°05° Tak Terduga

1945 Kata
(ಥ ͜ʖಥ) HAPPY READY (ಥ ͜ʖಥ) Matahari dengan dirimu tidak ada bedanya. Matahari selalu ada untuk menyinari semua orang. Kalau kamu selalu ada menyinari hatiku. (Cinta Swara) : : : Pagi ini hujan turun lebat membuat semua orang malas untuk bergerak. Seperti yang dilakukan Swara dan Sanskar. Saat ini, keduanya hanya berbaring di atas ranjang. "Sanskar...." panggil Swara yang kepalanya berada dipangkuan Sanskar. "Hem?" "Janjikan akan selalu hidup bersama." "Berjanji hanya akan membuat kita merasa bersalah. Walaupun kita berjanji, tapi Allah tidak menginginkannya. Maka, untuk apa kita harus berjanji?" Swara terdiam sejenak. "Sans...." panggil Swara kembali dalam kehitungan detik. "Ya...?" Swara mengubah posisinya menjadi duduk yang berhadapan langsung kepada Sanskar. "Aku mencintaimu." Ia tersenyum mendengar perkataan Swara. Tanpa ia kasih tahu pun, Sanskar sudah tahu. "Aku lebih-lebih mencintaimu, Ra." jawab Sanskar, lalu Swara menjatuhkan dirinya di d**a bidang Sanskar. Sanskar yang mendapatkan perlakuan seperti itu, langsung saja mendekap Swara sangat erat. "Jangan pernah berpaling dariku." Sanskar melepaskan pelukannya dengan perlahan-lahan. "Tidak akan, sayang." Tok tok tok!!! Seseorang mengetuk pintu kamar mereka. Segera Swara turun dari ranjang dan membuka pintu kamarnya. Sebelum itu, ia sempat menghapus air matanya yang sedikit keluar tadi. Entah kenapa akhir-akhir ini firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu lagi. Swara takut akan kehilangan orang yang ia sayang. Cek lek! "Kavita? H-hai." sapa Swara kikuk saat ia mendapatkan Kavita di depan pintu kamarnya. "Swara kau...." Kavita menggantungkan kalimatnya saat melihat ada bekas air mata di wajah sahabatnya itu. "Hem, maaf kalau aku mengganggu dirimu dan Sanskar. Bibik menyuruhku untuk memanggil kalian. Makanan sudah siap disajikan." lanjut Kavita dengan tatapan sendu. Ia tahu, Swara habis menangis tadi. Tapi, sayang sekali ia tidak tahu apa penyebab sahabatnya itu menangis. "E-eh, iya. Baiklah, aku akan memanggil Sanskar dulu." ucap Swara yang hendak melangkah masuk. "Em, Swara...." panggil Kavita ragu-ragu. Swara berbalik. "Kalau begitu aku turun duluan, ya." Swara mengangguk. "Baiklah." Setelah Kavita tidak terlihat lagi, ia segera memanggil Sanskar untuk sarapan bersama. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ "Ma, maaf kalau tadi Swara tidak membantu kalian memasak." ucap Swara di dapur, setelah membawa beberapa piring dan gelas kotor. Sujata mengulas senyumnya seraya mengelus punggung tangan menantunya. "Tidak apa-apa, sayang. Mama tahu kalau kau merasa lelah. Justru itu, Mama tidak ingin mengganggu tidur nyenyak menantu Mama." Swara memeluk Sujata. "Mama adalah Ibu mertua yang terbaik sedunia." "Kau ini." Sujata tersenyum malu-malu setelah melepas pelukannya. "Lihatlah, Ma. Mereka bahagia, tapi tidak mengajak kita? Ragini jadi heran dengan alasan mereka yang bahagia begitu? Sampai-sampai mereka tidak tahu dengan keberadaan kita." ucap Ragini pura-pura bersedih melihat kedekatan Sujata dan Swara. "Ragini, kau ini." ucap Annapurna seraya memukul lengan Ragini sehingga menantu keduanya itu sedikit meringis kesakitan. "Ma, bisakah kita harmonis seperti Ibu dan Swara?" tanya Ragini yang masih setia dengan aktingnya itu. Annapurna menggeleng kecil melihat kelakuan Ragini. Sedangkan Sujata dan Swara hanya tertawa melihat kelakuan Ragini. Di dapur itu, begitu banyak kebahagiaan yang telah mereka buat selama ini. Mereka hanya berharap sebesar-besarnya agar kebahagiaan itu tidak akan pernah hilang. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ Tepat di jam 12:00. Sanskar berjanji kepada Swara yang akan membawanya kerumah Alfiansyah, keluarga mertuanya. Setiba mobil Audy itu di pekarangan rumah Alfiansyah, segera Sanskar membuka pintu mobil untuk Swara. Sanskar mengulurkan tangan kanannya. Swara yang melihat itu pun tersenyum sambil membalas uluran tangan dari Sanskar. Pintu rumah terbuka, memudahkan mereka berdua masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum." ucap keduanya bersamaan. Semua mata tertuju ke arah pintu masuk saat terdengar suara yang tak asing di telinga mereka. "Wa'alaikumsalam." jawab semua orang yang ada di ruang tamu. "Apa kabar, Ma?" tanya Swara saat memeluk Sarmishta. "Salam dulu, Swara." ucap Sarmishta mengingatkan putri pertamanya. "Hehe, lupa, Ma." ucap Swara cengengesan seraya menyalam Sarmishta. "Mama baik. Kamu?" tanya Sarmishta balik. "Alhamdulillah baik." jawab Swara. Setelah Swara dan Sanskar menyalam mereka satu-persatu, mereka berdua pun mendudukkan dirinya di sofa yang bermuatan dua orang. "BIK!" panggil Sarmishta kepada Bik Inah, pelayan mereka. Tampak seorang wanita paruh baya mengatur napasnya yang tak beraturan. Ia adalah Bik Inah yang akan menginjak kepala empat. "I-iya, Nya?" "Eh, ada Neng Swara dan Den Sanskar ternyata hehe... Apa kabar Neng, Den?" Swara dan Sanskar tersenyum, lalu menyalam Bik Inah. "Alhamdulillah, baik Bik. Bibik?" "Alhamdulillah juga. Oh, iya, Bibik jadi lupa. Nyonya tadi mau suruh saya buat teh kan?" "Iya, Bik." jawab Sarmishta tersenyum. Tak lama kemudian, Bibik Inah datang kembali dengan sebuah nampan yang isinya minuman dan camilan. "Kami datang...." ucap seseorang di ambang pintu. Mendengar itu, semua mata tertuju ke arah pintu masuk. Terlihat Ragini dan Lakshya berjalan menghampiri semuanya. Bukan. Bukan hanya berdua saja, Uttara juga ikut dengan berjalan di belakang mereka. "Assalamu'alaikum...." ucap ketiganya bersamaan. "Walaikumsalam...." "Lho, Uttara ikut? Bukannya tadi Uttara... Oh, Swara tahu apa tujuan Uttara kesini." ucap Swara dengan kata terakhir menggoda. Uttara yang baru saja menyalami mereka satu-persatu langsung menoleh ke arah Swara dengan tatapan memohon. Semua mata tertuju ke arah mereka berdua, termasuk Sanskar. Sanskar yang melihat tatapan Uttara kepada Swara langsung berdehem. "Apakah kalian berdua menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Sanskar. "Itu Uttara heum...." "Kakak, ish...!" decak Uttara seraya menutup mulut Kakak iparnya, Swara. "Udah-udah. Bertengkarnya nanti saja dilanjutkan. Sekarang, kita makan dulu." ucap Shekhar kepada yang lainnya. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ Setelah 3 jam berada di rumah Alfiansyah. Mobil Sanskar melaju ke kediaman Hadiwijaya dengan kecepatan sedang. "Sanskar, kenapa pulang? Katanya semalam mau kasih aku kejutan." kata Swara saat tersadar bahwa jalan yang digunakan Sanskar menuju ke kediaman Hadiwijaya. Bukannya menjawab, Sanskar malah sibuk dengan kemudinya. "Sanskar, ish...!" decak Swara kesal. "Aku ada urusan." ucap Sanskar dengan dingin. Swara menatap ke arah depan. "Kau bohong kepada ku!" ucap Swara rendah. "Aku tidak bilang akan ada kejutan setelah pulang dari rumah Alfiansyah." ucap Sanskar menatap Swara sebentar. "Besok. Aku akan menemani mu sekalian mau kasih kejutan untuk istri kecil ku ini." ucap Swara mengulang perkataan Sanskar semalam. "Lalu itu, apa? Bukankah itu termasuk ke dalam kata pemberi harapan palsu?" ucapnya kembali menoleh ke arah jendela di sampingnya. Oh, ayolah! Wanita mana yang suka di berikan harapan palsu? Wanita mana yang suka dengan kata bohong? "Turun!" ucap Sanskar dengan tegas saat mobilnya sampai di pekarangan Hadiwijaya. "Iya, iya." dengan kesal, Swara keluar dari mobil dan langsung berjalan masuk ke rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arah belakang lagi. Swara tidak tahu, kenapa sikap Sanskar berubah secara tiba. Tidak biasanya ia mendengar bentakan dari Sanskar. "Urusan nya aja di pentingin. Istrinya tidak usah! Awas saja kalau kelihatan batang hidungnya." cerocos Swara seraya berjalan masuk ke rumah. "Lho, Sanskar nya mana Swara?" tanya Sujata saat melihat Swara masuk sendirian. "Tidak tahu." jawab Swara cuek seraya duduk di bangku single bergabung dengan yang lainnya. "Kau pulangnya sama Sanskar kan? Lalu, Sanskar dimana?" kali ini Annapurna yang bertanya. Swara mengedikkan bahunya, sedangkan semua orang menggelengkan kepalanya. "Ragini dan Lakshya dimana? Tadi kan mereka duluan pulang" ucap Swara. Seperti yang dilakukan Swara tadi. Mereka semua mengedikkan bahunya, sedangkan ia menggelengkan kepalanya. "Huh, dibalas nih." ucapnya sedatar tembok. Sedangkan Sanskar, ia masih berada di dalam mobil sambil mengingat saat ia membentak Swara tadi. Pandangan Sanskar turun ke layar ponsel lebar yang tiba-tiba saja hidup bertanda adanya notifikasi masuk. Segera sebelah tangannya mengambil benda pipih tersebut dan menggeser ke atas gambar telepon berwarna hijau. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam, bagus Sanskar. Rencana kita pasti akan berhasil." ucapnya langsung saat Sanskar mengangkat teleponnya. "Terus?" tanya Sanskar kepada si penelepon. "Ya, udah. Jemput putrimu di bandara." "Ta...." "Sanskar, kau ingin putri kita menunggumu lama? Ayolah, kau tidak ingin itu terjadi kan? Pesawat yang ia naikin sudah turun beberapa menit yang lalu. Lalu, kau ing...." "Iya, iya. Aku akan menjemputnya. Lagian aku tidak ingin membuat ia menungguku lama di sana." "Oke, aku tunggu kedatangan kalian berdua. Hati-hati dijalan. Assalamu'alaikum." "Walaikumsalam." panggilan sepihak diakhiri Sanskar membalas salam. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ "Huh! Ayah lama sekali. Aku kan merindukan Ayah dan Ibu. Saat sampai di rumah, Ibu pasti terkejut dengan kedatangan diriku." ucap putri kecil berumur 5 tahun. Dengan rambut hitam panjang bergelombang sepunggung yang berwarna hitam, pipi tembem, bola mata hitam pekat, bibir tipis, hidung mancung bak perosotan, alis tebal panjang melengkung. Terakhir, ia memiliki kulit putih. Di sebelah kanannya ada Bik Siti. Bik Siti adalah pembantunya yang selama ini menjaganya di Kanada. 24 jam Bik Siti selalu ada untuknya. Di sebelah kirinya ada Pak Alim, bodyguardnya yang diperintahkan sang Ayah untuk selalu ada jika Sinta ingin bepergian. "Nona kecil, Ayah sudah datang." ucap Pak Alim kepada Nona kecil. Putri kecil itu berdiri dengan senyuman. "Benarkah, Pak?" Pak Alim mengangguk cepat. "Ah, Sinta mau bertemu Ayah! Di mana Ayah sekarang?!" tanyanya penuh semangat. "Di parkiran menuju kemari." "Bik Siti, ayo bertemu Ayah." ucapnya seraya menggeret Bik Siti, sedangkan Pak Alim membawa koper milik Sinta. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ "Ayah...!" panggilnya seraya berlari pada orang yang ia rindukan saat ini. Sedangkan sang Ayah langsung mengangkat tubuh Tuan putrinya. "Ayah, Sinta rindu Ayah muah muah." ucapnya sambil mencium pipi Ayah dengan berutal. Sanskar yang mendapatkan perlakuan itu langsung membalas putrinya. "Ayah juga, rindu. Sinta udah makan?" Sinta menghentikan ciumannya sejenak, lalu mengangguk. Sanskar menurunkan Sinta dari gendongannya dan kembali bertanya setelah ia menyeimbangkan dirinya dengan putri kecilnya. "Bagaimana liburannya di sana, hem? Pasti banyak teman kan?" "Di sana membosankan dan di dalam kamus Sinta tidak ada yang namanya teman. Ayah masih ingat itu kan?" "Hem, mana tahu Sinta di sana mendapatkan seorang teman." "Ada sih tapi tetap sama berakhir meninggalkan." Sanskar mencoel hidung mancung putri kecilnya. "Sudah, jangan dipikirkan lagi." "Ayah, ayo pulang! Sinta rindu Ibu." ucapnya bergelut manja di leher Sanskar. "Sinta tidak merindukan Papa dan Mama, hem?" Sinta melepaskan pelukannya. Meletakkan salah satu jari mungilnya ke dagu seraya berpikir. "Se-di-kit hihihi...." ucapnya cekikikan. "Kamu ini. Ayo, tapi sebelum itu Sinta tahu kan harus melakukan apa setelah sampai di rumah?" tanya Sanskar kembali. "Iya, Ayah. Sinta tahu. Tadi Mama mengingatkan Sinta lagi. Jadi, Ayah tidak perlu risau." ucapnya dengan tangan yang berada di leher Sanskar. "Anak Ayah ternyata sudah besar." ucap Sanskar berjalan keluar dengan Sinta yang berada di dalam gendongannya. Di belakang mereka, ada Bik Siti dan Pak Alim mengikuti. "Iya, dong Ayah. Memang Ayah mau Sinta kecil terus? Nanti kalau Sinta kecil terus tidak punya adik dong." ucap Sinta setelah mencium kedua pipi Sanskar. ┻┻︵⁞=༎ຶ﹏༎ຶ=⁞︵┻┻ Ting nong! Ting nong! Suara bel rumah Hadiwijaya terdengar suara tadi. Namun belum ada juga yang kunjung untuk membuka pintu. Swara yang berada di dalam kamar langsung turun dengan kesal. "Mendadak semua orang menghilang entah kemana." Ting nong! "Iya, bentar!" Cek lek! Saat membuka pintu, tidak ada siapa-siapa yang ia temukan. "Siapa sih?!" tanya Swara kesal sambil celingak-celinguk mencari si pelaku, namun nihil. 'Huh, ini pasti Sanskar. Dasar, Sanskar yang jahil.' kata hati Swara berbicara. "Sanskar, keluarlah. Aku tahu itu kau. Jadi tidak usah sembunyi-sembunyi lagi." ucap Swara dan lagi-lagi tidak ada sahutan dari siapapun. "Sanskar... Oke, aku tutup nih pintunya. Tapi, awas saja kalau suara bel terdengar lagi." Swara langsung menutup pintunya kembali. Bahkan menguncinya. Lalu, saat berbalik. "Ibu." panggil seseorang yang berada di belakangnya. Suara yang sangat familiar itu terdengar kembali, segera ia membalikkan tubuhnya. "Sinta...." gumam Swara dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Sinta menghambur ke dalam pelukan sang Ibu. "Sinta rindu Ibu... Ibu apa kabarnya, hiks?" ucapnya dengan sesegukan. "Ibu juga rindu Sinta. Kabar Ibu juga baik, sayang." Swara melepaskan pelukannya. Tangannya bergerak menghapus cap air di pipinya. Tangan Sinta juga ikutan mengusap pipi Swara, lalu jatuh kembali di dalam pelukan Swara. "Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang hari ini, hem?" tanya Swara seraya mengusap punggung putrinya. "Kejutan Ibu." ucapnya dengan senyuman. Swara melepaskan kembali pelukannya. "Siapa yang menjemput kamu di bandara tadi?" "Ayah." "Ayahnya ada di mana sekarang?" "Ayah tadi langsung pergi entah kemana. Katanya... a-da urusan." ucap Sinta pelan. 'Maaf, Ibu. Sinta harus berbohong demi ini.' Swara terdiam seraya berpikir. "Tunggu dulu. Kamu tadi masuk dari mana? Kan, pintu utama sudah Ibu kunci." "Ayolah, Ibu! Apa itu penting sekarang? Sinta rindu Ibu, tapi Ibu menanyakan hal yang lain." ucapnya cemberut. "Hem." Swara memicingkan matanya. "Kamu tidak merindukan Papa dan Mama?" pancing Swara. "Rindu, tapi Sinta mau kasih kejutan juga sama yang lainnya. Ibu janji jangan kasih tahu ke siapa-siapa dulu kalau Sinta pulang hari ini. Ibu mau kan berjanji?" Sinta mengulurkan jari kelingkingnya dan Swara menautkan kedua jari mereka. "Baiklah, sekarang kita ke kamar Ibu biar tidak ada yang tahu dengan kepulangan Sinta." Swara menggandeng tangan mungil putrinya menuju lantai 2. Sinta mengangguk. "Sinta mau Ibu buatkan teh?" "Tidak. Sinta mau istirahat saja, tapi Ibu harus berjanji lagi. Jangan melepaskan pelukannya saat Sinta belum bangun dari tidur." ucap Sinta mendongak ke arah Swara. "Iya, sayang." Swara membuka pintu kamar dengan pelan agar tidak terdengar suara decitan. "Rumah sepi. Kemana semuanya, Ibu?" tanya Sinta saat mereka sudah berada di dalam kamar. "Entahlah, Ibu juga tidak tahu. Bentar, Ibu mau ke kamar mandi dulu." Sinta mengangguk, lalu berjalan menghampiri ranjang. "Semoga semuanya akan berjalan dengan lancar, amin." (ಥ ͜ʖಥ) (ಥ ͜ʖಥ) (ಥ ͜ʖಥ) To Be Continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN