Pipit menatap ponselnya sambil tersenyum kecil dibalik kubikelnya. Ia tersenyum kecil, mengindahkan layar komputer yang masih menyala di depannya, tak sadar Ibam sudah berdiri di sebelahnya dan memerhatikan wanita itu tengah fokus pada kolom chat dan membalas pesan.
“Pit…” panggil pria itu pelan.
Pipit hampir terlonjak dari duduknya, “Ngagetin aja, sih.” Kata wanita itu sambil melotot dan buru-buru menutup menu chat di ponselnya. Ia beralih pada Ibam yang mengulum senyum lalu menaruh dokumen di meja mejanya.
“Mau balikin dokumen yang kemarin gue pinjam.” Kata Ibam sambil tersenyum jahil. “makasih.” Kata pria itu lagi.
“Sama-sama.” Pipit menaruh dokumen yang baru saja Ibam kembalikan ke dalam laci mejanya.
“Lo belum pulang?” tanya Ibam saat menyadari jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Ruangan itu sudah nyaris kosong, menyisakan Pipit dan dua karyawan pria lainnya yang masih fokus pada perkejaannya.
“Ini udah mau balik.” Jawab Pipit. Ibam melihat wanita itu membereskan berkas-berkas yang ada dimejanya. “lo belum mau balik?” Pipit bertanya balik pada Ibam yang masih berada sampingnya.
“Bentar lagi. Lo mau bareng nggak? Gue drop di kantor Ivi.” Ibam menawarkan.
“Yailah, sama aja bohong itu, mah.” Kata wanita itu, “gue kudu naik MRT juga. Kecuali lo mau nganterin gue sampai rumah.”
“Ya kali aja nanti di kantor Ivi ada yang nganter lo sampai rumah.” Ibam terkikik lalu berjalan cepat kembali ke ruangannya sebelum mendapat amukan dari Pipit yang sudah melotot tajam ke arahnya.
***
Motor itu berhenti di depan gerbang kost Vanya. Bangunan dua lantai itu berada di lingkungan cukup ramai. Vanya turun dari motor Ari. Ia melepas helm yang ada di kepalanya dan memberikannya pada laki-laki itu.
“Makasih, ya.” Kata gadis itu yang langsung mendapatan senyum dan anggukan dari Ari. Helm berwarna hitam milik Ari berpindah tangan. Pria itu memang setiap pagi selalu mengantar adiknya yang sekolanya searah dengan kantornya, sehingga selalu membawa dua helm ke kantor.
“Lo nggak mau cari kost dekat kantor aja?” tanya Ari, “kan lumayan bisa menghemat ongkos dan waktu.” Kata laki-laki itu.
“Lagi nyari, sih. Cuma belum ada yang cocok. Gue tetap di sini karena udah betah aja.” Jawab gadis itu. Laki-laki di depannya mengangguk. “Yaudah, gue masuk dulu, ya.” Kata gadis itu. Ia tersenyum dan melambai kecil pada Ari yang langsung membalas lambaiannya. Setelah memastikan Vanya masuk ke dalam gerbang dan gerbang itu tertutup sempurna, Ari menyalakan motornya dan membelah jalanan menuju kediamannya.
Vanya berjalan pelan menuju kamarnya. Ia merogoh tasnya untuk mencari kunci kamarnya. Setelah menemukannya, ia memasukkannya ke dalam lubang kunci dan memutarnya. Tangannya menekan handle pintu hingga pintu cokelat itu terbuka.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, ia langsung menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya. Kamar itu berukuran 3 x 4 dengan kamar mandi di dalam. Saat menempatinya beberapa tahun lalu, sudah ada ranjang dengan kasur, lemari, meja dan kursi belajar juga fasilitas standar lainnya. Ia menambah beberapa pernak-pernik kecil dan mendekor ulang sesuai dengan keinginannya.
Ia bangun dari kasur dan masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Ia keluar dari kamar mandi kurang dari setengah jam, tepat saat ponselnya yang ada di atas nakas berdenting, tanda sebuah pesan masuk.
Ia duduk di pinggir ranjang dan meraih benda pipih itu. Pesan dari Ari masuk ke ponselnya. Ia tersenyum kecil. Entah sejak kapan ia merasa begitu cepat akrab dengan seseroang, ia bahkan menerima tawaran laki-laki itu untuk mengantranya pulang, dan keduanya makan malam bersama di tengah perjalanan.
Setelah membalas pesan laki-laki itu, ia merebahkan dirinya di atas kasur. Sekali lagi ia manatap langit- langit kamarnya. Setelah menguap beberapa kali, ia mematikan lampu dan menyalakan lampu tidurnya lalu terlelap di atas ranjang empuknya.
***
“Kayaknya Pipit sama Tyo udah mulai intens chatting, deh.” Kata Ibam pada Ivi. Matanya fokus ke layar di depannya, tangannya begitu lincah bermain di atas papan stik. Punggungnya bersandar pada kaki sofa ruang tamu. Kedua kakinya menyelonjor di lantai yang dilapisi karpet turki yang Ivi beli beberapa bulan lalu.
“Iya kayaknya.” Jawab Ivi cepat. Wanita itu duduk di sofa, matanya menatap layar laptop di depannya. Sebuah drama Korea berputar di layar.
Keduanya sibuk dengan kesenangan masing-masing. Ivi yang pertama kali menyelesaikan kegiatannya saat menyadari jam menunjukan lewat jam sepuluh malam. Ia mematikan laptopnya dan menyimpannya di laci meja samping sofa. Ivi turun dari sofa dan duduk di sebelah Ibam yang masih sibuk dengan stik game dan layar datar di depannya.
“Udah malam, Bam.” wanita itu mengingatkan suaminya.
“Nanggung.” Kata pria itu tanpa menoleh ke arahnya.
Ivi ikut menatap layar di depannya. Kepalanya jatuh ke bahu suaminya. “aku ngantuk.” Lirih wanita itu.
“Sebentar lagi, Vi.” Kata Ibam, menyuruh istrinya bersabar sedikit lagi.
“Tyo katanya mau langsung ngajak nikah Pipit kalau mereka ternyata cocok.” Kata Ivi.
“Kenapa buru-buru?” tanya Ibam, masih belum melepas pandangannya dari layar di depannya.
“Ibunya udah nyuruh dia nikah mulu.” Jawab Ivi.
“Tapi kan Pipit baru aja gagal nikah, kan. Memang dia mau langsung diajak nikah gitu.” Kata Ibam. Ia ingat saat wanita itu bercerita padanya bahwa wanita itu tak akan lagi mudah mempercayai laki-laki. Wanita itu bilang bahwa kegagalan itu masih menyisakan trauma di hidupnya dan ia tak berniat menjalin hubungan dengan pria dalam waktu dekat.
“Nah, itu yang aku takutin.” Kata Ivi.
“Yaudah lah, nggak usah dipikirn, tugas kamu kan cuma ngenalin mereka doang sesuai permintaan Tyo.”
“Tapi aku tahu banget, lho, kalau Pipit juga udah mulai dikejar-kejar orangtuanya untuk nikah.” Kata Ivi. Pipit pernah bercerita padanya bahwa orangtuanya sepertinya tak mengerti trauma yang ia rasakan kala gagal menikah. Kedua orangtua Pipit ingin anak sulungnya segera menikah karena umur Pipit yang sudah menginjak tiga puluh tahun.
“Adiknya juga belum nikah, ya?” tanya Ibam. Ivi mengangguk.
“Adiknya nggak boleh nikah kalau Pipit belum nikah.” Kata Ivi, “padahal adiknya udah pacaran lama dan sudah diminta menikah sama orangtua pacaranya.”
“Bukannya boleh, ya, kalau Pipit dikasih pelangkah atau apa itu namanya?” ujar Ibam.
“Ibunya nggak ngebolehin. Ibunya mikir kalau dilangkahi, Pipit akan semakin susah jodoh.” Cerita Ivi.
“Ribet banget, sih.” Kata Ibam, “lagian jodoh, kan, ditangan Tuhan. Ya kalau belum ketemu mau gimana lagi.” Kata Ibam. Ia mematikan layar televisi setelah menyelesaikan permainannya.
Ivi mengangguk, ia tahu bahwa kebayakan orang menilai salah jika seorang wanita belum menikah sedangkan umurnya sudah cukup matang untuk membina rumah tangga. Beberapa orang menilai bahwa wanita tak boleh telat menikah, apalagi berpikir untuk tidak menikah. Orang-orang menilai kesempurnaan wanita dengan pernikahan. Padahal mereka tidak tahu usaha apa yang sudah wanita lakukan untuk memenuhi standar itu. Kesuksesan wanita tak pernah dipandang hanya karena wnaita itu belum menikah. Banyak orang bilang bahwa kesuksesan seorang wanita tak ada artinya jika wanita itu belum menyempurnakan hidupnya dengan menikah.
Ivi merasakan apa yang Pipit rasakan saat hidupnya juga tak sesuai dengan standar orang lain. Semua orang berpikir bahwa Ivi tak ingin memiliki anak karena tak ingin kehilangan karirnya. Beberapa orang berpikir bahwa Ivi terlalu egois karena tak ingin memiliki anak. Orang-orang bilang bahwa percuma karirnya sukses dan banyak uang jika selama hidupnya tidak memiliki anak. Semua orang mengomentari hidupnya padahal mereka tak pernah tahu apa yang terjadi dengannya. Orang-orang bisa menudingnya dengan segala macam argumennya padahal mereka tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu usaha apa saja yang sudah ia lakukan untuk bisa mengandung darah dagingnya dengan Ibam. Ivi mengeluarkan uang jauh lebih besar dibanding orang lain yang bisa mengandung secara alami. Ivi mengeluarkan tenaga yang lebih banyak dibanding orang lain yang tak memiliki masalah dengan tubuhnya. Ivi telah berjuang bersama wanita-wanita pejuang garis dua lainnya hanya agar bisa mengandung, hal yang mungkin terasa mudah bagi wanita lainnya.
***
“Aku nanti sore jadi ngegym sama Tyo, ya.” Kata Ivi saat mobil Ibam baru saja memasuki area kantornya.
“Kamu lengket banget, ya, sama Tyo.” Kata Ibam.
“Daripada sama yang lain. Kan kamu nggak mungkin cemburu kalau sama Tyo.” Kata Ivi yang langsung membuat Ibam mendesis. Mobil itu berhenti dilobi kantor wanita itu. “kamu nanti jadi badminton sama anak-anak?” tanya wanita itu sambil membuka safety beltnya.
“Nggak deh kayaknya. Sorenya aku ada meeting, kayaknya bakal sampai malam.” Jawab Ibam. Ivi mengangguk lalu mencium tangan Ibam, tangannya masih tertahan saat Ibam memonyongkan bibirnya. Berharap dapat kecupan singat dari istrinya.
“Nggak, nanti lipstik aku belepotan lagi.” Ivi memeletkan lidahnya dan melihat bibir Ibam berubah menjadi mengerucut kesal. “bye…” kata wanita itu lalu keluar dari mobil dan masuk ke kantornya.
Ibam belum sempat memutar kemudinya saat tiba-tiba jendelanya diketuk pelan. Ia menoleh dan melihat wajah Tyo di luar.
“Kenapa?” tanyanya sambil membuka jendela mobilnya.
“Kebetulan, nitip dong, buat Pipit.” Kata Pria itu sambil menyerahkan bungkusan kertas berwarna cokelat.
“Ongkosnya?” tanya Ibam.
“Perhitungan banget, sih.” Tyo menjawil pipi Ibam yang langsung membuat pria itu memundurkan wajahnya. Tyo tertawa melihat gerak refleks Ibam.
“Udah ini aja?” tanya Ibam.
“Iya.” Jawab Tyo, “thanks yaa.” Katanya lagi, “hati-hati di jalan.” Lanjutnya sambil mengerling pada Ibam yang langsung bergidik. Tyo terkekeh lalu melambai pada Ibam yang mulai menutup kaca jendelanya. Ia masuk ke dalam kantor dan naik ke lantainya.
Ibam kembali memutar kemudinya ke kantornya yang jaraknya tak terlalu jauh dari kantor istrinya. Ia menyusuri jalan yang tak begitu macet pagi itu hingga akhirnya sampai di parkiran kantornya. Ia keluar dari mobil dan berpapasan dengan Ari yang baru saja turun dari motornya. Ari menyapa Ibam dan berjalan cepat ke arahnya. Keduanya berjalan beriringan, naik lift yang sama lalu masuk ke ruangan di lantai empat.
Ari langsung masuk ke ruangan legal sementara Ibam pergi ke meja Pipit. Wanita itu sudah ada di sana, bersembunyi di balik kubikelnya. Umay dan Vanya duduk di meja lainnya dan tengah sarapan besama.
“Ada titipan, nih.” Ujar Ibam sambil menaruh bungkusan kertas pemberian Tyo di atas meja, tepat di depan Pipit yang sedang menikmati teh hangatnya.
“Dari siapa?” Pipit menengadah dan menatap Ibam yang menumpu kedua tangan di kubikelnya.
“Tyo.” Jawabnya.
“Kok bisa?” tanyanya dengan raut wajah bingung.
“Tadi ketemu pas ngantar Ivi.” Ibam melihat wnaita itu membulatkan mulutnya. Pipit baru ingat bahwa tiap mengantar atau menjemput, Ibam punya kemungkinan untuk bertemu dengan pria itu.
“Oh, makasih.”
“Bilang makasihnya sama Tyo, lah.” Kata Ibam. Ia berbalik dan duduk di samping Umay. Sebelah tangannya mengambil sepotong bakwan yang tersaji di atas meja lalu memakannya.
“Siapa, Bam?” tanya Umay. Vanya ikut menatap Ibam yang duduk di depannya.
“Gebetan Pipit.” Jawab Ibam sambil berbisik. Ia baru hendak melanjutkan ceritanya saat mendengar suara Pipit melengking.
“JANGAN NYEBAR GOSIP, YA, BAM.” kata Pipit yang langsung membuat Ibam mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Umat dan Vanya mengulum senyum.
“Lo nanti ada meeting sore, Bam?” tanya Umay. Ibam mengangguk lalu mengambil satu donat gula yang ada di atas meja.
“Kenapa?”
“Nggak, gue tadi ngajak Vanya ikut badminton pas pulang kantor. Tapi katanya lo ngajak dia ikut meeting.” Kata Umay. “Memang sampai malam? Lo nggak ikut juga dong?”
“Iya, orang meetingnya aja mulai jam setengah lima. Ya udah pasti sampai malam.” Kata Ibam, “kita ikut next time aja, ya.” Katanya pada Vanya yang langsung mengangguk.
“Iya, Mas, nggak apa- apa.” Kata gadis itu.
Setelah menghabiskan donat gulanya, Ibam berdiri lalu kembali ke ruangannya. Ia duduk di kursinya dan mulai sibuk dengan komputer dan berkas-berkas yang ia ambil dari laci. Vanya masuk beberapa menit kemudian. Fery dan Ari sudah berkutat sejak tadi karena harus menyiapkan kontrak untuk proyek baru.
“Van, saya ada email untuk bahan meeting nanti sore. Tolong kamu lengkapi berkasnya, ya.” Kata Ibam.
“Iya, Mas.” Vanya mengangguk lalu membuka email yang baru saja dikirimkan Ibam.
Di luar ruangan legal, para karyawan lain tak kalah sibuk. Mereka memandangi sistem di komputer dari balik kubikel dengan jari jari yang menarik di atas mesin ketik, juga dokumen yang terserak di atas meja. Beberapa karyawan mondar mandir memasuki ruangan lain untuk menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan bagian lain. Beberapa karyawan menyumpal lubang telinga mereka dengan earphone dan mendengarkan musik kesukaan dan tetap fokus menyelesaikan pekerjaannya.
Office boy dan ofice girl sibuk menyiapkan konsumsi untuk orang-orang yang mengisi ruang meeting hari itu. Resepsionis sibuk menerima telepon dan mencatat surat-surat yang masuk di log book. Security menyapa tamu atau klien yang datang. Supir-supir perusahaan sudah sibuk mengantar pada petinggi perusahaan ke kegiatan di luar kantor.
TBC
LalunaKia