Ivi membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah map plastik di antara map dan dokumen di dalamnya. Ia meneliti lembar demi lembar yang ada di dalam map itu dan mengambil form cuti yang akhirnya ia temukan. Ia mengambil pulpen dan menuliskan namanya di tempat yang sudah disediakan, matanya menoleh ke arah kalender duduk yang ada di tas meja dan menatap tanggal-tanggal yang sudah ia lingkarin dengan pulpen berwarna merah. Setelahnya, ia menyelesaikan pengisian formnya untuk mengajukan cuti akhir bulan ini.
Setelah membubuhkan tandangan di atas form cuti itu, ia mengambil map kosong dan menaruhnya di sisi meja yang kosong. Ia membuka dokumen yang ada di atas meja dan memulai pekerjaannya.
“Vi, ini dokumen urgent yang kemarin lo cari, ya.” Tyo masuk dan menaruh dokumen di atas mejanya.
“Oh, iya. Thanks yaa.” Jawab Ivi, Tyo mengangguk lalu berbalik menjauhinya.
“Kemarin nunggu Ibam nggak lama, kan?” tanya Tyo saat mencapai pintu. Sebelah tangannya sudah memegang handle pintu dan siap menekannya agar terbuka.
“Nggak kok.” Ivi.
“Gue nanti mau maksi bareng Pipit.” Tyo memberitahu, ia melihat Ivi menarik garis bibirnya dan mengacungkan jempolnya.
“Selamat berjuang.” Kata wanita itu.
“Lo tahu nggak, dia suka apa? Gue mau kasih hadiah kecil sama dia?” tanya Tyo, ia masih berdiri di depat pintu dengan tangan memegang handle.
“Cokelat. Dia suka cokelat.” Jawab Ivi.
“Dih, kayak ABG deh. Yang lain lah.” Keluh laki-laki itu.
“Uang… dia suka uang.” Kata Ivi seraya tertawa.
“Nggak usah Pipit, gue juga suka kalau uang, mah.”
***
Seorang wanita menatap etalase berisi cake dan pastry di depannya. Ia meneliti satu persatu bentuk dan warna kue-kue cantik di depannya. Ia membuka kaca etalese dan mengambil satu potong cake green tea dan menaruhnya di atas piring kecil.
“Ge, kopi yang kayak biasa, ya.” Kata wanita itu pada seorang gadis yang tengah berdiri di belakang mesin kasir.
“Siap, Bu.” Gadis berseragam itu menyiapkan minuman untuk Natalie sementara dirinya duduk di salah satu meja di kafenya yang baru saja buka.
Ia memilih meja di pojok ruangan dan menaruh piring kecilnya di atas meja. Laptop dan beberapa dokumen yang ia bawa dengan tangan di sebelahnya juga ia taruh di atas meja.
Ia membuka laptop lalu menyalakanya tepat saat secangkir gelas di taruh di depannya. Ia mengucapkan terima kasih pada Gea, karyawannya. Ia mengetikkan jarinya di atas papan ketik dan membaca laporan penjualan kemarin.
Sebelah tangannya meraih cangkir kopi dan membawanya ke bibirnya. Ia menyesap isi gelasnya pelan lalu menyendok kue dengan sendok kecil dan memasukkannya ke dalam mulut. Tatapannya teralihkan pada denting ponsel yang ada di atas meja. Ia meraihnya dan membaca pesan yang masuk.
Amar : Aku sudah dapat panggilan dari pengadilan, tapi jangan harap aku mau datang. Kamu urus saja perceraian itu sendiri.
Natalie menarik napas panjang dan kenangan-kenangan baik dengan Amar berputar di otak kecilnya. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya akan sampai pada titik ini. Ia tidak menyangka karena ia merasakan bahwa rumah tangganya baik-baik saja dan pria itu bisa menerima semua kekurangannya.
Ia sudah menikah selama tiga tahun dan mengalami berbagai macam kesulitan bersama-sama. Ia mengenal pria itu sebagai pribadi yang baik dan tak macam-macam. Jadi ia tak menyangka bahwa pria itu bisa bermain di belakangnya.
Ia pikir ia sudah cukup menjadi istri yang baik sehingga Amar tak mungkin terpikat pada wanita lain. Tapi ia salah, pria tetaplah seorang pria. Seseorang yang bisa pergi kapan saja karena mencintai wanita lain.
Natalie tersenyum sinis, mungkin ini juga salahnya, seandainya saja ia bisa memberikan apa yang pria itu inginkan. Hal ini tidak mungkin terjadi. Tapi bagaimana mungkin ia bisa memberikan sesuatu yang bahkan diluar kendalinya.
Natalie ingat bagaimana pria itu meminta Natalie untuk menerima wanita simpanannya. Pria itu bilang bahwa tak akan yang berubah di dirinya meskipun ia memiliki dua istri. Dia akan tetap mencintainya dan mendampinginya di saat-saat tersulit. Natalie tak akan melupakan wajah tanpa dosa suaminya saat mengatakan hal itu. Suaminya mengatakannya dengan mudah seperti tengah membicarakan acara gosip di televisi.
Natalie yang sudah merasakan sesak di dadanya hanya bisa menangis. Jantungnya seperti ditusuk oleh ribuan jarum yang ia yakin bahwa sakitnya tak akan pernah hilang sampai kapanpun. Ia bahkan tak sudi lagi dipeluk oleh suaminya saat mengingat apa yang sudah pria itu lakukan di belakangnya. Natalie pernah menyuruh Amar memilih antara dirinya atau simpanannya. Tapi pria itu tak bisa menjawab. Natalie sudah cukup tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Setelah berpikir matang-matang dan merasa bahwa tak sanggup untuk di poligami, ia memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Ia telah membulatkan tekad untuk melepas suaminya dan ia akhirnya keluar dari rumah dan tak berniat menuntut harta gono-gini. Ia hanya ingin berpisah dengan pria itu dengan cepat. Mengubur semua kenangan indah bersama pria itu dan memulai hidupnya yang baru.
***
Vanya keluar dari busway dan menatap gerimis yang turun. Ia menyesal tak membawa payung karena tak berpikir akan turun hujan hari ini. Ia berjalan keluar dari halte, menunggu beberapa menit dan tak ada angkutan umum yang lewat. Beberapa orang terlihat menerjang hujan yang tak terlalu deras itu, sebagian yang lainnya membelah hujan dengan payung dan sisanya berteduh di halte yang sama dengannya.
Vanya merogoh ponselnya dan memutuskan untuk membuka media sosialnya sambil menunggu angkutan umum yang bisa ia naiki sampai depan kantor sehingga ia tidak perlu kebasahan karena melawan hujan.
“Vanya…” telinga Vanya mendengar seseorang memanggil namanya. Meninggalkan layar ponselnya, wajahnya menengadah dan menatap Ari melambai padanya dengan sebuah payung di tangannya. Pria itu memakai kaos polos berwarna putih dan celana bahan, juga sandal jepit.
“Ari…” lirihnya. Ia melihat pria itu mendekat hingga benar-benar berada di depannya. “lo dari mana?” tanya gadis itu.
“Abis dari ATM.” Laki-laki itu menunjuk galeri ATM di samping halte transjakarta. “lo nunggu angkot?” tanya laki- laki itu. Vanya mengangguk.
“Angkot lagi jarang. Kalau ada pasti penuh karena pada naik angkot semua. Jalan aja, yuk.” Ajak laki-laki itu sambil melirik payungnya. Vanya menimang sebentar dan memutuskan mengambil tawaran Ari karena waktu berjalan semakin siang.
Keduanya berjalan beriringan di bawah payung berawarna biru dongker itu. Ari membagi payungnya pada Vanya dan memastikan tubuh gadis itu tak basah sedikitpun meski ia harus mengorbankan ujung bahunya yang mulai basah karena payung kecil itu tak mungkin menyelamatkan keduanya.
“Baju lo basah.” Kata Vanya saat melihat bagian bahu laki-laki itu basah terkena hujan.
“Nggak apa-apa. Gue bawa kaos ganti, kok.” Jawab Ari sambil melipat payungnya. Ia mengembalikan payung yang ia pinjam dari resepsionis dan pergi menuju lift bersama gadis itu.
Keduanya masuk ke dalam ruang legal yang masih kosong. Vanya langsung duduk di kursinya sementara Ari mengambil baju dari tasnya dan kemeja yang ia sampirkan di kursinya. Laki-laki itu keluar dari ruangan dan kembali beberapa menit kemudian sudah dalam keadaan rapi. Ia sudah mengganti kaosnya dan melapisinya dengan kemeja bergaris juga sepatu pantofel yang membungkus kedua kakinya.
“Udah sarapan, Van?” tanya Ari saat duduk di kursinya.
“Udah.” Jawab Vanya singkat. Ia mengambil sisir dari laci dan menyisir rambut panjangnya dan bersiap untuk menguncirnya saat ia tak menemukan ikat rambutnya yang biasa ia taru di lacinya. Ia mencari di kotak pensilnya dan tak menemukan apa yang ia cari.
Ari mengambil tasnya dan merogoh salah satu kantongnya lalu mengeluarkan satu buah ikat rambut yang masih dibungkus plastik dari sana. Ia memberikannya pada Vanya.
“Kok lo punya ikat rambut?” tanya Vanya sambil mengambil ikat rambut dari tangan laki-laki itu.
“Gue tiap ketemu tukang jepitan selalu beli buat adik gue. Dia ngeluh ikat rambutnya hilang terus padahal dia pakai tiap hari.” Katanya sambil terkekeh.
“Bener, lho. Gue juga punya ikat rambut tuh nggak pernah awet. Tahu-tahu hilang aja.” Kata Vanya sambil mengikat rambutnya hingga leher jenjang gadis itu terlihat. Ia mengucapkan terima kasih pada laki-laki itu.
Ari tersenyum melihat gadis itu merapikan anak-anak rambutnya sambil menatap kaca kecil yang ia taruh di bawah layar komputernya.
“Dih, kenapa baru bilang mau cuti.” Suara itu terdengar tepat saat pintu terbuka. Fery dan Ibam masuk dan langsung duduk di kursi masing-masing.
“Masih lama, akhir bulan, kok.” Kata Ibam.
“Berapa hari?” tanya Fery sambil melepas tasnya dan menaruhnya di lemari yang ada di belakangnya.
“Cuma tiga hari.” Kata Ibam, “lagian, kan, udah ada Ari sama Vanya.” Kata Ibam. “eh, lo punya form cuti nggak?” tanynya. Ibam melihat pria itu mengambil sebuah map putih dan mengeluarkan selembar kertas dan memberikannya pada Ari, menyuruh laki-laki itu memberi pada Vanya hingga form cuti itu sampai di tangannya.
“Mau ke mana emang lo?” tanya Fery.
“Bulan madu.” Jawab Ibam sambil tertawa.
“Ck… bulan madu mulu.” Fery berdecak.
***
Tyo menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah minimalis dengan gerbang beraksen kayu. Rumah itu berada di sebuah komplek dan sudah tampak sepi malam itu. Ia melirik Pipit yang sudah mulai membuka safety beltnya.
“Makasih, ya.” Pipit menoleh ke arahnya. Tyo tersenyum sambil mengangguk pelan. Ia melihat wanita itu keluar dari mobil. Tyo membuka kaca jendela dan menatap Pipit yang tersenyum ke arahnya.
“Hati-hati.” Kata wanita itu.
“Iya.” Tyo menjawab. Belum sempat ia menutup kembali jendela mobil, suara seorang gadis melengking di antara mereka.
“Kak Pipit…” Tyo melihat Pipit mengarahkan pandangannya ke asal suara dan tak lama seorang gadis menghampiri Pipit dan tersenyum ke arahnya.
“Siapa?” gadis itu berbisik pada Pipit yang langsung memberi isyarat agar adiknya diam. Mendengar itu, Tyo memutuskan untuk keluar dari mobil dan mengenalkan diri secara sopan.
Pipit berdecak saat melihat Tyo keluar dari mobil. Sejujurnya, ia belum siap mengenalkan Tyo pada keluarganya meski mereka sudah terbilang dekat. Ia tidak mau orangtuanya menaruh harapan pada laki-laki yang belum tentu akan menjadi pasangannya.
“Tyo.” Pria itu mengulurkan sebelah tangannya pada Gita, adik bungsu Pipit.
“Gita.” Gadis itu menjabat tangan Tyo dan menawarkan pria itu untuk mampir ke rumah yang langsung membuat Pipit mencubit pinggang gadis itu yang langsung mengaduh sakit.
“Makasih, tapi sudah malam. Lain kali saja.” Tyo menolak dengan sopan. Gita mengangguk sementara Pipit sudah pasti akan menghadapi masalah besar setelah ini.
Setelah berpamitan, Tyo memutar dan melesak ke balik kemudi. Ia menyalakan mesin dan perlahan roda kemudi berputar meninggalkan Pipit dan Gita yang masih berdiri di depan rumah.
“Jangan bilang-bilang sama mama.” Pipit menarik tangan adiknya yang sudah ingin masuk ke dalam rumah. Gita menatap kakaknya dengan seraut wajah bingung.
“Memang aku ember banget apa?” kata gadis itu.
“Iya, kamu, kan, ember banget. Bocor lagi. Apa-apa pasti ngadu sama mama.” Pipit melipat tangannya di depan d**a dan melotot pada Gita yang mengulum senyum.
“Mamaaaaa…” Gita berlari menuju gerbang sambil memanggil-manggil mamanya sementara Pipit berharap ia bisa menyumpal mulut adiknya dengan kaos kakinya.
“Kak Pipit dianterin sama cowok.” Jawab Gita saat ibunya bertanya kenapa dirinya teriak- teriak. Pipit yang tak sempat menutup mulut adiknya hanya menghela napas berat. Ia melihat ibunya tersenyum. Dan sebelum ibunya menodongkan berbagai pertanyaan, Pipit langsung berujar,
“Teman Pipit, Ma. Cuma teman.” Kata wanita itu sambil mencium telapak tangan ibunya dan pergi menuju kamarnya.
Pipit mengempaskan tubuhnya di atas ranjang dan menatap langit-langit kamarnya.
Ia tahu bahwa jika tak langsung mengonfirmasi siapa Tyo dan langsung masuk ke kamar. Ibunya kan terus menerus memberondongnya dengan segudang pertanyaan tentang lelaki itu. Pipit yang pernah mengalami gagal menikah karena calon sumianya selingkuh jelas merasa trauma untuk percaya pada laki-laki. Berbeda dengan ibunya yang justru terus mendesaknya untuk menikah karena umurnya yang sudah mencapai kepala tiga. Pipit butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali menerima laki-laki baru yang sayangnya tak ada yang bisa membuatnya percaya untuk memberikan hidup dan kebahagiaannya pada laki- aki itu.
Pipit bisa melihat keseriusan Tyo padanya meski pria itu belum menjelaskannya secara gamblang. Tapi, ia tidak mau gegabah. Ia tidak mau menikah hanya karena desakan orangtua dan akhirnya kembali kecewa untuk kedua kalinya. Pipit ingin menikah saat ia benar-benar siap dan percaya bahwa pria itu adalah calon suami yang tepat untuknya. Pipit tak ingin merasakannya lagi. Kehancuran saat ia tengah berbahagia.
Tapi, Pipit akhirnya bersyukur pada Tuhan karena menunjukkan padanya bahwa pria itu bukan pria yang tepat untuknya. Ia bersyukur bisa berhenti dan tak memaksakan semuanya hanya karena tak ingin mengecewakan kedua orangtuanya. Ia yakin bahwa semua akan semakin memburuk kalau ia bersikeras menyuruh pria itu tetap menikahinya saat hati pria itu sudah tak ada lagi untukya.
TBC
LalunaKia