Ivi dan Ibam keluar dari mobil dan berjalan beriringan menuju pintu rumah sakit. Ivi mengambil nomor antrian dan duduk di kursi yang disediakan, Ibam duduk di sebelahnya.
Rumah sakit tampak padat hari itu. Beberapa orang memadati kursi-kursi di ruang tunggu. Sebagian menunggu antrian di pendaftraan, yang lainnya menunggu namanya dipanggil oleh apoteker.
Beberapa orang terlihat berlalu lalang mengurus admistrasi dan kesibukan lainnya. Para perawat tak luput dari pandangan keduanya yang berjalan dengan map-map di tangan mereka.
Ivi berdiri saat nomornyanya dipanggil dan mendekat ke bagian pendaftaran. Setelah karyawan berseragam itu menanyakan dokter yang ingin ia temui, wanita itu mencetak sebuah form dan meminta Ivi menunggu di poli kandungan.
Jam menunjukkan pukul lima sore saat Ibam dan Ivi menunggu di kursi di depan poli kandungan. Suasana cukup ramai. Mata Ivi menatap sekeliling, di mana ibu-ibu dengan perut yang membesar tengah ikut menunggu bersama suami mereka.
Ivi tersenyum tanpa sadar, membayangkan bagaimana bahagianya jika bisa menjadi bagian dari ibu dan calon Ibu yang ada di sekelilingnya. Ibam menggengam tangan istrinya, Ivi menoleh dan melihat Ibam tengah menatapnya. Ivi mengulas senyum tipis lalu menunggu hingga namanya dipanggil oleh perawat.
“Sel telurnya masih kecil-kecil.” Kata dokter saat melakukan USG transvaginal pada Ivi. Napas Ivi nyaris tertahan, namun ia melihat Ibam tersenyum kecil dan mengisyaratkan dirinya untuk tak bereaksi berlebihan.
“Tapi ini sudah lebih besar dari sebelumnya, meski belum cukup matang untuk dibuahi.” Kata dokter itu. “nggak apa-apa, saya resepin obat lagi, ya.” Kata dokter wanita itu.
Ibam membantu Ivi bangun dari ranjang dan keduanya duduk di depan dokter yang memberikan penjelasan. “lanjutin pola hidup sehat sama rutin olarahraga, ya.” Kata dokter wanita berkacamata itu, “nanti sekitar sepuluh hari setelah hari pertama mens, kita cek lagi gimana perkembangannya.” Tambahnya.
“Iya, dok.” Kata Ivi saat dokter itu menuliskan resep untuknya.
“Dan jangan stress.” Wanita itu tersenyum kecil pada Ivi. Mencoba menenangkan pasiennya.
Ivi dan Ibam keluar dari ruangan dokter. Ibam menggenggam erat tangan Ivi dan menyuruhnya menunggu di lobi sementara ia memberikan resep ke apotek dan menunggu resep obatnya siap.
Ivi menunduk menatap kakinya yang dibalut flat shoes warna cokelat. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa tak semua akan berjalan sesuai dengan rencananya. Ini bukan kabar buruk pertama yang ia dapatkan. Saat menjalani program hamil sebelumnya, Ivi juga banyak menelan pil pahit karena setelah program berbulan-bulan, ia tak unjung hamil. Wanita itu melakukan banyak pemeriksaan yang menguras keuangan, dan energinya. Wanita itu banyak menahan sakit selama pemeriksaan hingga membuatnya trauma. Tapi, keinginannya unutk memiliki anak jauh lebih besar sehingga akhirnya ia kembali bersedia menjalani program hamil dan mencari dokter baru yang ia harap bisa membantunya untuk menyembuhkan sindrom yang dideritanya.
“Yuk.” Ivi mendongak dan melihat Ibam berdiri di depannya. Pria itu mengulurkan sebelah tangannya, tangan satunya lagi menenteng kantong plastik bertuliskan apotek rumah sakit itu dan alamat lengkapnya.
Ivi meraih uluran tangan Ibam lalu berjalan bersisian dengannya sampai masuk ke dalam mobil. Wanita itu menatap jalanan menjelang malam. Resto-resto di pinggir jalan tampak mulai ramai karena itu malam minggu. Anak-anak muda berlalu-lalang di trotar.
Ibam sesekali melirik Ivi yang membuang pandang ke luar jendela. Wanita itu tak mengucapkan sepatah katapun setelah keluar dari rumah sakit. Ibam tahu apa yang dirasakan istrinya. Wanita itu kecewa meski hal ini bukan yang pertama kali.
“Kamu mau makan di mana, Vi?” tanya Ibam. Wanita itu tak menjawab. Masih menatap fokus pada trotoar yang tampak ramai saat mobil berhenti di perempatan dengan lampu merah yang menyala.
Ibam menyentuh bahu wanita itu hingga wanita itu tersadar dari lamunanya dan langsung menoleh ke arahnya. “Iya.” Katanya sambil menatap suaminya.
“Mau makan di mana?” tanya Ibam sekali lagi. Ivi tampak berpikir sebentar lalu menyebutkan kafe yang menyajikan makanan sehat milik salah chef yang cukup populer di bilangan Jakarta Selatan. Ibam mengangguk lalu memutar kemudinya menuju restoran yang dimaksud.
Ivi kembali menatap jalanan yang ramai. Ia menatap kesibukan orang-orang, senyum dan tawa mereka, seakan malam ini hanya dirinya saja yang bersedih. Ibam fokus dengan jalanan dan kemudinya hingga akhirnya mobil itu memasuki pelataran kafe.
Ibam keluar dan membukakan pintu untuk istrinya yang saat itu sepertinya kehilangan semangatnya. Keduanya berjalan bersisian memasuki kafe minimalis yang interiornya didominasi aksen kayu-kayuan. Kafe itu tak terlalu besar namun tampak cukup nyaman.
Ivi dan Ibam menempati meja kosong hingga pelayan menghampiri mereka dan menyankan pesanan. Pelayan itu mengulang kembali pesanan keduanya hingga akhirnya berlalu dari pandangan mereka dan meneruskan pesanan ke bagian dapur.
“Vi, kenapa?” tanya Ibam pelan. Sebelah tangannya menyentuh tangan istrinya di atas meja.
“Ha? Nggak apa-apa kok. Kenapa emang?” kata Ivi, mencoba menyembunyikan apa yang ia rasakan. Tapi, Ibam tak bisa dibohongi begitu saja. Ia tahu bahwa wanita itu kecewa, wanita itu terlihat tak baik-baik saja. Ibam bisa tahu hanya dengan melihat sorot matanya.
Ivi tak menjawab, hanya menggeleng lalu tersenyum kecil.
“Ingat kata dokter, ya. Kamu nggak boleh stress.” Ibam mengingatkan perkataan dokter. “nggak usah mikirin yang macam-macam. Aku nggak mau program ini malah jadi beban buat kamu.” Ibam meremas tangan Ivi yang ada dalam gengamannya.
Wanita itu tersenyum kecil, “ini bahkan bukan pertama kalinya usaha kita nggak membuahkan hasil, tapi aku masih aja belum terbiasa.” Kata wanita itu sambil tersenyum kecut.
“Bukan nggak membuahkan hasil, tapi belum.” Ibam mengingatkan. Ivi mengangguk. Ibam benar, ia tak seharusnya pesimis hanya karena hasil pemeriksaan tak sesuai dengan keinginanya. Ia seharusnya sadar, saat memutuskan untuk kembali melakukan program hamil, ia harus memperbanyak sabarnya. Ia tak cuma harus mengikuti saran dokter untuk mejalani pola hidup sehat. Lebih daripada itu, ia tak boleh stress atau harus selalu bahagia. Karena percuma hidup sehat ia jalani, namun hati dan pikirannya yang justru tak sehat.
Makanan pesanan mereka disajikan di atas meja. Keduanya menyantap dalam diam. Beberapa orang keluar dari kafe dan yang lainnya masuk. Pasangan muda-mudi mendominasi isi kafe. Ivi menyesap minumannya dan teralihkan saat melihat pasangan anak muda melewati meja mereka dan menempati meja tepat di sampingnya. Pasangan itu ditaksir Ivi masih berumur sekitar dua puluhan, namun pria itu sudah menggendong seorang anak perempuan lucu berumur sekitar satu tahunan.
Ivi tersenyum saat bayi perempuan itu didudukkan di baby chair yang langsung menghadap ke arahnya. Ia juga tersenyum kepada orangtua si bayi yang kebetulan menoleh ke arahnya.
Ibam mengikuti arah pandang Ivi dan menatap sosok anak yang sama. Bayi perempuan itu memakai jumper model tutu berwarna merah marun dengan bandana di kepala dengan warna serupa. Kedua tangan kecilnya memegang biskuit bayi yang baru saja diberikan si ibu. Bayi itu mengigit biskuit dan Ivi bisa melihat dua buah gigi depannya saat bayi itu membuka mulutnya.
Ibam menyentuh tangan Ivi di atas meja untuk menyadarkan wanita itu dari kesenangan sesaatnya. Ivi menoleh lalu menatap Ibam tengah menatapnya dengan tatapan tidak terbaca. Ivi menyesap minumannya yang tersisa setengah lalu menarik napas panjang.
Ibam ingin menyadarkan Ivi secepatnya. Ia tahu, hal-hal seperti itu yang semakin membuat Ivi sedih kala usaha mereka belum membuahkan hasil. Ia harus membangunkan wanita itu dari lamunannya yang terasa menyenangkan. Ia harus menarik Ivi kembali ke realita sebelum wanita itu tenggelam terlalu dalam. Ibam tahu, Ivi akan terus tersenyum saat melihat anak kecil, membayangkan bagaimana menyenangkannya menjadi seorang ibu dari seorang anak lelaki tampan ataupun seorang putri yang cantik. Tapi setelahnya, wanita itu akan merasa kosong, bahkan jauh lebih kosong dari sebelumnya karena baru saja disuguhi keindahan semu, yang masih harus ia tunggu kehadirannya entah sampai kapan.
“Pulang, yuk, Bam.” ajak Ivi. Ibam menoleh lalu memanggil pelayan untuk meminta bill. Ivi menghabiskan isi gelasnya lalu meninggalkan meja setelah Ibam menyelesaikan pembayaran. Ivi keluar dari resto, Ibam mengekor di belakangnya. Ivi masuk ke dalam mobil setelah Ibam berjalan mendahuluinya untuk membukakan pintu untuknya.
Ibam memutar lalu masuk ke kursi supir dan menjalankan mobil menuju kediamannya. Ia langsung turun dari mobil untuk membuka gerbang lalu memasukkan mobil ke dalam garasi rumahnya saat sampai.
Ivi turun lalu masuk ke dalam rumah. Ia langsung pergi ke dalam kamar dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang.
Ibam pergi ke dapur setelah mengisi kotak makan Loki yang hampir kosong. Ia lalu pergi ke kamar dengan gelas besar berisi air putih. Ia menatap Ivi yang sudah bergelung di bawah selimutnya dengan posisi membelakanginya. Pria itu naik ke atas ranjang, memeluk istrinya dari belakang dan menyerukkan kepalanya ke rambut istrinya.
Mata Ivi terpejam, namun ia tidak tertidur. Ia merasakan tangan Ibam yang melingkari pinggangnya dan kepala bagian belakangnya yang dicium pria itu berkali-kali. Ivi menarik napas panjang berkali- kali, mencoba menahan diri karena entah kenapa ia tahu bahwa sebentar lagi ia akan menangis.
Dan akhirnya tangis pecah saat ia merasakan tangan Ibam meremas bahunya pelan. Ia terisak pelan. Tangan Ibam masih mengusap bahu istrinya pelan. Menyalurkan ketenangan pada wanita itu. Pria itu membiarkan Ivi menangis. Ia membiarkan wanita itu melepas keresahannya. Ia lebih suka melihat wanita itu sesekali menangis, daripada terus menerus berusaha kuat.
Setelah merasa isakan istrinya mereda, ia menarik pinggang Ivi hingga wnaita itu berbalik menghadapnya. “aku nggak tahu kenapa aku nangis.” Kata wanita itu dengan nada terbata-bata. Ibam mengusap bekas air mata di pipi wanita itu dan merapikan rambut yang menutupi wajahnya.
“It’s ok.” Kata Ibam. Pria itu duduk lalu mengambil obat di atas nakas. “minum obat dulu, ya.” Kata Ibam. Ia membuka obat yang diresepkan dokter dan memberikannya pada Ivi yang duduk di depannya. Sebelah tangannya lalu mengambil air yang ia bawa dari dapur untuk membantu wanita itu menelan obat.
Ibam mengambil kembali gelas yang dikembalikan Ivi. Ia menatap mata Ivi yang memerah lalu tersenyum kecil. Ivi menunduk saat melihat Ibam menatapnya. Ia berdecak, malu karena Ibam melihatnya menangis. Ia tak suka dilihat saat menangis, dan menyesal karena tak bisa menahan tangisnya saat tangan Ibam meremas bahunya.
Ibam menyentuh dagu Ivi dan mengangkatnya hingga menatap ke arahnya. Tapi mata wanita itu menatap ke segala arah. “Malu?” tanya Ibam sambil mengulum senyum. Ia melihat Ivi mengangguk pelan. Ibam tahu, wanita kuat seperti Ivi tak suka terlihat lemah, bahkan oleh suaminya sendiri. Wanita itu lebih suka menangis tanpa diketahui siapapun. Wanita itu lebih suka menyimpan semua masalah sendiri dan tetap terlihat kuat dari luar.
Wanita itu tak pernah ingin terlihat lemah oleh siapapun. Diantara semua masalahnya, wanita itu masih bisa berdiri tegak dan tersenyum, meski harus menangis setelahnya. Meski wanita, Ivi memang terlahir sebagai perempuan yang tidak cengeng. Wanita itu terlahir sebagai sosok yang kompetitif dengan segudang ambisi dalam pendidikan dan karir hingga akhirnya bisa sampai pada posisi sekarang.
***
Hari masih sangat pagi saat Ibam membuka matanya dan melihat Ivi masih tertidur pulas di sebelahnya. Tangannya terulur untuk mengusap pipi wanita itu. Setelah puas memandangi wajah pulas istrinya, ia bangun dan menarik selimut hingga ke d**a wanita itu. Setelahnya, ia masuk ke kamar mandi dan keluar beberap menit kemudian.
Ia keluar dari kamar dan pergi ke ruang tamu untuk menyalakan robotic vacuum cleaner dan membiarkan beNda bulat itu mengelilingi ruangan untuk membersihkan debu yang ada dilantai dan karpet. Kakinya lalu melangkah ke ruang cuci. Ia memasukkan cucian kotor ke dalam mesin cuci satu tabung yang ada di sana, memasukkan cairan sabun cuci dan cairan pewangi ke dalam mesin lalu menekan beberapa tombol pada mesin hingga tabung itu berputar.
Meninggalkan ruang cuci, ia pergi ke halaman dan menyiram tanaman.
“Mas Ibam, rajin banget pagi-pagi udah nyiram tanaman.” Seorang tetangga yang kebetulan lewat menyapanya.
“Iya, Bu.”
“Mbak Ivinya mana?” tanya wanita berdaster batik itu.
“Ada di dalam.” Jawabnya, “mau ke mana, Bu?” tanyanya basa-basi.
“Mau ke warung. Saya duluan, ya.”
Ibam mengulas senyum tipis dan melihat tetanggannya menghilang dari pandangannya. Ia melanjutkan menyiram tanaman dan rumput di halaman depan lalu dilanjutkan dengan mencuci mobil dan motornya.
Setelah memastikan mobil dan satu motornya bersih, ia kembali ke ruang cuci untuk mengangkat pakaian dari dalam mesin lalau menjemurnya di taman belakang rumahnya.
Meninggalkan halaman belakang, ia kembali ke ruang tamu untuk mengepel lantai dan membereskan ruang tamu. Setelahnya, ia melangkah menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mencari bahan yang sekiranya bisa ia olah menjadi sarapan. Ia mengambil dua butir telur dan sayuran-sayuran yang ada di kulkas. Ia merebus telur itu lalu membuat fresh salad dari sayuran-sayuran yang ia ambil dari kulkas. Setelahnya, ia membuat teh tanpa gula dan menyajikannyanya bersama roti gandum. Setelah selesai menatanya di mangkok dan piring kecil, Ibam menatapnya di atas nampan dan membawanya ke dalam kamar.
Ia membuka pintu kamaranya dan melihat istrinya masih berada di balik selimut, namun matanya sudah terbuka dan wanita itu sedang mengecek ponselnya.
“Morning.” Ibam masuk ke kamar dengan nampan yang ada di tangannya. Ivi menoleh dan tersenyum melihat suaminya.
“Morning.” Balas wanita itu. Ia melihat suaminya mendekat dan menaruh nampan di atas ranjang.
“Kamu yang bikin?” tanya Ivi. Ia mengambil cangkir berisi teh dan menyesapnya pelan.
Ibam mengangguk lalu berujar, “gampang bikinin sarapan buat kamu, mah, tinggal potong-potong sayur aja, atau buah, jadi deh.” Ia menatap fresh salad hasil karyanya untuk istri tercinta.
“Makasih.” Kata Ivi lalu mengambil roti gandum dan mengigitnya. “kamu nggak sarapan?” tanyanya.
“Nggak, ah, aku nungguin tukang bubur lewat aja.” Kata Ibam, ia mengambil sendok dan mengisinya dengan sayuran dan menyuruh istrinya membuka mulut. Ivi menurut, ia membuka mulutnya dan membiarkan makanan itu masuk ke mulutnya dan mengunyahnya pelan.
Ivi mengambil sendok dari tangan Ibam dan melanjutkan sarapan sementar pria itu membuka tirai di kamar dan membuat cahaya masuk ke dalam. Pria itu juga membuka jendela dan membiarkan angin segar pagi terasa.
Ibam kembali duduk di ranjang dan menatap istrinya yang makan dengan lahap. “aku udah bersih-bersih, lho.” Ibam memberitahu Ivi apa yang sudah ia kerjakan pagi itu.
“Oh, ya.” Ivi sulit percaya karena tahu bagaimana Ibam selalu mengeluh setiap kali Ivi menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah yang sudah ia bagi berdua.
“Iya, kamu pasti makin cinta sama aku.” Kata Ibam yang langsung membuat Ivi berdecak dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
Ivi menghabiskan makanannya hingga tak ada yang tersisa lalu meghabiskan cangkir berisi tehnya.
“Ke tukang bubur depan komplek aja, yuk. Sekalian lari pagi.” Ajak Ivi.
“Oke deh.” Kata Ibam akhirnya.
Ivi pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi lalu mengganti bajunya menjadi setelan training. Ia keluar dan menyadari bahwa rumahnya memang sudah bersih seperti kata Ibam. Ia pergi ke dapur dan melihat bahwa ruangan itu juga sudah rapi dan bersih. Kakinya juga melangkah menuju taman belakang dan melihat jemurannya sudah penuh dengan pakaian yang mereka pakai minggu ini.
“Kamu beneran bersihin semuanya, Bam?” tanya Ivi pada Ibam yang sedang bermain dengan Loki di beranda rumah.
“Yaiya, dong.” Jawab laki-laki dengan bangga.
Mata Ivi melirik ke garasi di mana mobilnya, mobil Ibam dan motor pria itu terparkir rapi. Mobil dan motor milik Ibam terlihat bersih dan kinclong sementara mobilnya yang memang jarang terpakai terlihat masih berdebu.
“Kok mobil aku nggak di cuci juga, Bam?” tanya Ivi.
“Capek, Vi, pinggang aku udah mau rontok kayaknya. Aku udah nggak sanggup lagi.” Kata Ibam sambil memegang pinggangnya yang terasa sakit.
TBC
LalunaKia