menarik tangan Ivi hingga tubuh wanita itu terjatuh di atasnya. “Makasih…” lirih Ibam, “love you.” Ibam memeluk pinggang istrinya lalu menarik hingga tubuh wanita itu jatuh di sisi kasur yang kosong. Ivi tak menjawab, ia mengecup pelan bibir suaminya dan mengucapkan selamat malam. ***                        Ivi terbangun dan menepuk sisi sebelahnya yang sudah kosong. Ia menatap sekeliling dan tak menemukan Ibam di kamar itu. Ia melirik jam dan menyadari bahwa waktu masih sangat pagi. Ivi melangkah gontai ke kamar mandi dan keluar dengan handuk yang meliliti rambutnya dan bathrobe membungkus tubuhnya.            Wanita itu keluar dan menemukan Ibam tengah berdiri menghadap meja dapur. Tampak sibuk dengan sesuatu di depannya. Wanita itu menghampiri suaminya dan melingkarkan tangannya di pinggang pria itu.            “Kenapa udah bangun?” Ibam membalik badan lalu mengecup dahi istrinya dengan mesra. “udah mandi lagi.”            “Abis kamu udah nggak ada di sebelah.” Jawab Ivi, ia melongok ke balik punggung Ibam dan melihat sebuah piring dengan beberapa sandwich di atasnya.            “Aku kelaparan.” Ibam tersenyum lalu menarik kursi meja makan dan mempersilakan Ivi untuk duduk. Ia mengambil piring berisi sandwich buatannya dan menaruhnya di atas meja, lalu menuang air panas ke dalam gelas yang sudah di isi gula dan kantung teh dan menyajikannya di atas meja makan.            Ibam duduk di samping Ivi dan langsung melahap roti tawar yang ia buat sendiri. Ivi meniup tehnya dan menyesap pelan lalu ikut mengambil roti yang sudah Ibam buatkan untuknya dan mengigitnya.            Ibam menyesap menumannya setelah menghabiskan sandwichnya. Ia melirik Ivi yang masih berusaha menghabiskan roti isinya yang tinggal setengah. Ia menyeka sudut bibir wanita itu yang menyisakan remahan roti dan melihat wanita itu menyesap air tehnya hingga tersisa setengah.            Ibam mengambil piring dan gelas bekas pakai lalu mencucinya di bak sink sementara Ivi pergi ke ruang tamu. Waita itu mengambil hair dryer dari laci dan mulai mengeringkan rambutnya.            “Sini.” Ibam duduk di sebelah istrinya dan mengambil alat pengering dari tangan Ivi dan membatu wanita itu mengringkan rambutnya yang masih basah.            Ivi meraih remote di atas meja dan menyalakan televisi sementara Ibam fokus pada rambutnya. Jarinya memencet tombol di remote dan berhenti saat sebuah channel menampilkan acara gosip.            “Jum’at malam anak-anak pada mau nonton. Kamu bisa ikut nggak?” tanya Ibam. Ia memberitahu rencana teman-temannya untuk menyambangi biskop di jum’at malam sepulang kantor.             “Jum’at malam, ya.” Ivi tampak berpikir sebentar lalu berujar. “aku usahain deh.”            Ibam menyisir rambut istrinya yang sudah kering sempurna lalu melipat hairdryer dan menaruhnya kembali di laci. Wanita itu tengah menggendong Loki yang baru saja menghampirinya. Kucing Persian itu tampak nyaman bergelung dipelukan istrinya.            “Vi…” panggil Ibam saat ia kembali duduk di samping wanita itu. “mau dipeluk juga.”            Ivi menatap wajah Ibam yang penuh harap. “Nggak boleh. Aku udah mandi.” Jawab wanita itu. Sebelah tangannya masih mengelus bulu Loki yang berwarna abu-abu.            “Ish. Orang peluk doang.” Kata Ibam, “Pede banget bakal aku apa-apain.” Ibam mencebik lalu memeluk istrinya dengan paksa.            “Bam…” Ivi menggeliat. Ia menatap Ibam yang mengurai pelukannya. Wajah pria itu mendekat. Tak butuh waktu lama untuk membuat bibir Ibam menempel pada bibir istrinya. Sebelah tangan Ibam menyentuh wajah Ivi dengan posesif. Mata keduanya terpejam. Tautan bibir keduanya semakin intens.            Ivi tersadar lalu mengurai ciumannya.            “Aku malas mandi lagi.” Ivi tersenyum dan membuat Ibam berdecak kesal. ***                        Pipit berdiri di depan lift. Setelah pintu besi itu terbuka, wanita itu masuk. Ia baru saja hendak menekan tombol tutup saat melihat Vanya mendekat. Ia mengurungkan niatnya dan menekan tombol open dan menunggu hingga gadis itu masuk dan betrdiri disampingnya.            Vannya mengulas senyum ramah lalu mengucapkan terima kasih. Pintu yang sudah tertutup kembali terbuka. “Pagi, mbak Pipit.” Ari menyapa dengan senyum dan semangat. “pagi, Vanya.” Laki-laki itu masuk dan berdiri di samping Vanya.            “Pagi. Cerah banget muka lo hari ini.” ujar Pipit. Sementara Vanya hanya mengulas senyum tipis untuk membalas sapaan laki-laki itu.            “Hah? Masa sih.” Ari meraba wajahnya sendiri dan terkekeh.            Lift sampai di lantai ruangan kerja mereka. Ketiganya keluar satu persatu saat pintu besi itu terbuka. Pipit laangsung menuju meja kerjanya, sementara Ari dan Vanya masuk ke dalam salah satu ruangan yang ada di ruangan itu.            Keduanya masuk dan sudah ada Ibam di mejanya. Pria itu sudah berkutat dengan komputer dan lembar-lembar kontrak di mejanya.            “Van, ini nanti saya minta fotocopyin dua rangkap, ya. Satu taruh di meja saya, satunya lagi kamu filing.” Ibam menaruh satu bundle dokumen di depan meja Vanya.            “Iya, Mas.” Jawab gadis itu.            “Ari, nanti tolong follow up ke sekretaris ya, dokumen yang kemarin udah ditanda tangan sama bos belum.”            “Siap, Mas.”            Ibam keluar dari ruangan dan masuk ke dalam ruangan manager finance untuk memberikan dokumen pembayaran pada Jefry, manager keuangan yang menggantikan posisi istrinya. Setelah menyelesaikan urusannya dengan Jefry, pria itu keluar dari ruangannya. ***            “Ri, ini payungnya. Makasih, ya.” Vanya mengulurkan payung yang baru saja ia keluarkan dari dalam tasnya.            “Oh, iya. Sebenarnya ini punya mas Ibam.” Ari mengambil payung itu dari tangan Vanya dan menaruh di mejanya.            “Punya mas Ibam?” Vanya mengulangi jawaban Ari. Iya melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya mengangguk.            “Mas Ibam nyuruh gue ngasih payung itu sama lo. Takut lo nggak bawa payung terus ujan-ujanan.” Jelas Ari.            Vanya menoleh ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan sosok Ibam di baliknya. Pria itu tak menoleh ke arahnya dan langsung duduk di kursinya.            Vanya melirik Ibam dari kursinya dan melengkungkan senyum tipis. Suara dering telepon menggema. Ibam mengangkat telepon yang ada di mejanya dan tampak serius membicarakan pekerjaan dengan orang diujung sambungan.            Vanya melihat wajah pria itu tampak serius, namun sesekali mengulas senyum tipis. Mata pria itu menatap ke layar komputer dengan sebelah tangan yang menggerakkan mouse yang ada di atas meja namun fokusnya tetap pada orang di seberang telepon.            “Yaudah nanti kalau udah dapat info, gue email, deh, ya.” Ibam menutup pembicaraannya dan menaruh gagang telepon pada tempatnya. Fokus pria itu kembali ke layar komputer. Jari-jarinya menari di atas papan ketik dengan lihai.                 Pria itu memakai kemeja hitam pendek dan tampak cocok di kulitnya yang sawo matang. Rambut pria itu tersisir rapi dan Vanya bisa mencium wangi cologne saat pria itu menaruh dokumen di atas mejanya. Vanya menyukai wangi cologne menyegarkan yang menguar dari pria itu saat keduanya berdekatan.            Vanya mengeleng-gelengkan kepalanya. Mencoba mengembalikan kesadarannya dan membuang jauh-jauh apa yang saat itu mengganggu pikirannya.   TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN