CHAPTER LIMA BELAS

2123 Kata
Ari turun dari motornya setelah melepas helm full facenya dan menaruhnya di salah satu spion. Ia berkaca di spion yang satunya dan merapikan rambutnya yang acak-acakan. Setelahnya, ia masuk ke dalam kantor dan menyapa resepisonis yang sudah duduk di balik mejanya. Ia pergi ke depan lift dan menunggu pintu di depannya terbuka.            Ari membuka pintu ruangan dan matanya langsung menatap Vanya yang tengah berkumpul dengan yang lainnya di meja kosong yang biasa mereka gunakan untuk makan siang bersama. Ruangan itu berisi staff pajak, keuangan dan accounting, sedang bagian legal memiliki ruangan tersendiri di dalam ruangan itu.            Vanya menatapnya dan tersenyum lebar. Ia membalas senyumnya dan berjalan menghampirinya yang sedang berkumpul dengan Pipit dan Umay.            “Ri, udah sarapan belum, lo?” tanya Pipit saat Ari mendekat. “ada kue nih.” Katanya lagi.            Ari mendekat lalu duduk di kursi kosong di samping Vanya. Sebuah piring dengan kue bolu di atasnya tersaji di atas meja, piring yang lainnya berisi puding cokelat lengkap dengan vla vanilla.            “Istrinya mas Ibam yang bikin.” Vanya memberitahu. Ari membulatkan mulutnya lalu mengambil satu potongan bolu dan menggigitnya pelan.            “Enak.” Kata Ari.                  “Iya lah. Gratis.” Kata Pipit sambil tertawa.            “Istrinya mas Ibam kerja di mana, mbak?” tanya Ari pada Pipit dan Umay yang duduk di depannya. Mulutnya masih mengunyah bolu yang ia ambil dari atas meja. Di sebelahnya, Vanya tampak ikut memperhatikan.            “Di perusahaan penyewaan alat berat.” Jawab Pipit.            “Dulu, ya, Ivi itu pernah ditaksir sama anaknya pas Arsan.” Kata Umay. Vanya dan Ari menatap Pipit yang mengangguk, membenarkan ucapan Umay.            “Terus?” Vanya bertanya dan tampak antusias.            “Ya ditolak, lah.” Kata Pipit, “mungkin saat itu dia udah pacaran sama Ibam.”            “Kok bisa kenal sama anaknya Pak Arsan?” tanya Ari.            “Dulu dia sempat magang di sini.” Umay menjawab.            “Gue kadang nggak habis pikir, sih, kenapa mereka bisa pacaran. Lha wong sehari-hari aja kelihatan ribut mulu. Udah gitu nggak pernah kelihatan ada hubungan spesial.” Cerita Pipit yang langsung membuat Umay mengangguk setuju.            “Iya, padahal dulu kita ngiranya Ivi nolak anaknya pak Arsan dan bakal sama Pak Adam, ya. Kelihatan cocok.” Umay memberi pendapat. “bisa-bisanya malah nyangkut sama Ibam.” Lanjutnya sambil tertawa.            “Ingat nggak, May, dulu kita sempat ikutan taruhan siapa yang bakal jadian sama Ivi, Erga atau Pak Adam?” Pipit tertawa saat mengingat kebodohan ia dan teman-temannya yang menjadikan kisah cinta Ivi menjadi taruhan.            “Iya benar. Gue milih Pak Adam karena udah yakin banget mereka bakal jadian.” Umay tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.            “Mereka udah punya anak, mbak?” tanya Vanya.            Keduanya wanita di depannya kompak menggelang pelan.            “Ivi sih pernah bilang kalau mereka sama sekali nggak nunda punya momongan. Mungkin memang belum dikasih aja.” kata Pipit.            Ari mengambil satu bolu lagi dan mencoba puding buatan Ivi yang terasa enak di mulutnya. Satu persatu karyawan masuk ke ruangan itu dan kubikel di ruangan itu mulai terisi. Setelah jam menunjukkan waktu kerja, keduanya masuk ke ruangan. Ibam sudah duduk di kursinya, sementara Ferry datang sepuluh menit setelah mereka masuk ruangan.             ***            “Jadi lo bikin cuma buat kita?” tanya Tyo yang melihat Ivi membawa kue dan puding ke kantor. Ia tahu bahwa ia sudah mengurangi konsumsi gula sehingga wanita itu sudah tak makan makanan manis lagi.            “Iya. Abis gue nggak punya hobi lain selain bikin kue.” Kata Ivi. Ia duduk di kursi kosong, melingkari meja bundar bersama teman-temannya yang lain.            “Enak, lho.” Kata Tyo saat mencoba gigitan pertama. Yang lainnya menganguk setuju. Ivi tersenyum saat melihat reaksi teman-temannya terhadap resep baru yang ia buat.            “Abisin deh, abisin.” Kata Ivi lalu berdiri dan masuk ke ruangannya. Sesaat setelah ia menghempaskan tubuhnya di kursi, ia melihat Tyo masuk ke ruangannya dan duduk di depannya.            “Ngapain?” tanya Ivi saat melihat Tyo hanya duduk di depanya dan memakan bolu di tangannya.            “Temen lo yang kemarin…” Tyo menggantungkan kalimatnya. Mencoba mencari kata-kata yang tepat.            “Pipit? Lo suka sama Pipit?” tanya Ivi tanpa basa-basi. Wajah di depannya telihat kaget. “Lo tuh, ya, kalau ngomong ceplas-ceplos aja.” Keluh Tyo yang langsung membuat Ivi terkekeh ringan. “Ya abisnya lo kebingungan gitu ngomongnya.” Ivi berujar. Tyo tampak berpikir sebentar, “gimana, ya? Dia jauh sih dari kriteria gue. Tapi pas pertama kali ngelihat dia, gue tertarik.” Kata pria itu jujur. Ivi tampak tersenyum lebar melihat tingah Tyo yang malu-malu. “Dia udah punya pacar belum?” tanya pria itu akhirnya. Pertanyaan yang sangat ingin ia tanyakan pada wanita di depannya. “Belum, masih jomblo.” Jawab Ivi dengan nada yakin. “Dia orangnya kayak gimana?” tanya Tyo langsung. Tanpa pikir panjang, Ivi langsung menceritakan sifat dan sikap sahabat dekatnya itu. Bekerja bersama cukup lama, membuat Ivi cukup tahu bagaimana watak Pipit.            “Bisa nggak lo deketin gue sama dia?” pinta Tyo sambil tersenyum.            “Gue tanyain langsung, deh, sama dia. Ada rasa nggak sama lo. Biar lo makin gampang pendekatannya kalau udah ada lampu hijau.” Jelas Ivi.            “Ya jangan blak-blakan banget lah. Kalau dia nggak ada rasa, ya, gue nggak bisa usaha dong karena udah ditolak duluan.” Kata Tyo.            Ivi tampak berpikir sebentar lalu mengangguk. “oke, gimana kalau siang ini kita makan siang sama dia.” Ajak Ivi yang langsung membuat Tyo tersenyum.            “Boleh… boleh…” kata pria itu.            “Yaudah, nanti gue coba tanya dulu sama dia, bisa apa nggak. Oke.”            Tyo mengacungkan jempolnya pada Ivi yang tersenyum.            “Pantesan kemarin lo kelihatan sok cool. Tenyata jaga image di depan Pipit.” Kata Ivi dengan nada menggoda. Ia tahu bahwa Tyo tipikal pria yang sangat mudah bergaul, bahkan pada orang yang baru dikenalnya. Saat Pipit membuka pembicaraan tentang hubungannya dengan Ibam dikantor lama, ia pikir Tyo akan langsung berkomentar karena pria itu selalu tampak tertarik pada kisah cintanya yang menurutnya unik. Tapi pria itu memilih diam daripada ikut mengobrol. Pria itu berbicara begitu tenang, tidak menggebu-gebu dengan gesture khasnya. Malam itu, Tyo menjadi orang yang berbeda. ***            Jam menunjukkan pukul dua belas kurang saat pintu ruangan legal terbuka. Wajah Pipit menyembul di baliknya.            “Ivi ngajakin makan siang bareng.” Kata Pipit. Ibam mengangguk, ia sudah membaca pesan yang Ivi kirimkan dan janji bertemu di salah satu resto tak jauh dari kantor.            “Tumben ngajak-ngajak gue.” kata Pipit yang langsung membuat Ibam mengulum senyum. Ivi sudah memberitahukan rencananya untuk mendekatkan Tyo dengan Pipit yang kebetulan belum punya pasangan.            “Gue ngga diajak?” Fery setengah berteriak dari mejanya.            “Nggak.” Pipit menatap pada Fery yang langsung merengut.            “Kangen kali sama lo.” Kata Ibam saat Pipit duduk di depannya, di pisahkan oleh meja kerjanya. “lo kemarin dianterin sampai rumah? Selamat sampai tujuan kan?” tanya Ibam.            “Iya.” Jawab Pipit singkat. Ia menelan ludah lalu bertanya, “lo kenal deket, ya, sama Tyo?”            “Ya… lumayan, sih. Tiap jemput Ivi kan udah pasti ketemu dia.” Jawab Ibam. “kenapa emangnya?” tanyanya dengan nada penasaran.            Pipit langsung menggeleng pelan, “nggak apa-apa. Yaudah nanti gue tunggu di lobi, ya.” Kata wanita itu sambil berdiri, “gue ada perlu di lantai dua dulu.” Wanita itu menjauh dari meja Ibam dan sosoknya menghilang dibalik pintu.            “Ivi nggak bosan apa, udah di rumah ketemu lo, makan siang ngajak ketemu lo lagi.” Fery menggeleng-gelemgkan kepalanya dengan wajah bingung.            “Itu tandanya cinta, Bro. Lo nikah makanya sana, biar ada yang ngajak makan siang bareng.” Kata Ibam dengan nada mengejek yang langsung membuat Ferry mati kutu.            Ari dan Vanya hanya mengulum senyum mendengar pembicaraan seniornya. Mereka berdua masih berkutat dengan komputernya saat Ibam pamit untuk makan siang duluan. Ferry menyusul beberapa menit kemudian. Menyisakan Ari dan Vanya di ruangan itu.            “Bawa makan siang?” tanya laki-laki itu pada Vanya yang baru saja memasukkan lembar-lembar ke dalam map putih.            “Nggak.” Kata gadis itu.            “Mau makan di mana?” tanya laki-laki itu, ia menatap Vanya yang tampak kebingungan. “ikut gue kebelakang aja, yuk. Banyak tukang makanan di sana.” Ajak Ari yang langsung mendapat anggukan dari gadis di sampingnya. ***            Ivi memasuki restoran cina yang jaraknya berada tak jauh dari kantor suaminya. Ia memilih satu meja yang masih kosong, Tyo mengekor di belakanganya. Suasana cukup ramai karena bertepatan dengan jam makan siang. Tanpa menunggu Ibam dan Pipit, Ivi memesan terlibih dahulu setelah mendapat balasan makanan dan minuman yang diinginkan keduanya.            Ivi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ke tamu restoran yang tampak masuk dan keluar, ke pelayan-pelayan yang sibuk hilir mudik mengantar pesanan, mencatat pesanan dan membereskan piring-piring bekas pakai yang ada di meja yang sudah ditinggalkan, ke kasir yang terlihat sibuk mengurus pembayaran.              “Lo bilang gue ikut?” tanya Tyo yang membuat fokus Ivi kembali.            “Nggak. Nanti bilang aja gue kebetulan lo mau ikut.” Jawab Ivi sambil tersenyum. “gue bilang sih mau ada yang gue omongin langsung sama dia. Tapi gue bingung mau ngomongin apaan.” Kata Ivi sambil terkikik.            Wanita itu lalu melambai pada Pipit yang terlihat memasuki pintu kaca restoran. Wanita itu tersenyum lalu mendekat ke meja yang ditempati sahabatanya. Pipit agak terkejut saat melihat Tyo ada di meja yang sama, bersama Ivi. Ia mengulas senyum tipis lalu duduk di sebelah Ivi sementara Ibam duduk di sebelah Tyo, tepat di depan istrinya.            “Rame banget.” Kata Pipit saat melihat kondisi restoran. “Tyo ikut juga.” Katanya lagi.            “Iya, abis gue bingung mau makan siang di mana, jadi ngikut Ivi deh. Nggak ganggu kan, ya?” Tyo menatap Pipit dan Ibam yang langsung menggeleng pelan.             Pelayan menghampiri meja mereka dan menaruh empat piring makanan di atas meja, tak lama menyusul empat gelas disajikan di meja mereka.            Mereka fokus dengan makannya masing-masing. Ivi dan Pipit sesekali membuka obrolan. Ibam dan Tyo menimpali sesekali hingga akhirnya mereka berempat terlibat obrolan asik dan menghibur. Meja makan itu akhirnya riuh oleh obrolan mereka yang tak berujung. Mereka membicarakan banyak hal, dan Tyo tetap memasang mode cool, tidak seperti biasa demi menarik perhatian Pipit.              “Katanya ada yang mau lo omongin, Vi?” tanya Pipit saat ia menyelesaikan makannya.            Ivi menatap Ibam dan Tyo bergantian lalu menggaruk ujung pelipisnya pelan.            “Hmmm… apa yaa? Gue lupa.” Kata Ivi sambil nyengir, menampilkan deretan gigi putihnya.            “Gimana sih, lo? Masih muda udah pelupa.” Kata Pipit.            “Kebanyakan kerjaan gue. Jadi sering lupa.” Ivi membela diri. Wanita itu lalu pamit untuk ke toilet, sementara Ibam beranjak dari duduknya untuk melakukan pembayaran ke kasir, meninggalkan Pipit dan Tyo yang tampak canggung di meja yang sama. ***            Ari menatap Vanya yang duduk di depannya. Perempuan itu tengah sibuk dengan sendok dan piring berisi nasi dan mangkok berisi soto daging yang ada di sebelahnya. Ari yang sudah menyelesaikan makannya kini menyesap es teh manisnya.            “Enak nggak? Kata Mas Ibam ini soto daging paling enak di sekitar sini.” Tanya Ari. Ia melihat gadis di depannya mengangguk. Gadis itu baru saja menghabiskan isi piringnya.            “Enak.” Jawabnya setelah menyesap minumannya. Ia menatap sekeliling. Tenda-tenda penjual berjejer rapi. Para karyawan memadati setiap stand penjual makanan untuk mengisi perutnya. Beberapa karyawan datang bergerombol dan sibuk berbicang-bincang yang membuat suasana semakin ramai.            Ari dan Vanya masih berada di sana dan membicarakan banyak hal. Ari tersenyum, menyambut Vanya yang hari ini terasa lebih terbuka dari sebelumnya. Ia melihat ada yang berbeda saat melihat gadis itu duduk bersama Pipit dan Umay tadi pagi. Vanya yang biasanya lebih memilih mengurung diri di ruangan dari pada bergaul dengan karyawan di luar ruangan, pagi tadi tampak akrab dengan Pipit dan Umay dan membicarakan banyak hal. Ari melihat gadis itu sebagai orang yang baru hari ini.            “Gue emang anaknya agak susah bergaul, sih.” Kata Vanya. “sampai sekarang, teman dekat gue itu bisa dihitung pakai jari.” Vanya bercerita kenapa saat di kantor, ia lebih suka menyendiri dan tak banyak bicara selain untuk membicarakan pekerjaan.            “Gue yang gampang bergaul juga temannya bisa hitung pakai jari, kok. Kan nggak semua orang cocok sama kita.” Ujar Ari yang langsung membuat Vanya mengangguk setuju.            Keduanya melanjutkan perbincangan ke berbagai hal. Mereka membahas mengenai pendidikan, pelajaran selama kuliah, pekerjaan yang sedang mereka kerjaan dan kesulitan yang mereka hadapi saat memasuki dunia kerja.            Mereka masih mengobrol hingga menyadari bahwa jam makan siang sudah hampir habis. Setelah melakukan pembayaran, Vanya dan Ari berjalan beriringan di trotoar dan butuh waktu lima menit untuk sampai di kantor.            Vanya dan Ari langsung masuk ke ruangan dan menemukan Fery sudah ada di kursinya. Kursi Ibam masih kosong dan pria itu baru kembali satu jam setelah jam makan siang berakhir.  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN