Datangnya sang Madu
Ngakunya dinas, tapi pulang bawa istri muda. Aku menatap wajah wanita yang sudah merebut suamiku itu dengan tatapan datar. Bahkan untuk sekedar marah pada sepasang sampah itupun aku sudah muak.
"Assalamualaikum mah, kenalin ini Amira, istri muda ku. Aku harap kamu bisa menerima Amira sebagai adik madu mu," kata mas Panji dengan entengnya saat pintu rumah baru saja kubuka.
Bukan tak sakit, tapi aku sudah kenyang untuk menangisi nasibku yang malang ini. Sebenarnya, aku sudah mengetahui perselingkuhan mereka sejak Minggu lalu, saat mereka mempersiapkan acara pernikahan dan aku meminta seseorang untuk menyelidikinya.
Saat pertama kali mengetahui hal itu, aku juga merasa hancur berkeping-keping, istana yang ku bangun runtuh seketika, dan bahkan aku menangis tanpa henti. Namun, aku harus bangkit demi kebahagiaan ku. Aku tidak ingin mereka bahagia di atas penderitaan ku. Mereka juga harus menderita seperti yang aku rasakan.
"Waalaikumussalam. Selamat datang, mas." Selamat datang ke neraka mas, sambungku dalam hati.
"Maya, kenalin ini Amira. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, dia istri ku juga. Maaf sebelumnya aku tidak jujur, karena aku pikir itu akan lebih menyakiti hatimu. Sekarang aku ingin memperkenalkan Amira sebagai istri ku, kekasih halal ku."
Jaga cocot mu mas, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menerima wanita manapun untuk jadi madu ku. Termasuk ular ini.
"Amira, ini Maya istri pertama ku. Kuharap kalian berdua akur, karena kalian sama-sama istriku. Aku janji akan berlaku adil pada kalian berdua."
Aku menatap mas Panji dan Amira dengan senyum yang nyaris tidak terlihat. Menahan diri untuk tidak mengatakan hal-hal yang sebenarnya ingin sekali ku lontarkan.
"Maya, aku tahu ini berat, tapi kita bisa melewati ini bersama," kata mas Panji seolah yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Aku harap kita bisa berteman, Kak Maya," Amira menambahkan, mencoba tersenyum.
Aku tidak menanggapi kata-kata mereka. Rasanya semua sudah terlalu terlambat. Dalam hatiku, keputusan telah diambil. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan ini lebih lama lagi. Dengan tenang, aku mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu. "Silakan duduk," ucapku singkat, kemudian bergegas ikut duduk dengan santai tanpa menyiapkan minuman.
Aku tahu ini adalah kesempatan untuk mengatur rencanaku. Setelah mengatur kembali perasaanku, aku kembali menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengeluarkan pendapat ku.
Duduk berhadapan dengan mereka, aku berkata, "Aku minta waktu sebentar untuk berpikir dan menata hati. Mas Panji, tolong beri aku ruang untuk mempertimbangkan semuanya. "Aku yakin mas Panji berharap aku akan menerima pernikahan dadakan seperti tahu bulat ini.
Mas Panji tampak ragu, namun akhirnya mengangguk. "Baik, Maya. Aku mengerti." Tampak sebuah kekecewaan tersirat jelas di wajahnya. Jelas saja mas Panji kecewa, karena semua aset rumah ini adalah milikku. Dia pikir aku akan lapang d**a menerima pengkhianatan ini setelah menerima dia yang kere itu.
"Jadi, tolong mas Panji pergi dulu dari sini sebelum aku memberikan jawabannya. Mas tau kan, jika ini masih masih membuat ku shock?" Mas Panji mengangguk sambil menatap Amira dengan berat hati. Rasakan itu.
"Tapi, anu ... Maya ke mana kami harus tinggal? Tiba-tiba saja semua hotel penuh," ucapnya dengan tidak tahu malu. Ya mana peduli ku mas. Kamu saja yang tidak tau, bahwa aku yang sudah membooking semua hotel yang ada di sekitar sini agar kau dan madu mu itu tidur di jalanan.
Malam itu, setelah mereka pergi, aku mulai mempersiapkan rencana berikutnya. Aku berkonsultasi dengan pengacara tentang hak-hak ku dan mulai menyusun rencana untuk membangun kembali hidupku. Tentu saja sambil membalaskan dendam ku ini.