CHAPTER TUJUH BELAS

2368 Kata
Ivi berlari di atas treadmill dengan setelan olahraganya. Handuk kecil tersampir di bahunya. Di sebelahnya, Tyo melakukan hal yang sama. Di sekeliling, orang-orang sibuk dengan alatnya masing-masing.            “Jadi, gimana sama Pipit?” tanya Ivi. Kakinya masih berjalan cepat di atas alat olahraga untuk membakar kalori itu.            “Sejauh ini, sih, sambutannya baik.” Jawab Tyo, ia menekan tombol di alatnya untuk memperlambat langkahnya.            “Terus lo sendiri udah ngerasa cocok sama dia emang?” tanya Ivi lagi. “kalau gue lihat Pipit itu nggak masuk tipe idaman lo yang selalu lo agung-agungkan itu, lho.” Lanjutnya. Ia tahu seperti apa tipe perempuan idaman temannya itu. Tak jauh beda dengan perempuan terakhir yang ia kenal di tinder. Berkulit putih dan berambut panjang. Sedangkan Pipit berambut pendek sebahu juga berkulit sawo matang meski tetap terlihat manis dan cantik di matanya.            “Ya memang nyaman itu kan yang ngerasain hati ya. Mau kita punya standar setinggi apapun, kalau nyamannya sama yang jauh dari standar kita, pasti kita tetap lebih milih dia.” Jawab Tyo.            Ivi mengangguk setuju dan memberitahu pada temannya bahwa wanita cantik tak hanya dinilai dari kulit putih ataupun rambut panjang. Ia bilang bahwa standar di masyarakatan salah karena menyematkan kata putih sebagai ciri perempuan cantik. Ivi bilang bahwa masyarakat harusnya mulai mengubah standar kecantikan mereka, kulit sawo matang, ataupun hitam, rambut pendek, keriting atau yang lainnya harusnya tak di diskriminasikan hanya karena mereka tak sesuai dengan standar masyarakat. Semua wanita berhak mendapatkan pelakukan yang sama di masyarakat.            “Iya, sih, sampai ada yang bilang, jaman sekarang tuh, kalau lo cantik atau ganteng, setengah permasalahan hidup lo udah pasti selesai.” Kata Tyo, membenarkan pendapat Ivi.              Ivi mengangguk di sebelahnya, wanita itu menakan tombol pada treadmill dan kecepatan alat memelan hingga akhirnya berhenti. Ia mengambil botol air minum yang ia taruh di kursi dan meneguknya pelan. Dengan handuk kecilnya, ia menyeka keringat yang membasahi dahinya.            “Kira-kira Pipit mau gak ya kalau gue ajak langsung serius gitu?” tanya Tyo, mesin lari yang ia gunakan sudah berhenti dan ia duduk di depan Ivi sambil menguk air dari botol yang baru ia ambil.            Ivi mengangkat bahu lalu kembali berjalan menuju mesin fitness lainnya. Tyo mengekor di belakang wanita itu dan memakai alat yang sama yang ada di sebelah wanita itu.            “Kan lo dekat banget sama dia. Pasti dia suka cerita dong, pengin nikah cepat, atau nggak atau gimana gitu.” Desak Tyo yang membuat Ivi akhirnya menghela napas. Ia menghentikan kegiatannya dan menatap Tyo baik-baik.            “Jangan bilang Pipit kalau gue cerita ini ke elo, ya?” ujar Ivi. Tangan wanita itu kembali dalam posisi siap di rowing maching lalu tubuh wanita itu bergerak. Tyo mengikuti gerak Ivi pada mesin yang sama sambil menunggu wanita itu memulai ceritanya.            “Pipit itu beberapa tahun sempat gagal nikah.” Ivi memulai ceritanya,            “Kenapa?” tanya Tyo.            “Calon suaminya ketahuan selingkuh padahal mereka sudah setengah jalan dalam merencanakan pernikahannya.” Lanjutnya.            “Cowoknya ternyata udah selingkuhin Pipit dari beberapa bulan lalu.” Lanjut wanita itu. “jadi, semenjak itu, Pipit nggak pernah percaya lagi sama laki-laki. Dia bahkan terang-terangan trauma untuk menikah dan menjalin hubungan serius sama laki-laki.”            Tyo diam, ia menunggu Ivi melanjutkan ceritanya, “Tapi, ibunya Pipit udah pengin banget Pipit nikah karena umurnya udah masuk tiga puluh tahun.” Ivi menatap Tyo yang tengah menatapnya.            “Jadi, ya, bisa aja dia nolak lo karena masih trauma, atau mungkin bisa juga dia nerima lo karena keinginan ibunya.” Ivi masih terus menggunakan alat fitness itu saat Tyo sudah berhenti. Pria itu meneguk air dalam botolnya dan tampak berpikir.            “Kalau dia nerima gue karena ibunya, berarti dia nggak ikhlas dari hati dong.”            “Ya, hati orang nggak pernah ada yang tahu. Tapi kalau lo benar-benar bisa dapetin hatinya dan bikin dia percaya sama lo. Ya gue yakin dia bakal mau kalau lo ajak serius.”             ***            Ibam keluar dari ruang meeting saat jam menunjukkan pukul delapan malam. Sebelah tangannya menenteng laptop dan satunya lagi menenteng nasi kotak. Vanya mengekor di belakangannya, dengan buku catatan dan nasi kotak di masing-masing tangannya.            Di ruangan yang baru saja ia masuki masih ada dua karyawan laki-laki yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya sementara yang lain sudah pergi ke lapangan badminton tak jauh dari kantor setelah jam kerja selesai.            Ibam masuk ke ruangan legal dan langsung duduk di kursinya. Ia menaruh laptopnya di dalam laci lalu membereskan dokumen- dokumen yang masih ada di atas meja. Setelah mejanya kosong, ia membuka nasi kotak berisi nasi, ayam bakar, sambal ijo dan daun singkong.            “Hasil meeting yang tadi, nanti tolong kirim ke email saya, ya.” Kata Ibam pada Vanya yang langsung mengangguk.            “Iya, Mas.”            “Kamu pulang naik apa?” tanya Ibam lagi.             “Naik transjakarta, Mas.” Jawab Vanya.            “Yaudah nanti bareng saya aja. Tapi saya makan dulu, ya.” Kata Ibam sambil memulai suapan pertama.            Vanya mengangguk, hingga akhirnya memilih untuk ikut memakan nasi kotaknya. Suasana dalam ruangan sunyi, Ibam beberapa kali menatap ponselnya dan membalas pesan yang dikirimkan istrinya hingga akhirnya isi nasi kotaknya habis.            Ia membereskan barang-barang pribadinya, begitu juga dengan Vanya. Keduanya keluar dari ruangan, masuk ke dalam lift dan bersisian menuju parkiran.            “Saya turunin di halte yang dekat sama tujuan saya, ya. Lumayan jarak kamu jadi agak dekat.” Kata Ibam sambil menyalakan mesin mobilnya.            “Iay, Mas. Gak apa-apa kalau nggak ngerepotin.” Jawab Vanya sambil memakai safety beltnya.                                                            Ibam menekan pedal gas dan roda mobil berputar keluar dari parkiran kantor. Jalanan sudah cukup lenggang malam itu. Ibam mengulurkan sebelah tangannya untuk menyetel musik dengan volume kecil. Vanya melepampar pandangannya ke luar jendela. Ke hilir mudik orang-orang yang memenuhi trotoar.            Ibam bertanya pada Vanya bagaimana rasanya bekerja di perusahaan dan apa kesulitan yang ia hadapi.            Vanya menjawab bahwa ia senang bisa bergabung di perusahaan itu. Ia senang memiliki teman-teman baru, ruang lingkup baru dan senior- senior yang tak pelit ilmu. Ia bilang bahwa ia tak menemui kesulitan yang berarti berkat Ibam dan Ferry yang selalu membantunya. Ia bilang bahwa ia betah di perusahaan itu meski perlu menyesuaikan diri pada awalnya.            Ibam tersenyum menyimak kata kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut gadis di sebelahnya. Tatapannya tetap terfokus pada jalanan. Gadis itu tampak antusias dan tak berbohong. Gadis itu memang tampak lebih terbuka dan banyak bicara akhri-akhir ini. Sepertinya kebawelan Umay dan Pipit cepat melular pada gadis itu. ***            Ivi masuk ke ruang ganti sambil menyeka keringatnya. Ia membuka loker lalu mengambil ponsel yang ia tinggalkan di sana dan duduk di kursi panjang di depan lokernya, bersama satu orang wanita yang juga tengah duduk dan fokus pada gawainya. Ia mengirim pesan pada suaminya, dan bilang bahwa sudah selesai dengan kegiatannya dan akan menunggunya di lobi.            Sebelah tangan Ivi masih bergerak untuk menyeka keringat di lehernya. Baju wanita itu basah oleh keringat. Setelah selesai dengan ponselnya, ia menaruhnya lagi di loker lalu mengambil baju ganti dan pergi menuju salah satu bilik untuk menganti bajunya.            Setelah selesai, ia kembali ke loker dan membereskan barang-barangnya, ia hendak keluar dari ruang ganti saat melihat sebuah amplop cokelat di atas bangku panjang yang baru saja ia duduki. Ia menatap sekeliling dan tak menemukan siapapun di ruang ganti itu. Ia lalu mengingat seorang wanita yang duduk di sana saat ia masuk ke ruangan itu. Ia menatap amplop itu dan membacanya tulisan di depannya. Surat itu dari pengadilan agama Jakarta, dibagian bawah sebelah kiri, ia bisa melihat sebuah nama di sana. Natalie Elianor Rose serta alamat di bawahnya.            Ivi tampak berpikir lalu memutuskan untuk membawanya dan mengembalikannya ke alamat yang di tertulis di sana. Ia menenteng tasnya keluar dari ruang ganti dan terus hingga sampai di lobi gym.            Ia menghampiri Tyo yang sudah menunggunya dan duduk di sampingnya.            “Ibam udah jalan belum?” tanya Tyo.            “Lagi di jalan. Lo balik duluan aja, nggak apa-apa.” Ivi berujar.            “Beneran, nih, nggak apa-apa?” Tyo memastikan.            “Iya, Ibam juga bentar lagi sampai kok.” Katanya.            “Yaudah kalau gitu.” Tyo berdiri dari duduknya, menjabat tangan Ivi sebentar lalu berpamitan untuk pulang lebih dulu. Pria itu melambai pada Ivi saat akan keluar dari pintu dan menghilang dari pandangan wanita itu.             Ivi masih duduk di lobi saat matanya menatap sosok seorang wanita berbaju merah dengan celana jeans dan rambut panjang yang dikuncir ke atas. Ia memicingkan matanya dan meyakini bahwa itu adalah wanita yang ia temui di ruang ganti. Wanita itu sedang duduk di sebuah kafetaria yang ada di lobi.            Ivi mengambil surat itu dari dalam tasnya lalu berdiri dan berjalan menghampiri wanita itu.            “Misi, Mbak.” Kata Ivi. Ia melihat wanita di depannya mendongak, “ini punyanya bukan?” Ivi menunjukkan sebuah surat yang ia temukan di ruang ganti. Raut wajah wanita di depannya tampak terkejut. “Oh, iya. Saya pikir udah saya masukin ke dalam tas.” Wanita itu mengambil surat miliknya dari tangan Ivi. “makasih, ya.” Kata wanita itu dengan senyum ramah. “Sama-sama.” Jawab Ivi. Ia beru hendak pergi dari sana saat wanita itu mengajaknya duduk di sana. Ivi tampak berpikir sebentar lalu memutuskan untuk menunggu Ibam di sana. Keduanya berkenalan dan saling menjabat tangan. “Saya kayaknya baru lihat kamu di sini deh?” tanya Natalie yang kebetulan memang member di tempat itu. “Iya, saya kebetulan baru join di sini.” Jawab Ivi. Mereka melebarkan obrolan. Ivi bercerita di mana ia bekerja saat Natalie menanyakannya. Natalie juga bercerita bahwa ia mengelola sebuah café yang letaknya tak jauh dari sana. Ivi menatap wanita yang duduk di depannya baik-baik. Wanita itu tampak cantik dan ramah. Ia lalu mengingat surat yang ia temukan tadi. Surat dari pengadilan agama yang ia asumsikan sebagai surat untuk mengurus perceraian. Tapi wanita di depannya tak terlihat sebagai seorang wanita yang tengah mengurus perceraian dengan suaminya. Wanita di depannya tampak tenang dan ceria. Denting ponsel membuyarkan semua pemikiran Ivi. Ibam mengirim pesan bahwa ia sudah ada di depan dan meminta wanita itu keluar secepatnya. Ia berpamitan pada Natalie. Sebelum wanita itu sempat berbalik, Natalie mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet yang ia taruh di atas meja. Natalie menyuruh Ivi untuk mampir ke cafenya lain waktu. Ivi menerima lembar kecil yang diulurkan Natalie dan berjanji ia akan mampir suatu hari. Ivi berjalan meninggalkan Natalie yang masih duduk di kafetaria. Ia keluar dari tempat fitness dan melihat mobil Ibam berhenti di pinggir jalan. “Tyo udah balik?” tanya Ibam yang langsung membuat dahi Ivi berkerut dalam. “Orang tuh tanyain dulu istrinya udah makan apa belum? capek apa nggak? Ini malah nanyain Tyo lagi.” tanya Ivi saat Ibam mulai menekan pedal gas dan roda mobil perlahan berputar. Ibam terkikik lalu menjawab, “Kangen juga, udah lama nggak digodain Tyo.” Ivi melirik sambil berdecak pada Ibam yang justru terkikik geli. “Jangan lupa ajuin cuti untuk akhir bulan ini, lho, Vi” Kata Ibam tiba-tiba. Ivi tampak berpikir lalu menoleh ke arah Ibam yang sedang fokus pada kemudinya. “Buat apa, ya?” tanya Ivi saat tak menemukan jawaban. Ibam mendelik kesal lalu mengingatkan, “Rencana liburan kita.” “Oh.” Ivi membulatkan mulutnya, “kalau aku nggak bisa cuti gimana?” “Cuti itu hak karyawan, ya. Kalau nggak boleh, biar aku tuntut perusahaan kamu.” kata Ibam. Ivi mengulum senyum lalu menatap Ibam yang fokus pada jalanan yang sudah tampak lenggang. Mobil Ibam berhenti di depan gerbang. Ivi melipat kedua tangannya di depan d**a lalu menarik napas pelan. “Buruan buka.” suruh Ibam. Ia melihat wanita di depannya menggeleng pelan. “Nggak mau.” Katanya dengan nada tegas. “Kemarin kan aku udah bukan gerbang.” Kata Ibam tak mau kalah. “Aduh…aduh…” Ivi menunduk memegangi kakinya. “kaki aku kram, Bam.” kata Ivi sambil meringis kesakitan. “Gak usah akting.” Ibam mendengus. Lalu membuka safety belt istrinya. “Beneran.” Ivi masih meringis dan menatap Ibam penuh kesakitan. Ibam mendesis, ia membuka safety belt lalu membuka pintu dan keluar dari mobil. Dengan kunci di tangannya, ia membuka gembok gerbang lalu membukanya. Ia membalik badan dan melihat Ivi tersenyum manis ke arahnya. Tapi, Ibam tak membuka gerbang itu dengan lebar. Pria itu membuka sedikit, lalu masuk melewati gerbang dan setengah berlari menuju teras dan membuka pintu rumah. Ivi melotot pada Ibam yang melenggang santai meninggalkan mobil di depan gerbang. Ia membuka jendela mobil dan berteriak, “Ibaaaaam.” Sebelum masuk, Ibam menoleh dan memeletkan lidahnya pada Ivi yang masih ada di dalam mobil, di depan gerbang rumahnya. Ivi mendengus kesal lalu terpaksa turun dari mobil untuk membuka gerbang lebih lebar. Setelahnya, ia masuk ke balik kemudi dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi lalu kembali lagi mendekati gerbang untuk menguncinya. Ivi mendengus kesal lalu melangkah lebar-lebar menuju pintu yang ternyata terkunci. “Ibaaaaam.” Ivi menggedor-gedor pintu dengan tangannya. “Bilang dulu, ‘Ibam ganteng’ sepuluh kali.” Kata Ibam dari balik pintu. “Nggak mau.” Ivi membalik badan lalu memindai sekeliling. Tatapannya jatuh pada sebuah batu bata yang ada halaman, di antara tanaman-tanamanya hiasnya. “Yaudah, nggak bakal aku bukain pintunya.” Kata Ibam. Ivi mengambil batu bata itu lalu mendekat ke jendela. Sebelah tangannya terangkat untuk mengetuk jendela hingga tirai jendela terbuka, menampakan wajah Ibam di baliknya. Ivi tersenyum sinis lalu mengangkat tangannya yang menggenggam batu bata. Ia bisa melihat mata Ibam melotot. Ia bersiap melempar batu itu ke arah jendela saat Ibam buru-buru membukan kunci dan pintu terbuka lebar. Kepala Ibam menyembul di balik pintu dan ia melihat Ivi melempar batu bata itu hingga terjatuh di tanah dengan mantap. Ivi masuk ke dalam rumah dan menatap Ibam yang tersenyum ke arahnya sambil membuka lengannya lebar-lebar. Alih-alih berlari ke pelukan suaminya, Ivi malah melempar tasnya hingga tas itu sampai di pelukan suaminya. “Ngeselin.” Kata Ivi sambil menghempaskan dirinya di sofa. Ibam menaruh tas itu di atas meja lalu menarik kaki Ivi dan menaruh di atas pahanya. Tangan Ibam terulur untuk memijat kaki istrinya pelan. “Kamu tuh kayak orang berkepribadian ganda, tahu, nggak?” kata Ivi. “kadang ngeselin, kadang baik.” Ivi melihat Ibam tersenyum. “Kamu udah mandi belum?” tanya Ibam. “Belum.” “Yaudah ayuk aku mandiin sekalin.” Kata Ibam dengan senyum jahil. “NGGAK!!!”  TBC LalunaKia
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN