Bab 1 Tabrakan
Seorang gadis berjilbab marun terlihat melangkah dengan tergesa, disusul satu temannya mengekor di belakang dengan langkah terseok. Sepertinya gadis itu mengejar seseorang entah siapa.
Malang tak dapat dielak, karena kecerobohannya tidak melihat kanan kiri dan depan dengan baik, tabrakan pun tidak dapat dihindari.
Suara dentuman koper kecil yang biasa masuk kabin beradu dengan lantai. Tubuh gadis itu terpelanting ke belakang membuatnya mengaduh seraya mengusap b*k*ngnya yang mencium keramik bandara Soekarno Hatta (Soeta). Ya, mereka baru saja mendarat di terminal domestik Soeta dan mau pindah gate menuju terminal internasional untuk penerbangan selanjutnya menuju Incheon.
"Ough, jalan hati-hati bisa, nggak?" pekik Aish setelah menabrak punggung seseorang yang tiba-tiba berhenti di depannya. Nadanya yang khas dan melengking membuat laki-laki yang ia tabrak memutar badan menghadapnya. Laki-laki bermasker itu hanya memasang ekspresi kening berkerut.
Merasa tidak bersalah, jelas iya. Yang pantas disalahkan adalah gadis yang tiba-tiba menabraknya dari belakang, tetapi justru memarahinya. Ia baru saja mendarat di terminal dosmetik.
Aisha namanya, mahasiswi semester 3 baru saja mendarat dari Yogya bersama rombongannya dalam rangka study tour ke Busan. Ia ditemani Meymey mengejar orang asing hingga terpisah dari rombongan. Sepertinya laki-laki itu satu pesawat dengannya tadi. Mey segera membantu Aish berdiri, raut berselah terlukis di wajahnya berbeda dengan Aish yang masih bertahan dengan egonya tidak mau mengakui kecerobohannya.
"Maaf, Mas," seru Mey mewakili sahabatnya yang ceroboh. Mendengar gadis lain yang justru meminta maaf, laki-laki bernama Andra itu semakin heran. Alisnya terangkat, tetapi kalau dilihat dari sorot matanya seolah tidak ada senyum sama sekali yang ditunjukkan.
Andra tercatat sebagai mahasiswa program double degree master di universitas ternama di kota pelajar Yogyakarta. Kedatangannya di Soeta untuk penerbangan menuju Incheon berlanjut ke Daejeon. Ia mengambil kuliah di universitas ternama di kota itu untuk gelar double degreenya.
"Mey, ini orang Indonesia apa turis, sih? Punya mulut kok diam aja dari tadi, muka sih kayaknya ganteng tapi serem juga kalau ternyata dia tuna wicara. Takut aku."
"Hush, ngomong yang bener, Aish. Kalau dia dengar gimana. Malu aku jadi temanmu." Mey mendengkus kesal.
"Gimana nih, Mey." Aish tampak bingung mau minta maaf karena tatapan laki-laki itu seolah menghujam ke arahnya. Nyalinya tidak sebanding dengan kebiasaannya yang percaya diri. Laki-laki yang tingginya menyamai atlit basket itu memasang aura dingin layaknya es di gunung Alpen Swiss.
"Coba speak English, Aish!" Mey berbisik ke telinga Aish dan masih bisa di dengar laki-laki itu yang dikira Aish adalah Dika temannya semasa putih abu-abu, ternyata hanya sekilas mirip perawakannya. Aish sedikit menyesal, bisa-bisanya laki-laki mengenakan masker itu mirip Dika dari jauh. Saat didekati justru mirip oppa Korea pikirnya. Tangan kanannya pun mendarat di jidat.
"Payahnya, aku."
"I'm sorry, Sir," kata Aish sambil mengulurkan tangan. Ia mencoba membangun kepedeannya kembali. Menegakkan kepala seraya menarik sudut bibirnya agar tampak tersenyum meski gugup mendera. Ia khawatir kalau kalau laki-laki yang ditabrak benar-benar oppa Korea, memalukan.
Aish segera menarik tangannya karena tidak kunjung dibalas.
"Mey, nggak sengaja in English apa, ya?" Aish berbisik ke sahabatnya yang dijawab gelengan kepala. Apalagi Meymey, sahabatnya yang berasal dari pelosok lereng gunung Lawu juga level speakingnya kurang lebih sama dengan Aish. Hanya saja Aish lebih pede dibanding Mey.
Aish yang berasal dari pelosok kota Magelang di lereng gunung Sumbing kurang berbakat komunikasi dengan bahasa asing. Mana bahasa Inggrisnya selevel biasa saja. Andai ia punya uang berlebih, sudah dipastikan akan mengikuti kursus bahasa asing biar cas cis cus. Tour kali ini saja ada guidenya, beruntunglah mereka. Mereka berdua cekikian sendiri sambil menutup mulut.
"Ih ini orang ganteng-ganteng nggak bisa ngomong, ya?" Aish menggerutu kesal.
"Kalau jalan lihat-lihat, jangan main tabrak. Gayanya mau ngomong pake bahasa Inggris." Laki-laki itu menjawab dengan nada ejekan. Sontak saja darah Aish mendidih sampai ke ubun-ubun. Merasa dipermainkan jelas iya. Tadi diajak ngomong diam saja, sekalinya bicara justru menusuk tajam ke ulu hati.
"Kamu?!" Tangan kanan Aish sudah melayang di udara. Hampir saja ia hentakkan karena kesal. Namun saat Andra melepaskan maskernya, justru Aish dan Mey terpukau melihat wajahnya. Ya, wajahnya oriental, putih bersih dengan mata sedikit sipit, dan alisnya tebal. Mau tak mau, Aish hanya memutar-mutar tangannya di atas memainkannya di udara. Gegas, ia tarik kembali tangannya ke bawah.
Aish hanya bisa menganga tak percaya. Sikap kesal karena laki-laki itu ternyata bisa bahasa Indonesia dengan lancar artinya bukan turis asing, mendadak menguap begitu saja. Perangainya memang menyebalkan, tetapi ketampanannya jauh lebih dominan.
"Kamu justru harus tanggung jawab, gara-gara nabrak, barang bawaan saya tercecer nih." Terdengar laki-laki itu memberi titah lebih ke sebuah paksaan, membuat Aish mulai kebingungan.
"Waduh gimana nih, Mey."
"Hmm, gini aja pakai ini dulu untuk wadah ya Pak. Eh Mas." Aish menggaruk kepalanya yang tertutup hijab.
"Maaf saya bingung manggilnya apa?" Aish menyodorkan tas kresek yang diselipkan di bagian samping tasnya.
"Panggil saja Andra. Asal tahu aja saya masih muda jangan panggil saya Pak," tukas Andra kesal. Usianya hampir 24 tahun di semester akhir program double degree dengan program beasiswa pemerintah. Ia harus mengikuti studi di negeri ginseng untuk bisa mendapatkan gelar ganda.
"Eh, Mas Andra kok ngelamun. Sini saya bantuin beresin ya. Yuk Mey!" Aish mengajak Mey membereskan barang Andra yang tercecer. Hanya karena lawan bicaranya membuka masker, Aish dan Mey seperti tersirep, mendadak kalem dan ramah. Sementara itu, Andra masih dengan wajah datar hanya mengedikkan bahunya.
Andra sengaja tidak membawa koper dan hanya membawa tas punggung ukuran sedang. Tas yang sebenarnya sudah minta ganti, tetapi tidak kunjung beli karena tas kesayangannya waktu kuliah sarjana di Bandung. Alhasil ritsleting tas itu kadang membuka sendiri dan beberapa bajunya tercecer karena tabrakan tadi.
"Malu-maluin tahu diwadahin kresek, Neng. Warna item lagi," ucap Andra lirih supaya tidak didengar orang-orang yang berlalu lalang. Namun tetap saja, beberapa pasang mata menatap mereka geli seraya menutup mulut. Aish tak acuh dengan ucapan Andra. Ia sibuk memasukkan barang Andra yang tercecer.
"Nama saya Aisha Mas," jawabnya penuh penekanan diiringi senyuman menggoda. Sontak saja Mey menyikutnya supaya mempertahankan sikap kalemnya barusan.
"Sasha, masukin tuh kresek ke tas atau kopermu masih muat, kan?" tunjuk Andra pada tas Aisha.
"Lho kok manggilnya sasha sih, emang merk penyedap." Aish sudah menggerutu karena panggilan sesuka hati yg diberikan Andra.