Penasaran

1772 Kata
Andika POV   Moment berkumpul kami berempat, dengan duduk di sofa yang sama saling berpelukan membuat suasana menjadi hangat. Aku tak tahu apa yang membuat diriku melangkah duduk disamping Alvira dan tanganku memeluk hingga menjangkau Keizia. Alvira, Tiara dan Keizia mereka ada dalam dekapanku. Yang jelas aku merasakan ada sesuatu yang beda, ada kebahagiaan disuasana seperti ini. Serta seperti ada panggilan tanggung jawab untuk aku melindungi mereka.   Aku merasa ada pergerakan kecil dari Alvira, membuatku berpikir, apakah aku terlalu erat hingga ia bergerak karena posisinya yang tak nyaman?. maka ku urai pelukan, namun bagian depanku masih menempel pada punggung Alvira, karena aku juga ingin melihat isi album yang ada dipangkuan Alvira. Suasana seketika berubah saat aku mendengar suara Alvira bergetar dengan telunjuknya menekan pada satu formasi keluarga bahagia "Mereka ini siapa?".   Akupun mengalihkan pandangan dari album melihat wajah Alvira, jarak kami yang sangat dekat ini membuatku mampu melihat jelas ada genangan bening di matanya. Aku mengeryitkan bingung, ada apa dengan Alvira, hubungannya dengan foto keluarga bahagia itu apa? Kenapa dia sedih melihat foto itu. "Ada apa memangnya?" tanyaku untuk mengusir rasa penasaranku.   "Ada hubungan apa mereka dengan keluarga ini?" Tanyanya lagi dengan pandangan yang masih fokus pada foto itu.   "Yang ini tante Maya, adiknya papa" tunjukku pada foto perempuan seusia mama. "Ini itu foto keluarga tante"   Setelah mendengar jawabanku Alvira langsung mendongakkan kepalanya menatap langit-langit ruangan, menarik nafas sedalam-dalamnya lalu menghembuskan kasar, hal ini terlihat dari pergerakan bahunya yang naik kemudian langsung luruh bersamaan dengan tubuhnya yang ia hempaskan ke sandaran kursi kemudian memejamkan mata. Sungguh aku bingung dengan bahasa tubuhnya. Saat aku mengankat wajah, aku lihat Keizia dan Tiara juga menjadikan Alvira objek fokus yang mereka amati. Lewat tatapan mata Keizia seakan bertanya yang hanya aku jawab gerakan bahu saja.   "Kamu kenal mereka?" tanyaku yang mampu membuat Alvira membuka matanya, dan langsung menoleh kepadaku. seulas senyum tak sampai mata dia berikan "Aku mau keatas dulu" Ucapnya lantas ia berdiri. membuatku semakin bingung. Di tanya apa, jawabnya apa.   Sebelum pergi, Alvira mengacak pelan puncak kepala Tiara. "Tante, eh mama ke kamar dulu ya" Izinnya canggung antara menyebut dirinya tante atau mama untuk memenuhi permintaan keponakan kecilku itu.   "Iya Ma, Tapi mama temani Tiara tidur kan? Bacakan Tiara dongeng lagi?"   Tiba-tiba Alvira berlutut di depan Tiara sambil menggenggam tangan mugil itu, "Sayang, malam ini minta temani tante Kei ya, mama capek butuh istirahat"   Suara pelan, yang penuh minta pengertian Alvira mampu menghipnotis Tiara yang seketika langsung mengangguk tanpa protes terlebih dahulu ketika keinginannya tidak terpenuhi. Alvira hebat bisa menjadi pawang untuk Tiara.   diraih kepala Tiara untuk di kecup kening oleh Alvira. Setelah itu Alvira langsung bangun dari posisi berlututnya "Kei, kakak ke kamar dulu ya, kakak titip Tiara ya"   Setelah di jawab anggukan kepala oleh Keizia, Alvira langsung berbalik badan dan melangkah seperti orang yang tak bersemangat menaiki tangga.   "Pekerjaan kantor banyak banget ya?, sampai menantu papa lunglai begitu" suara papa yang tiba-tiba terdengar dari samping kanan mengagetkanku. Saat ku tolehkan kepala, benar saja papa sudah ada di samping sofa single, sebelum akhirnya duduk.   "Sepertinya bukan masalah kantor, ekspresi berubah setelah lihat foto ini" jelasku sambil memperlihatkan foto yang sama Alvira lihat.   Ekspresi papa juga tersentak saat melihat foto yang aku tunjukkan. Padahal papa sudah sering melihat foto ini ketika Tiara minta melihat isi album ini. Anehnya, respon selanjutnya sama seperti Alvira, langsung berdiri dari duduknya dan ketika di tanya mau kemana, papa bilang mau ambil minum. berjalan dan menghilangnya sama seperti Alvira seperti kehilangan semangat.   Sebenarnya ini ada apa?.   __________________   "Ini setelan kerja kak Dika, Apa masih ada yang perlu aku siapkan?" Tanya Alvira tanpa menoleh saat aku sudah keluar di kamar mandi dengan jubah mandi. Sedangkan dia langsung menyambar jilbab yang dalam hitungan detik sudah menutupi kepalanya dengan model simple.   Akupun langsung mengambil baju yang disiapkan Alvira, dan membawanya ke walk in closed. Setelah setelan berpindah membungkusku, aku keluar dan mendapati Alvira yang duduk di pinggir tempat tidur dan menatapku intens, sepertinya ia dari tadi menungguku.   Aku berjalan mendekat, bukan bermaksud menghampirinya namun untuk mengambil dasi yang ada di tempat tidur, samping dia duduk.   "Ada apa ?" Tanyaku dengan tangan bekerja menyimpulkan dasi.   "Kapan kita bisa duduk serius, membicarakan tentang pernikahan kita?" Nada tegas dengan sorot mata tajam seakan dalam pertanyaan terselip itu sebuah perintah.   Keegoan diri sebenarnya terusik. Gen Herlambang, putra satu-satunya, seorang suami, dan menjabat CEO di perintah seorang perempuan, yang berstatus istri, dan juga bawahan di kantor. Demi apa ini? yah meskipun aku juga ingin membahas tentang pernikahan ini, tapi dengan nada bicara dan mimik wajah, bukan seperti mengajak bicara baik-baik, tapi menantang. Catat! MENANTANG!.   "Kenapa dengan pernikahan ini?" tanyaku sengit. Padahal sebelum ini, komunikasi kami sudah biasa saja. Mungkin ini yang di namakan komunikasi dalam satu level. Jika komunikator dengan intonasi dan mimic yang bersahabat, maka kita sebagai komunikan menangkap sinyal persahabatan dan feedback yang di berikan pun hangat terhadap komunikator. Namun jika komunikator sebaliknya, seperti sekarang, aku merasa ada yang tidak nyaman dari Intonasi dan mimic wajah Alvira. Responsku juga demikian.   Alvira menarik nafas dalam dan menghembuskan kasar sebelum bicara. "Maaf kalau nada dan ekspresiku kurang berkenan" dengan nada yang berbalik, 180 derajat dalam hitungan detik.   Aku binggung dalam hitungan detik ia bisa merubah ekspresinya, antara ia menyadari bahwa aku tidak suka dengan non verbalnya, atau ia berkepribadian ganda. Namun yang aku tahu ekspresinya akan berubah setelah ia menarik nafas dalam dan menghembuskan kasar. Semacam teknik pernafasan untuk mengatur emosi agar lebih baik.   "Pernikahan ini sudah berjalan sepekan, namun kita belum pernah membahas kemana arah tujuan rumah tangga ini akan berakhir. Kita butuh saling mengenal, bukan hanya sibuk dengan pekerjaan kita masing-masing. Walau pekerjaan adalah amanah yang harus kita pertanggung jawabkan, juga butuh komunikasi untuk saling memahami tentang apa yang dilakukan pasangan kita. Aku ingin membahas masalah ini dengan serius kak" Lanjut Alvira dengan nada yang lebih baik untuk mengajak berdiskusi hal yang penting.   "Kita bicarakan masalah ini, minggu depan. Hari ini aku akan sibuk banget dengan pekerjaan di kantor. Besok aku akan ke Makassar untuk memantau bagaimana perkembangan pembangunan hotel disana, serta dilanjut ke bogor dan Bekasi. sehingga selama seminggu ini aku akan keluar kota" jawabku datar, karena perubahan emosiku tidak bisa drastis kembali normal. dan sekali lagi Alvira menghembuskan nafas secara kasar.   "Kak selain kerja, aku juga punya aktifitas membantu anak kurang mampu yang ada dibelakang komplek perumahan. Biasanya aku membimbing mereka yang belum paham dengan pelajaran sekolah mereka. Mulai minggu ini sepertinya aku kembali ke rutinitasku yang itu, mengajar mereka."   "Terus?" dengan menaikkan salah satu alis, agar ia melanjutkan maksud ucapannya.   Dalam kalimatnya, Alvira hanya memberitahu tentang apa yang menjadi agendanya bukan ia meminta izin di bolehkan atau tidak ia melakukan kegiatannya sebelum ia menikah. Dimana katanya dia yang memahami perintah agama namun jika ia tidak menghargai posisiku sebagai suami.   "Kemarin aku diajak untuk berkunjung, namun aku tolak. Dan sahabatku tanya kapan aku mulai aktif lagi mengunjungi dan membantu kelancaran kegiatan disana" Lanjut penjelasan Alvira.   "Seberapa sering kamu dengan rutinitasmu itu?"   "Sebelum menikah, aku bisa setiap hari kesana. bahkan kalau sudah weekend aku bisa seharian di sana. Selain melakukan kegiatan itu menyenangkan, lokasinya pun dekat dengan rumah. Namun untuk sekarang mungkin aku bisa jadwal seminggu 3 kali, di hari senin, kamis dan jum'at. sepulang kerja. untuk memberikan motivasi, cerita sejarah atau membantu mengajar pelajar sekolah mereka" Jelas Alvira dengan sebegitu detail.   "Aku tidak bisa menjadi supir antar jemputmu kesana" Sindirku yang menyiratkan aku tidak mengizinkannya. Aku tidak menyukai dia banyak kegiatan di luar rumah.   "Maka itu, aku akan mengambil mobil atau motorku untuk fleksibel mobilitasku. Maka kamu tidak perlu antar jemput untuk ke RB nantinya. Atau aku bisa pakai kendaraan umum nantinya" Jawabnya ringan, seakan tidak paham bahwa aku tidak mengizinkannya. Sepertinya Alvira butuh untuk di pernyataan eksplisit.   "Untuk apa kamu mengatakannya padaku?. Kalau aku melarang, apa kamu akan tetap melakukannya?" Sarkasmeku.   "Kasih aku alasan logis, kenapa kamu melarangnya!"   _______________   Saat melihat ruang makan terasa hangat. Seluruh keluarga mulai papa, Keizia dan Tiara sudah duduk di kursi mereka. Sedangkan mama sedang berdiri menuangkan menu sarapan untuk papa. Seperti halnya papa. Akupun tak repot untuk mengambil makananku sendiri, karena ada Alvira yang akan melayani.   "Kak, ini Kei pesan tiket pesawatnya cuma untuk kita berdua aja?. Kak Alvira tidak diajak sekalian?". Tanya Keizia saat aku dan Alvira baru saja menarik kursi makan. Aku menatapnya sebentar kemudian mengangguk.   "Loh, Dika mau kemana?" Tanya mama dengan meletakkan piring di atas meja depan papa.   "Ada tinjauan proyek di Makassar dan Bogor, serta ke Bekasi untuk menemui client" Jawabku   "Harus kamu yang turun lapangan langsung?" Sekarang papa yang bertanya. Akupun membalas anggukan.   "Vira, apa kamu tidak ikut Andika saja, sayang?. Sekalian kalian Honneymoon". Mendengar pertanyaan mama, Alvira yang sedang mengambilkan sayur untukku menghentikan gerakkannya, menatap mama lama tanpa ada kata yang terucap.   "Ma, Dika disana ada urusan kerjaan. Pasti akan sibuk. Bukannya senang, Alvira pasti akan bosan nantinya ma". Jawabku karena Alvira tak kunjung mengeluarkan suaranya.   "Kan nanti ada Keizia bisa menamani kalau kamu sibuk" Sambung mama lagi.   "Ma, Keizia ikut untuk bantu Andika ngurus kerjaan disana"   "Yah, kalau gitu nanti kamu tambah hari saja, biar bisa honeymoon sama Vira. Kei, nanti kirim pulang kesini" jawab mama dengan begitu mudahnya.   "huff.. mama tanya sendiri sama Alvira, mau ikut apa tidak dianya" Ucapku akhirnya. Sepertinya mama tidak mengerti bagaimana situasi kami yang sulit di jelaskan.   "Ma'af, ma. Alvira tidak bisa ikut. Kemarin Alvira sudah ambil cuti, Tidak enak kalau Alvira ambil cuti lagi. Hal ini sudah kami bicarakan " Jawab Alvira ketika mama menatapnya intens.   "Gak papa Vir, ambil cuti aja. Gak akan dipecat, bosnya kan suami sendiri" Desak mama yang masih belum menyerah.   "Ma, Alvira kan juga harus professional dalam kerja"   Jawaban singkat Alvira, masih ingin di bantah mama, kalau tidak ada kode dari papa untuk menghentikan mama yang masih bernegoisasi agar Alvira ikut.   "Kak, Kenapa sih kak Vira tidak berhenti bekerja saja?. Tradisi kami, perempuan Herlambang tidak ada yang bekerja. Keizia pun nanti sama, ketika sudah menikah hanya menjadi ibu rumah tangga saja".   "Tradisi keluargaku, perempuan boleh bekerja, mengekspresikan minat bakatnya". Jawaban Alvira membuatku menoleh kepadanya.   Saat aku hendak membuka suara menanyakan apakah bunda pernah bekerja setelah menikah dengan ayah. suara mamaku yang lebih dulu terdengar. "Bukannya Bella berhenti kerja setelah menikah dengan Faiz, Vir? Itupun atas permintaan Faiz" .   mendengar pertanyaan mama, Aku menjadi bingung sendiri. Tradisi keluarga seperti apa yang Alvira maksud, kalau bundanya saja seorang ibu rumah tangga yang penurut.   "Maksud kamu tradisi keluarga itu apa?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku, karena aku sangat penasaran akan sosoknya dan mungkin dengan keluarganya, walaupun aku sudah mengenal ayah Faiz sangat lama sekali.   Namun pertanyaan hanya menjadi pertanyaan saat instruksi tegas papa menghentikan obrolan panjang di meja makan.   "Semuanya sarapan! Bisa telat kalau obrolan ini tidak dihentikan".
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN