bubur ayam

1314 Kata
**Reya POV** . . . "Kenapa bep?" Pertanyaan Indah menyadarkan ku dari lamunan sesaat. Terkejut saat mengetahui ia benar berada di Indonesia. Kejutan yang menyenangkan, aku bahagia hanya terasa seperti mimpi. "Yunki di Indonesia," ujarku lemas, menoleh menatap Indah. Sejujurnya aku masih tak percaya dengan apa yang aku dengar. "Anjir!" pekik Indah tak kalah terkejutnya. "Tapi kayanya BTL baru balik dari Hongkong kemarin deh. Apa dia langsung ke sini?" Indah hafal hampir semua kegiatan BTL. Ia AMMY sejak debut pertama mereka. Ia mengikuti Twitter, juga beberapa akun fanbase khusus. "Lo percaya dia member BTL?" tanyaku, karena sebelumnya aku dengan jelas mengerti jika Indah tak percaya. "Percaya cuma belum sepenuhnya, tapi—pas liat lo video call tadi itu memang outer yang dia pake pas balik ke Korea. Cuma dalamannya aja yang beda." Jawab indah sambil menyantap keripik di hadapannya. "Udah sana siap-siap." "Tapi, gue nggak pede bep." Bagaimana bisa aku datang tanpa persiapan apapun? Tak mungkin aku merias diri dengan waktu yang tinggal sedikit. Bisakah Yunki menerimaku? "Gue getok nih, sana buruan ganti baju! Nanti gue anterin mumpung ada mobil bokap gue. Ade gue juga pas di rumah jadi bisa jagain anak-anak." Aku segera berdiri, hendak berjalan keluar untuk pulang dan berganti pakaian. "Mau kemana?" "Pulang." "Ganti baju gue aja Bambang, lo pulang nanti malah nggak boleh sama nyokap lo keluar, lagi." Aku mengangguk, lalu menarik indah berlari ke kamarnya. Aku rasa bawahan yang aku kenakan cukup bagus, celana panjang jeans hitam, aku meminjam kemeja navy milik Indah. Memoles sedikit wajah, sementara Indah terus memberikan komando agar aku bergegas. Setelahnya kami berangkat. ** Saat ini aku dalam perjalanan menuju hotel bersama Indah. Aku memintanya mengantarku untuk menemui Yunki. Jujur, aku menjadi sangat tak percaya diri saat ini. Ya, maksudku dibandingkan dengan hadis Korea atau mungkin temannya. Aku sama sekali tak ada apa-apanya. Itu fakta yang tak bisa aku elak. "Lo jangan macem-macem ya bep." Indah memperingatkan. "Macem-macem gimana maksudnya?" tanyaku bingung dengan ucapannya barusan. "Nggak boleh anu-anu nggak boleh iwik iwik." Ia menjelaskan dengan tangan kanan tersilang ke kiri "Wooy!!" teriakku terkejut. "Nyantai woy! lo udah gede. Udah dua puluh tujuh tahun mana tau lo berdua khilaf." Aku menutup telinga sambil menggeleng kencang mendengar ocehan sahabatku yang super menyebalkan itu. Apa sih yang ada dipikirannya? "Ye, dikasih tau juga." "Iya nggak bakal lah. Gue juga tau bep...." Aku mengangguk sebagai jawaban jika aku sudah mengerti apa yang ia maksudkan. Aku harus menjaga diri, itu bukan hanya untukku, tapi untuk kebaikan bersama. "Masalahnya, Yunki ini di Korea, idol pula. Kalau lo gimana-gimana, gue 'kan, nggak bisa minta pertanggungjawaban. Kalau dia orang Indonesia, gue bisa kejar." Indah memang sering curiga atas banyak hal. Tapi, itu hanya bentuk kekhawatirannya, karena peduli padaku. "Nggak bep, gue nggak bakal nyerahin keperawanan gue setelah dua puluh tujuhtahun gue pertahankan baik-baik," ucapku yakin. "Good, gue percaya sama lo. Aduh, berasa punya anak gadis, ini gue. Kenapa gue jadi khawatir gini ya?" Indah mengusap pelipisnya setelah mengingatkan aku akan banyak hal. Sementara aku terkekeh, melihat Indah yang terlihat terlalu cemas. Ia memang sering sekali bertindak seperti ibuku. Mungkin, karena ia telah menikah dan memiliki anak. Sehingga menatapku yang seumur dengannya dan masih sendiri memancing naluri keibuannya? Entahlah, yang jelas aku sangat menyayangi sahabatku yang satu ini. Ia orang yang bisa menahan aku dengan baik. Aku bahkan tak perlu mengucapkan apapun. . . . *** Aku akhirnya kini bersama Yunki, kami duduk di sofa kecil yang ada di sudut kamar. Sudah beberapa menit dan aku masih bingung dengan situasi ini. Padahal biasanya aku bisa berbicara banyak, tapi kali ini aku hanya terdiam. Canggung, dan bingung. Sementara ia sejak tadi tersenyum manis sekali. "Kau akan terus diam?" tanyanya. Ia kini menopang dagu dengan tangan, menatap dengan tatapan yang menyebalkan. "Aku ... Tak tau apa yang harus aku katakan," jwabku. "Ceritakan, apa yang kau lakukan sebelum datang kemari?" Yunki yang semula memposisikan duduknya dengan tangan yang menopang wajah. Kini duduk tegak terlihat sangat antusias. ia terus saja tersenyum dengan manis menunjukkan susunan giginya yang membuatku gemas. "Yaaak~" rengekku. "Kenapa berteriak?" Tanyanya bingung. "Berhenti tersenyum, aku malu." Aku dengan bodohnya menutup wajah dengan kedua tangan. Sialnya, dia malah terkekeh keras karena tingkahku barusan. Tangannya bergerak mengarah ke atas kepalaku, tapi tak menyentuhnya sepertinya ia ragu karena aku muslim dan berhijab. Aku bergerak sedikit ke atas sehingga tangannya menyentuh pucuk kepalaku. Aku tersenyum begitu juga dia yang terus saja terkekeh. Ia memberanikan diri menyentuh pucuk kepalaku, dan mendekatkan wajahnya. Aku bisa melihat wajahnya dengan sangat jelas. Aah, Lim Yunki ... Wajahnya selicin porselen!!! "Kau tau aku bahagia bisa bertemu denganmu?" Aku menggeleng dan menjawab, "aku tidak tau." "Menyebalkan," kesalnya kemudian bergerak ke posisi semula. "Kau tak lelah?" yanyaku "Kau tak ingin menyentuhku?" Tanyanya tiba-tiba. Sebenarnya, aku penasaran seberapa mulus wajahnya saat aku sentuh. Ia putih, dan glowing. Sungguh aku merasa seperti ampas tahu saat ini. "Aku takut kau lecet atau pecah, kau putih dan mulus seperti porselen." Yunki mengerenyit kesal, "menyebalkan." "Aku bersungguh-sungguh." Ucapku meyakinkan. "Hmm, ulurkan tanganmu." Ia dengan cepat mengulurkan tangan, bergerak seperti anak kecil yang menggemaskan. Aku memegang jemarinya yang lentik. "Jemarimu, mengapa seperti ini?" "Hmm?" Ia mendekat dan ikut memperhatikan tangan kami yang saling menggenggam. "Lihat, jari-jariku." Aku menunjukkan jemariku yang pendek, aku ingin melepaskan genggaman tangan kami. Tapi, ia menahannya. "Tanganmu dingin." Yoongi mengusap tanganku. "Kau gugup?" "Tentu, apalagi aku sama sekali tak punya persiapan untuk menemuimu." Ia tersenyum menggelengkan kepala seolah mengatakan kalau itu bukan masalah. "Kau ingin makan malam di mana?" Tanyanya kembali mengingatkan tujuan awal aku kemari. "Aku tak tau restoran yang bagus di sini." "Kau ingin makanan seperti apa?" "Entahlah, aku ingin sesuatu yang segar. Pencernaanku tak baik setelah penerbangan tadi." "Kau ingin makan bubur ayam?" tanyaku. "Aku tau dia sekitar sini ada bubur ayam enak." "Apa jauh?" Aku memikirkan sejenak, lokasinya dua blok dari sini. "Sekitar lima belas menit dari sini jika berjalan kaki." "Bagaimana kalau kita ke sana?" "Bukankah kau lelah? Kita bisa memesan dari sini. Besok aku akan minta libur dan aku berjanji akan bersamamu. Aku akan menjadi guide untukmu." Yunki mengangguk, aku tau ia sangat lelah dari cekungan di bawah matanya. Tak ingin membuatnya lebih lelah lagi. Aku memesan makanan melalui aplikasi andalanku go-food. Aku juga mengajari Yunki cara memesan go-food. Selama menunggu kami banyak berbagi Cerita. Menyenangkan mengetahui banyak tentangnya. Bahagia, karena bisa berhadapan langsung dengan Yunk. Ia banyak tersenyum dan tertawa. Aku harap berada di sini bisa mengobati lelah dan penat yang ia rasakan. Tak lama pesanan kami tiba. Aku membukakan bubur untuknya. Ia menatap sedikit heran sesekali bertanya tentang isian dan bumbu. "Cobalah," ucapku seraya menyuapkan sesendok bubur untuknya tanpa bumbu aku takut ia tak terlalu suka. "Enak?" Ia mengangguk, aku kemudian membuka ikatan kuah bumbu dan menyendokkan bubur ayam dengan bumbu. "Coba ini." Yoongi menyantap suapan dariku. "Ini lebih enak." "Baiklah, kalau begitu pakai kuahnya," titahku segera menyiapkan semua agar Yunki bisa makan dengan enak. Sesekali aku meliriknya yang terlihat antusias. "Ini, makan dengan lahap chagiya." Yunki menyantap makanannya dan aku beralih ke bubur ayam milikku. Oiya, aku masuk dalam golongan tim yang suka jika mencampur bubur dan pelengkapnya. Aku mengaduknya. "Yak! Itu menjijikkan!" teriak Yunki. "Tidak, ini kenikmatan dunia... Kau tak tau itu," uapku kemudian menyantap bubur milikku. Kusantap dengan lahap, membuat kekasihku yang pucat keheranan. kimia masih terdiam menatapku. Ia terlihat kesal, tapi aku tak perduli dan tetap makan. Kemudian menyendokkan sesuap bibir untuknya. "Cobalah," pintaku sambil menggerakkan sendok agar ia mau membuka mulutnya. "Tidak, itu menjijikkan." "Ayolah~" rengekku. Dengan tatapan jijik ia membuka mulut, aku dengan cepat memasukkan sendok dalam mulutnya. Yunki mengunyahnya merasakan bubur ayam yang kuberikan. "Enak?" Tanyaku. Yunki berdeham, kemudian menunjuk bubur milikku. "Berikan itu padaku." "Tidak! Kau bilang itu menjijikkan." "Palli!" Ia tak sabar. Tanpa perlawanan aku membiarkan ia menukar bubur kami. "Kau bilang itu-" "Aish, makanlah." Aku tersenyum, ia menggemaskan. Kini kami berada di tim yang sama tim bubur yang diaduk. "Reya-ya?" "Hmm?" "Kapan aku bisa menemui orang tuamu?" *** .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN