Jam menunjukkan pukul setengah enam kurang saat Tyo masuk ke ruangan Ivi. Pria itu menaruh satu bendel dokumen di atas meja.
“Mau ke mana lo? Tumben udah beres-beres aja.” Kata Tyo sambil duduk di kursi di depan Ivi. Wanita itu tengah membereskan dokumen di mejanya dan memasukkan barang pribadinya ke dalam tas.
“Mau nobar. Ikut yuk.” Ajak Ivi.
“Sama siapa?” Pria itu bertanya sambil menumpu salah satu kakinya ke kaki lainnya.
“Sama Ibam, sama anak-anak kantornya.” Meja wanita itu sudah rapi. Ivi kini menatap Tyo yang tampak berpikir.
“Nggak apa-apa kalau gue ikut?”
“Iya gak apa-apa, lah. Ayo buruan siap-siap.”
Tyo mengangguk lalu keluar dari ruangan untuk membereskan mejanya. Kurang dari sepuluh menit, ia kembali ke ruangan Ivi dengan ransel yang sudah menggantung di punggungnya.
Keduanya keluar dari ruangan saat jam menunjukkan pukul setengah enam. Beberapa karyawan terlihat sedang membereskan meja, yang lainnya sudah mulai menjejalkan jempolnya ke mesin absensi.
Tyo membuka kunci mobil dan membiarkan Ivi masuk ke kursi penumpang sementara ia melesak ke belakang kemudi. Keduanya pergi menuju salah satu mall tak jauh dari kantormya.
***
“Van, yang lainya pada mau nobar. Kamu kalau nggak ada acara, ikut aja.” Ajak Fery. Pria itu baru saja mematikan komputernya.
“Nggak deh, Mas. Saya pulang aja.” Gadis itu menolak secara halus.
“Ikuta aja. Kita ngambil yang jam tujuh kok, jadi selesainya nggak terlalu malam.” Ari memberi info.
“Ikut aja, saya sudah bayar.” Kata Ibam.
“Ibam yang traktir, Van.” Kata Fery.
“Vanya sama Ari doang, ya.” kata IBam, ”besok lo gantiin duit gue.” katanya pada Fery yang langsung berdecak.
“Dih, pelit.”
Keempatnya keluar dari ruangan legal dan melihat karyawan lain yang akan ikut dengah mereka sudah bersiap-siap. Pipit sudah memberi komando untuk menuju mall. Empat orang yang tak membawa kendaraan menumpang pada mobil Ibam sedangkan sisanya langsung menuju mall dengan motor masing-masing.
“Ivi ikut kan?” tanya Pipit saat ia masuk ke mobil dan duduk di sebelah pria itu. Vanya, Umay dan satu orang lainnya duduk di kursi belakang.
“Ikut. Dia udah sampai di mall, sama temannya.”
***
Ivi masuk ke sebuah kedai kopi yang ada di mall itu. Tyo sudah memesan es kopi sedangkan Ivi memegang botol air mineral di tangannya. Keduanya memutuskan untuk menunggu Ibam dan teman-temannya di kopi shop itu.
“Ardian sama Ami udah go public, loh.” Kata Tyo saat duduk di depan Ivi dengan cup kopi yang langsung ia letakan di atas meja. Ivi menatap raut wajah Tyo yang sepertinya sebentar lagi akan membeberkan gosip-gosip terpanas di kantornya. Ivi yang memiliki ruangan sendiri jelas tak pernah update masalah gosip di sekelilingnya. Setiap hari, ia hanya berkutat dengan pekerjaannya dan tak pernah mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar ruangannya.
Tyo lah yang biasanya memberitahu gosip-gosip apa yang sedang beredar di kantor mereka. Tyo adalah pria paling update dengan gosip yang ada di seklilingnya. Pria itu pandai bergaul dengan semua kalangan dan divisi sehingga biasanya menjadi orang pertama di lantainya yang paling tahu apa yang terjadi di lantai-lantai lainnya.
“Kalau gue jadi Ami, gue mending ngegaet direktur yang masih single sekalian.” Kata Tyo dengan gesture khasnya.
Ivi hanya tertawa lalu tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, “Cewek yang kenal sama lo di tinder, gimana?”
“Ya ampuuuun.” Tyo menepuk dahinya, “gila, ya. Udah punya cowok tahu, nggak, tuh cewek.” Tyo mulai bercerita. “cowoknya chat gue marah-marah, katanya gue godain ceweknya.”
Ivi tak bisa menahan tawanya sehingga ia tertawa lebar di depan Tyo yang menunjukkan raut wajah kesal. “gue bilang aja ceweknya yang kegatelan. Udah punya cowok masih aja mainan tinder. Kesel gue.” Pria itu menyesap kopi dari gelasnya dengan raut wajah jengkel yang masih mendominasi.
“Gue bilang apa. Untung lo belum terlanjur cinta.” kata Ivi. Ia menatap dinding kaca kedai kopi itu dan melihat Ibam dan beberapa temannya berjalan mendekat.
“Benar-benar, deh. Mimpi apa gue bisa di maki-maki sama orang, padahal ceweknya sendiri yang salah. Gue mana tahu dia udah punya pacar. Memang gue cenayang.”
Keduanya berdiri saat melihat Ibam semakin dekat. Tyo mengambil cup es kopinya dan berjalan mengekori Ivi yang menghampiri suami dan teman-temannya.
Ivi menjabat tangan teman-temannya dan memeluk Pipit sekilas.
“Ini Tyo, teman gue.” Tyo menjabat tangan sembilan tangan teman-teman Ibam yang ada di sana. Setelahnya, matanya terpaku pada Pipit yang berdiri di sebelah Ibam. Wanita itu berambut pendek sebahu, dengan kemeja dan jeans yang tampak santai. Wanita itu berkulit sawo matang dengan senyum manis yang meng hiasi wajahnya.
“Langsung ke atas, yuk.” Ajak Pipit. Semuanya berjalan beriringan menuju lantai paling atas, di mana bioskop berada.
Ivi langsung melingkarkan lengannya di lengan Ibam lalu mengekori yang lainnya. Vanya menatap Ivi yang berjalan di depannya. Wanita itu memakai blouse berwarna biru muda dengan rok pendek. Kakinya dibalut hak dengan model hak tahu tiga senti. Sebelah tangannya menenteng tas yang tampak mahal. Kulit putih dengan rambut sebahu yang tampak pas. Wanita itu tampak sangat cantik dalam pandangannya.
Pipit dan Umay pergi mendekati mesin untuk mencetak tiket yang sudah mereka pesan melalui aplikasi. Yang lainnya menunggu di bangku yang disediakan, beberapa lagi mengantri untuk membeli popcorn dan minuman.
Mata Vanya masih terarah pada Ivi dan Ibam yang sedang mengantri di loket penjualan makanan ringan. Sebelah tangan Ibam merangkul bahu wanita itu dengan posesif. Keduanya tampak mengobrol dengan mesra diselingi tawa dari keduanya.
Fokus Vanya teralihkan saat melihat satu kantong plastik berisi popcorn dan secup minuman diulurkan ke arahnya. Ia menoleh dan melihat senyum Ari di sebelahanya. Vanya masih menatap Ari yang mengisyaratkannya untuk menerima pemberiannya.
“Ini promo buy 1 get 1.” Ujar Ari hingga akhirnya Vanya menerima pemberiannya.
“Makasih.” Kata gadis itu pelan. “itu pacarnya mas Ibam?” tanya Vannya.
“Itu istrinya.” Jawab Ari. Vanya cukup terkejut namun berusaha menjaga mimik wajahnya. Ia sama sekali tidak tahu kalau laki-laki itu sudah menikah dan tidak pernah ada yang memberitahunya.
“Dulu istrinya itu manager keuangan di kantor.” Ari memberitahu, “mereka nikah udah lima tahunan lebih kayaknya, deh.”
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Vanya. Ia sama sekali tak tahu bahwa seniornya itu sudah beristri. Mungkin karena ia jarang bergaul denagn karyawan lain sehingga ia tak tahu apa-apa tentang pria itu. Ia pikir status pria itu sama seperti Fery yang belum menikah.
“Bukannya di kantor nggak boleh pacaran sesama karyawan, ya.” Vanya ingat saat interview dengan HRD bahwa salah satu peraturan di kantor yang menarik baginya adalah bahwa tak boleh berpacaran sesama karyawan.
“Ya… makanya istrinya akhirnya resign.” Kata Ari, “gue dengar banyak juga sih pasangan yang cinlok di kantor. Cuma, ya, salah satu memang harus resign.”
Pandangan Vanya kembali pada Ibam dan Ivi yang baru saja selesai mengantre. Pria itu melepas jaketnya dan menyampirkannya di punggung istrinya. Keduanya terlihat sangat serasi.
***
Setelah keluar bioskop, mereka memutuskan untuk menyambangi sebuah restoran untuk makan malam. Ivi mengobrol banyak dengan teman-teman lamanya. Membicarakan banyak hal. Tyo juga dengan mudah berbaur dengan yang lainnya.
Vanya melirik Ivi diam-diam. Wanita itu makan dengan anggun dan hanya dengan mendengar wanita itu berbicara, ia bisa menilai wanita itu adalah wanita yang cerdas.
“Tyo, lo kalem banget hari ini.” Kata Ibam. Tyo berdehem lalu melotot pada Ibam yang langsung mengulum senyum.
Mereka membicarakan banyak hal. Hal-hal yang dulu bisa Ivi lakukan setiap hari karena mereka satu kantor. Ivi, Pipit dan Umay mendominasi pembicaraan.
“Kalau ada yang mau pacaran satu kantor, berguru nih sama Ivi sama Ibam.” Kata Pipit yang langsung membuat yang lainnya tertawa, “bisa-bisanya nggak ketahuan kapan pacaran, tahu-tahu nyebar undangan.” Lanjutnya.
“Iya, ya. Padahal mereka lebih sering kelihatan ribut daripada akurnya.” Kata Fery.
“Sampai sekarang juga masih sering ribut, kok.” Kata Ivi sambil tertawa. Begitu juga dengan yang lainnya. Mereka banyak membahas masa lalu yang mengundang tawa.
Setelah puas bernostalgia, mereka keluar dari resto. Mereka berpisah saat mencapai lantal dasar, sebagian dari mereka sudah keluar dari mall dan menyisakan Ibam, Ivi, Tyo dan Pipit.
“Bam, gue nebeng sampai halte ya.” Kata Pipit.
“Eh, rumah Tyo juga sekitaran pasar minggu, lho. Bareng aja.” Kata Ivi. “nggak apa-apa, kan, Yo?” Ivi menatap Tyo yang langsung mengangguk. laki-laki itu tidak repot-repot untuk berpikir.
“Nggak apa-apa. Kebetulan kalau searah.” Tyo menyambut usulan Ivi dengan terbuka.
Ivi dan Ibam saling pandang lalu mengulum senyum. Keempatnya pergi menuju basement dan masuk ke mobil masing-masing.
“Tyo kenapa mendadak macho pas ketemu Pipit.” Kata Ibam yang langsung membuat Ivi mengangguk setuju.
“Dia baru kenalan sama cewek di tinder, tapi gagal berlanjut karena ternyata ceweknya udah punya pacar.”
“Pas, kali aja jodoh sama Pipit.” Kata Ibam sambil membuka jendela mobil dan menempelkan kartu parkir pada mesin. Roda mobil berputar hingga keluar dari area mall.
“Bam, itu bukannya junior kamu?” tanya Ivi saat melihat seorang gadis berdiri di pinggir jalan untuk menunggu angkutan umum.
“Vanya?” Ibam memusatkan tatapannya lalu berujar, “iya.” Katanya dengan nada tak acuh.
“Minggir, Bam.” suruh Ivi. Ibam memutar kemudinya gara mobil berada di jalur kiri dan menghentikan mobilnya tepat di depan gadis itu.
Vanya mundur selangkah saat tiba-tiba ada mobil berhenti di depannya. Namun saat jendela mobil terbuka dan menampakkan orang yang ada di dalamnya, ia mengulas senyum tipis.
“Tunggu angkutan?” Ivi bertanya.
“Iya, Mbak.” Jawab Vanya.
“Bareng aja. Kita searah, kan.” Tawarnya.
“Nggak usah, Mbak.” Vanya mencoba menolak secara halus.
“Nggak apa- apa. Udah malam. Angkutan juga udah jarang pasti.”
Vanya melirik Ibam yang mengangguk pelan hingga akhirnya ia menerima tawaran wanita itu. Gadis itu masuk ke kursi bagian belakang. Ivi mencoba membuka obrolan pada Vanya yang duduk di belakangnya. Gadis itu menjawab semua pertanyaan Ivi dengan ramah.
Ibam menurunkan gadis itu di depan kostnya karena Ivi memintanya mengantar gadis itu sampai rumah karena hari semakin malam.
“Makasih, Mbak, Mas.” Kata Vanya sebelum keluar dari mobil.
“Sama-sama.” Kata Ivi. Vanya tersenyum dan keluar dari dalam mobil. Ivi masih sempat melambai pada gadis itu sebelum mobil Ibam kembali berjalan meninggalkan kawasan itu.
***
Ivi masuk ke dalam rumah dan melihat Loki berlari ke arahnya. Ia berjongkok lalu mengambil Loki dan menggendongnya ke sofa ruang tamu. Ibam melesak di sampingnya lalu mengambil Loki dari gendongannya.
Ibam mengusap bulu halus Loki lalu merebahkan dirinya di sofa dengan posisi kepala di paha Ivi. Kucing itu tampak nyaman bergelung di atas badan Ibam.
“Besok jadwal ke dokter, ya, Vi?” tanya Ibam.
“Iya.” Ivi mengusap rambut Ibam pelan. Wanita itu berdehem lalu berujar pelan. “kalau hasilnya belum bagus, gimana, Bam?”
“Ya nggak apa-apa.” Ibam menatap Ivi sambil tersenyum kecil. Memberitahu wanita itu bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “kita kan baru mulai program lagi. Jadi santai aja.” Ibam mencubit sebelah pipi istrinya. Loki loncat dari pelukan Ibam lalu berjalan menghampiri kotak makannya.
“Aku nggak pernah mau kamu terbebani. Jadi apapun hasilnya, yaa, kita terima aja, ya. Kita masih punya banyak waktu, kok. Baru lima tahun. Ada banyak yang nunggu lebih lama dari kita.”
Ibam melihat Ivi mengangguk pelan. “pokoknya jangan sampai program hamil ini bikin kamu stress atau malah jadi banyak pikiran.” Ibam bangun dari tidurnya dan menghadap ke arah istrinya. “aku cuma pengin kita bahagia terus.”
“Mana bisa, sih, Bam, hidup orang bahagia terus. Kita nggak pernah tahu masalah apa yang akan datang nantinya.” Jawab Ivi. Selama lima tahun pernikahannya, rumah tangga mereka memang terlihat adem ayem. Hanya kehadiran seorang anak yang awalnya membuat Ivi merasa bahwa ini akan menjadi masalah besar. Tapi, Ibam menanggapinya dengan santai. Pria itu meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Mereka diberi rejeki yang lebih dari cukup, kedua orangtua yang sangat baik, karena sama-sama terlahir sebagai anak tungal, keduanya tak perlu menghadapi drama dengan kakak atau adik ipar. Ivi merasa banyak hal yang harus disyukuri biarpun keluarga mereka belum dikaruniai seorang anak.
“Kita, kan, udah janji, masalah sebesar apapun, kita akan tetap sama-sama.” Ibam mengingatkan janji mereka sebelum menikah.
“Tapi kan, ada dua hal yang nggak bisa aku kompromiin.” Kata Ivi.
“Iya, KDRT dan selingkuh, kan? Itu bukan aku banget.” Kata Ibam dengan percaya diri. “coba bayangin, kalau aku pukul kamu pakai tangan, kamu pasti bakal balas mukul aku pakai linggis.” Jawabnya sambil tertawa. Ivi mencubit pinggang Ibam yang masih tertawa. “sama aja aku cari mati.” Lanjutnya.
“Kamu bukan tipe perempuan yang bisa di KDRT-in.” Ibam mengambil sebelah tangan Ivi sang mengusapnya pelan. “udah nggak terhitung juga berapa kali aku bilang cuma kamu yang bisa nandingin egoisnya aku. Aku nggak mungkin kepikiran buat nyari perempuan lain.”
Ivi tersenyum saat merasakan dadanya menghangat.
“Meskipun cinta aku sama kamu habis nggak bersisa, aku nggak mungkin mengingkari komitmen aku untuk selalu sama kamu.” Ibam mengusap tangan Ivi dalam gengamannya, “aku kan mau lihat rambut kamu putih, muka kamu keriput, jalan kamu bungkuk. Pasti seru lihat kamu berubah jadi nenek- nenek.” Ibam tertawa sementara Ivi mengulas senyum tipis.
TBC
LalunaKia