Menjaga

1221 Kata
ALVIRA POV   "Yang ini tante Maya, adiknya Papa."   "Ini itu foto keluarga Tante."   Padahal ini sudah berjalan seminggu sejak aku tahu hubungan keluarga yang di foto itu dengan keluarga Herlambang. Jawaban yang disampaikan Kak Dika terus saja menggema di telingaku. Kenapa bumi ini tidak selebar daun kelor. Kenapa sesempit ini dunia, semuanya berputar dan kembali ketitik yang sama. Sungguh aku tidak mengira kalau mereka adalah bagian dari keluarga ini.   Dan kenapa semua ini aku ketahui sesudah menikah dengan Andika. Ya Allah, jika sudah begini, bukan lagi hubungan dua keluarga. Hubungan tiga keluarga yang harus aku pertimbangkan dalam setiap keputusan aku dan kak Dika ambil nantinya. Dan ini, seakan tidak memberikanku alternatif pilihan kecuali mempertahan pernikahan ini. Namun bagaimana jika dalam dua tahun nanti kami masih belum bisa menjalani rumah tangga seperti pada normalnya? Bagaimana kalau akhirnya perceraian menjadi ending? Apakah hubungan tiga keluarga ini akan rusak?   "Vir!"   "Auw" Jawabanku atas panggilan disertai tepukan lumayan keras pada bahuku.   "Kenapa sih Yun? Sakit tau!" kesalku pada pelaku kekerasan yang sekarang sedang menarik kursi dan duduk di samping kursi kerjaku.   "Santai dong Vir. Masak sih gitu aja sakit," balasnya cuek dengan senyum mengejeknya.   Akupun langsung mendelik kearahnya. "Sini lo, kalau pengen ngerasain!" ucapku dengan tangan yang sudah mengudara.   Seketika Ayunda menghentakkan kakinya, agar bisa mendorong roda di bagian bawah kursi bergerak mundur. Aksi menghindar yang cukup bagus. Kemudian Ia memainkan kedua alisnya disertai senyum mengejeknya karena aku tak bisa membalas perbuatannya.   Aku memutar bola mata malas kemudian memutar kursiku untuk menghadap meja, daripada menghadapi ketidakjelasan Ayunda. Tak lama Ayunda dengan gerakan kakinya, menarik kursi yang sedang didudukinya itu untuk maju mendekat di samping kursiku lagi.   "Lo, mikirin apa sih Vir, serius banget tadi wajah mikir lo. Ada masalah?" tanya Ayunda dengan seriusnya.   Aku menatapnya sekilas. "Gue gak mikirin apa-apa."   "Cih, bilang gak mikir apa-apa. Wajah lo udah terlihat serius gitu. Udah gak usah bohong. Ayo cerita,” desak Ayunda.   Memang sih untuk di hadapan para sahabat, kami bisa merasakan perubahan emosi yang dirasakan antara kami. Tapi tetap saja kami akan menghargai privasi hingga siap bercerita. Kecuali itu sesuatu yang melibatkan kami atau salah satu diantara kami. Responnya akan lain. Mendesak bahkan marah respon yang akan di tunjukkan jika berani bungkam. Dan contohnya adalah aku yang tak kunjung memberitahu Radith tentang rencana pernikahanku dan Andika.   "Udah, gak ada sesuatu yang penting kok. Sekarang lo balik ke kubikel lo. Kerjain pekerjaan lo sana," usirku agar Ayunda tidak menjadi pengganggu. Sungguh aku butuh kesendirian untuk mampu memikirkan semua yang akan terjadi di hidupku, pernikahanku dan keluarga yang saling terkait.   "Nyantai Vir. Lo pikir ini akhir dan awal bulan yang kerjaan menumpuk? Tuh lihat mejaku bebas berkas," ucap Ayunda dengan gerakan dagu menyuruhku melihat mejanya.   Dan benar saja, Mejanya bersih dari berkas. Memang sih hari ini kami tidak banyak pekerjaan.   "Vir, Pak Bos kapan pulang?" pertanyaan Ayunda langsung membuatku kengerutkan alis.   "Kok tiba-tiba nanyakan suami gue pulang kapan? Ada apa?" selidikku.   "Yah, siapa tahu pak bos belum pulang. Gue mau ajak lo ke mall"   "Oh, jadi sekarang Ayunda jadi anak mall nih," ledekku, mengingat kami bukan tipe orang suka habisin waktu di mall.   "Iya-iya gue jadi anak mall, kalau ada yang mau aku beli," jawab Ayunda yang sudah gentian memutar bola matanya jengah.   "Emang lo mau beli apaan?" tanyaku   "Emang lo lupa? tiga hari lagi moment apa?" Bukannya menjawab, Ayunda malah melempar pertanyaan balik. Langsung saja aku melihat kalender. Dan secara reflek langsung menepuk keningku.   "Ayunda... Terima kasih lo udah ingetin. Mati gue kalau sampai melewatkan moment itu," pekikku seketika.   "Jadi? Bisa ikut gak nanti pulang kerja?" konfirmasinya.   ________________________   Sampai di rumah saat adzan isya' berkumandang. Melewati ruang keluarga yang sepi, karena mama, papa dan Tiara menghadiri acara relasi Papa. Langsung saja aku masuk ke kamar Kak Andika yang berarti juga kamarku untuk membersihkan diri, dan beristirahat. Rasanya lumayan capek setelah berjalan-jalan di mall sekitar satu jam setengah demi mendapatkan sesuatu yang pas moment tiga hari mendatang.   Kejutan di moment tiga hari mendatang akan beda dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan alasan yang sama, karena perubahan akan statusku. Jika perayaannya tidak terlalu berkesan seperti tahun-tahun sebelumnya, minimal apa yang nanti aku berikan mampu memberikan kesan kepada yang menerimanya.   Aku meletakkan dua paper bag ukuran sedang dan juga satu paper bag ukuran kecil beserta beberapa kertas buffallo berwarna-warni. Hasil jarahanku saat ke mall bersama Ayunda. Setelah itu baru aku masuk kekamar mandi, membersihkan diri dan mengganti kaos panjang dengan celana longgar. Serta aku menyiapkan jilbab segitiga instan diatas tempat tidur.   Aku mengambil gunting di laci atk untuk mulai membuat hadiahnya. Pertama kali yang kulakukan mengunting buffalo warna-warni menjadi persegi dengan ukuran 5x5cm. Dan itu sudah disesuaikan dengan ukuran kotak kado. Ketika jumlah yang dibutuhkan terasa cukup, aku membuang sisa-sisa bufalo yang tidak terpakai. Baru aku tulis di kertas-kertas tersebut apa yang hendak aku ungkapkan. Langkah selanjutnya, aku akan merangkai tulisan tersebut bersama foto yang ada sudah aku cetak dengan ukuran yang sama. Maka langsung aku ambil paper bag ukuran kecil yang dan aku keluarkan isinya mulai dari kotak kado, foto, double tip dan juga seutas benang untuk mulai merangkai hadiah special.   Ceklek... ceklek... bunyi pintu yang berusaha di buka dari luar, mengalihkan perhatianku. Kuhentikan aktifitas merangkai kertas pesan dan foto pada benang yang baru dapat tiga rangkaian. Aku baru ingat, karena tidak ada Kak Dika, pintu aku kunci.   "Siapa?" Tanyaku, namun tidak sahutan hanya berbalas dengan ketokan pada pintu.   Akupun mengambil jilbab diatas tempat tidur, dan memakainya sambil berjalan. Saat di depan pintu aku langsung membukanya dan disajikan dengan wajah kak Dika.   "Assalamualaikum Kak," salamku dengan ragu. Karena heran dengan tampilan kak Dika yang kusut dan pucat.   Kak Dika tidak menjawab. Saat aku meraih tangan untuk aku cium, terasa sangat panas "Astaufirullah, Kakak sakit?"   Sekali lagi aku diabaikan. Kak Andika melangkah dengan lemah kearah tempat tidur, kemudian menghempaskan tubuhnya. Merasa ada yang tidak beres aku mendekat untuk mengeceknya. "Ya.. Allah kak panas banget," gumamku saat menyentuh keningnya.   Aku luruskan posisi tidur, kulepaskan sepatu dan kaos kaki serta aku longgarkan ikat pinggangnya, agar kak Dika bisa istirahat dengan nyaman. Kemudian aku kompres kening kak Dika menggunakan handuk kecil yang sebelumnya sudah aku basahi. Aku tidak tahu lagi perawatan seperti apa yang bisa aku berikan sama kak Dika, mengingat aku bukan orang yang faham dengan tindakan medis. Asal memberi obat bisa bahaya.   Aku mengambil ponselku untuk bisa menghubungi mama. Karena hanya itu yang terlintas di kepalaku agar kak Dika segera mendapat penangan.   "Assalamuaikum Ma," salam ku saat panggilan sudah terhubung.   "Waalaikumsalam. Iya Vir, ada apa?" tanya mama   "Ma, ini kak Dika sudah pulang. Tapi suhu tubuhnya panas benget. Vira minta nomor dokter yang biasanya menangani kak Dika."   "Ya... Allah Vir. Sekarang kondisinya Dika bagaimana?" tanya Mama khawatir.   "Kak Dika datang langsung istirahat Ma. Lemas banget orangnya."   "Ya udah, kamu jagain Andika dulu. Mama yang akan telfon dokternya. Mama pulang sekarang".   "Iya Ma. Assalamualaikum."   "Waalaikumsalam."   Saat panggilan tertutup. Aku mengamati kak Dika. Mencoba berempati dengan kondisinya yang demam, istirahat dengan setelan lengkap. Pasti sangat membuat gerah. Aku memberani menggantikan atasan Kak Dika dengan kaos yang tipis. Setelah memastikan istirahat kak Dika dalam posisi nyaman, aku duduk di pinggiran tepat tidur, tepat di samping kaki kak Dika. Menjaganya.   Anggap saja ini kompromi awal, Bagiku menjaga rumah tangga ini. Menjaga hubungan keluarga yang sudah terjalin terlebih dahulu sebelum aku dan Kak Dika terikat. Apalagi, bukankah pernikahan seharusnya tidak dijadikan mainan atau peluang percobaan. Namun diperjuangkan keutuhannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN