Setelah Gaga menghabiskan waktu 23 jam 33 menit dari Jakarta ke Oslo—dihitung juga dengan transit di Dubai, akhirnya perjalanan panjang nan memuakan ini selesai juga.
Dan Gaga, tentu saja masih setia dengan kutukannya. Bersama dengan wanita fangirling bernama Beby Abhayksa yang sekarang sedang mendorong troli berisi dua buah koper miliknya.
Kemudian Beby cemberut, "mas, bentar deh."
"Bukan urusan saya." Gaga langsung dengan cepat berjalan sambil menarik koper satu-satunya tanpa menghiraukan Beby yang merengek sambil menyusul Gaga.
Hampir seharian menjadi teman duduk Gaga, membuat Beby lama-lama melunjak dan entah kenapa bisa langsung menganggap dirinya seolah-olah begitu akrab dengan Gaga.
"Ih, mas. Fotoin Beby dulu dong." Beby tanpa tahu malu langsung menarik tangan Gaga dan menyodorkan ponselnya ke tangan Gaga. "Beby mau pose ala-ala traveling goals gitu."
Namun Gaga hanya diam, menatap Beby dengan datar. "Waktu saya tidak banyak. Lebih baik kamu cepat pose biar langsung saya foto."
"Oke, oke. Sabar bos." Beby menenangkan Gaga.
Kemudian Beby memposisikan troli kopernya di tengah-tengah jalan dan dia duduk diatas koper itu. Dengan kaki lurus kedepan, kedua tangan direntangkan tinggi-tinggi, mata terpejam dan seolah berteriak bahagia.
"Udah. Cepet, mas. Fotoin!" Ucap Beby sambil masih memejamkan matanya.
Cekrek, cekrek, cekrek.
"Sudah, belum?" Tanya Beby memastikan sembari menghampiri Gaga dan dia langsung merebut ponselnya untuk melihat hasil gambar yang tadi diambil Gaga. "Woah, ini Beby yang cantik atau mas memang pinter nge-foto, sih?"
Gaga memilih tidak menjawab. Dia memutar tubuhnya dan kembali berjalan. Tentu saja Gaga pintar memotret. Dirinya memang suka traveling, dan setiap traveling dia suka mengambil gambar berbagai objek melalui kameranya.
Tapi Gaga tidak suka memotret orang. Jarang sekali, sampai tadi Beby memintanya. Sebenarnya, ada satu objek yang begitu suka Gaga potret.
Yaitu figur seorang Emma Leonard.
"Makasih ya, mas Gaga." Ucap Beby setelah berhasil menyusul Gaga. "Semoga nanti kita bisa ketemu lagi, ya."
Gaga tidak menjawab, hanya diam sembari menatap lurus ke depan.
Tapi Beby tetap menyengir kesenangan. "Mungkin, kita bisa kontakan gitu, mas? Nomor w******p, mungkin?"
Gaga hanya melirik Beby dengan risih.
"Hehe, yasudah. Username i********: mas Gaga apa?" Beby masih belum menyerah.
Gaga menghela napas. "Saya nggak main i********:. Lebay."
"Astaga! Apa kamu bilang? Lebay? Berarti Christiano Ronaldo lebay dong punya i********:?" Beby jadi tidak terima. "Berarti bapak Presiden tercinta kita, bapak Joko Widodo juga lebay dong karena main i********:?"
Sebentar lagi, Gerbang kedatang sudah dekat dan Gaga akan berpisah dengan gadis freak ini se-la-ma-nya!
"Saya permisi." Gaga langsung berjalan dengan cepat.
Meninggalkan Beby yang kecewa. "Mas Gaga, nomor w******p-nya belum dikasih!" Teriaknya.
Namun Gaga tetap berjalan bak perlombaan jalan cepat. Menghiraukan teriakan Beby yang membuat semua mata memandang aneh kearah wanita itu.
***
Taksi yang ditumpangi Gaga berhenti di depan sebuah pagar rumah yang terlihat begitu asri. Rumah yang dulu sering dia datangi selama lima tahun pada saat hubungan percintaannya masih baik-baik saja.
Sebelumnya Gaga sudah sempat singgah dulu di penthouse yang di sewanya selama di Oslo dan menghabiskan malam ini di penthouse ini. Hitung-hitung untuk melepas lelah. Bukan lelah dalam perjalanan, tapi lelah menjadi pendengar baik untuk Beby.
Kemudian Gaga menghela napasnya, berusaha mengenyahkan pikiran dari Beby dan suara gadis itu yang terasa masih terus terngiang di dalam kepalanya.
Dan sekarang, dia sudah melangkahkah kaki melewati pagar kayu dengan ornamen batu-batu alam di pinggirnya.
Suasana rumah ayah Emma yang bernama Mr. Leonard masih sama. Masih asri dengan banyak tumbuhan hijau, kolam berisi bunga teratai di halaman depan rumah, kemudian ada air mancur yang di dalamnya berisi ikan-ikan kecil. Keadaan rumah ini benar-benar cocok dengan suasana musim panas di Oslo.
Sampai Gaga berdiri di depan pintu kayu rumah ini dan membunyikan lonceng yang tertempel di pintu itu.
Kemudian pintu terbuka, Gaga langsung menatap seorang lelaki tua di hadapannya.
"Mr. Leonard, aku kesini untuk bertemu dengan Emma." Jelas Gaga tanpa berusaha untuk basa-basi.
Leonard—Ayah dari Emma kemudian tersenyum. "Masuklah dulu, kau darimana saja? Kenapa tidak pernah kemari?"
Gaga hanya bisa pasrah ketika Mr. Leonard langsung mengajaknya memasuki rumah begitu saja. Bagi Leonard, Gaga bukan lagi seorang tamu.
Hubungan selama lima tahun dengan putrinya membuat Gaga sudah dianggap keluarga oleh keluarga Leonard ini.
Dan Leonard langsung mengajak Gaga ke halaman belakang, duduk di sebuah kayu pohon yang disulap menjadi kursi.
"Sejak kapan kau memanggilku dengan panggilan Mr. Leonard?" Tanya Leonard, memulai pembicaraan.
Sebelum Gaga menjawab, seorang pelayan datang, mengantarkan sekaleng bir dingin dan camilan bagi Gaga.
Leonard mengangkat kedua alisnya, menunggu jawaban dari Gaga.
Sampai kemudian Gaga berdeham. "Sejak hubunganku dan Emma selesai."
"Astaga, aku tidak menyangka akan seperti ini." Leonard malah terbahak sambil bertepuk tangan sekali. "Putus hubungan dengan anakku bukan berarti kau harus memutuskan hubungan pertemanan denganku, Gaga. Aku jadi merindukan teman bermain caturku."
Gaga hanya tersenyum tipis. "Aku juga merindukanmu, dad." Ucap Gaga akhirnya, memanggil Leonard seperti panggilan yang seharusnya selama lima tahun seperti dulu.
Kemudian karena sudah lama tidak bertemu, Leonard berbasa-basi sejenak. Menanyakan keadaan Gaga, menanyakan usaha lelaki itu, teman-temannya dan hal lain sebagainya.
"Tapi maaf sebelumnya, dad. Aku terbang jauh-jauh dari Jakarta ke Oslo untuk bertemu Emma." Gaga akhirnya memotong pembicaraan diantara mereka berdua.
"Apa yang Emma perbuat sehingga kau harus kemari dan menemuinya?"
Sejenak Gaga menatap Leonard dengan ragu. "Aku mendapatkan email dari Emma. Intinya aku merasa harus kembali ke Oslo demi hubungan kami berdua."
"Kau masih mencintai Emma?"
"Tentu saja, dad."
"Setelah Emma melakukan hal itu padamu?"
Leonard berusaha mengingatkan Gaga. Tentang kejadian itu, ketika dimana Gaga meninggalkan Emma begitu saja setelah Emma bertanya kapan Gaga akan menikahinya setelah lima tahun menjalin hubungan.
Mereka berdua bertengkar, Emma yang ingin di nikahi dan Gaga yang meminta Emma bersabar untuk satu tahun lagi karena Gaga masih ingin membangun karir serta dia merasa belum bisa membagi waktu antara pekerjaan dan istri nantinya.
Gaga yang masih dalam usia produktif begitu gila kerja setelah kesuksesan yang didapatkannya dari bisnis restoran Perancis dimana-mana.
Namun Emma mencampakannya begitu saja.
Gaga kemudian menatap Leonard. "Apa Emma ada disini?"
"Emma tidak ada disini. Dia tinggal bersama tunangannya." Jawab Leonard. Kemudian dia menepuk bahu Gaga. "Aku juga tidak paham dengan dirinya yang tidak bisa sabar untuk menantimu satu tahun lagi."
Gaga terdiam, dia hanya menundukkan kepalanya. Karena sebenarnya Gaga tahu, bahwa Emma sudah jenuh dengan segala hubungan yang terjalin diantara mereka berdua.
Kemudian Leonard kembali berbicara, "aku sangat minta maaf, son. Tapi aku hanya bisa membantu dengan ini."
Leonard lalu menyodorkan ponselnya kearah Gaga. "Nomor ponsel Emma. Semoga saja dengan ini kau bisa menghubunginya, dan mencari jawaban akan hubungan apa yang paling terbaik untuk kalian berdua."
Dan Gaga hanya bisa menganggukkan kepalanya sembari tersenyum miris. Entahlah, apakah dia bisa mendapatkan cintanya kembali atau tidak.
***
Emma Leonard langsung berlari ke lantai dua dan membanting pintu kamarnya begitu saja setelah dia mendengarkan semua percakapan antara daddy-nya dan Gaga.
Emma tidak bisa lagi berhadapan dengan lelaki itu setelah semua yang terjadi. Dan kenapa juga lelaki itu datang setelah Emma lama menunggu? Kenapa baru datang sekarang? Membuat Emma tanpa Gaga sadari lebih menyesal.
Dan setelah mengetahui bahwa Gaga yang datang kemari, Emma langsung menyuruh ayahnya untuk menemui Gaga, kemudian berkata kalau Emma sudah tinggal dengan tunangannya.
Emma menyesal, sungguh menyesal karena sudah mengkhianati lelaki sebaik Gaga yang bahkan rela kemari lagi demi dirinya. Gaga yang tidak pernah menyerah dengan hubungan mereka berdua.
"Emma?"
Emma yang sedang terduduk di kasur langsung mengusap wajahnya begitu calon kakak iparnya memasuki kamarnya.
Josefina Sea—calon istri Calvin Leonard kemudian menyusul Emma dan ikut duduk diatas kasur. "Bantingan pintumu keras sekali sampai terdengar dari kamarku."
"Maaf kalau sudah menganggu waktu pagi istimewamu dengan Calvin." Sindir Emma sarkastik sambil terisak pelan dan mengusap air matanya dengan kasar.
Sea tertawa kecil, "tidak menganggu, Emma. Tapi aku hanya ingin menemanimu disini. Sudah, jangan menangis lagi. Aku tidak ingin keponakanku jadi ikut sedih seperti ibunya."
Emma melirik tangan Sea yang mengusap perut Emma yang membuncit karena kandungannya yang sudah memasuki kehamilan ke tiga bulan ini.
"Aku membenci anak ini, Sea." Emma kembali terisak sambil menutup wajahnya. "Aku juga membenci diriku!"
"Emma..."
"Aku sudah menyia-nyiakan Gaga. Andai saja Gaga tidak meninggalkanku setelah pertengkaran kami maka aku tidak akan menjalin hubungan juga dengan Zion." Tangisan Emma makin keras, membuat Sea langsung merengkuh calon adik iparnya itu dengan sayang. "Seharusnya aku tidak menjalin hubungan dengan rekan kerja Gaga sendiri."
Sea mengusap punggung Emma, berusaha menenangkan. "Kau tidak boleh menyalahkan bayimu, Emma. Ini sudah takdir, akibat perbuatanmu juga dan kau tidak berhak menyalahkan siapapun."
"Aku merindukan Gaga, Sea." Emma balas memeluk Sea, menjadikan bahu Sea sebagai sandarannya dan terus menangis.
"Bukankah kau yang mengirimi Gaga email itu dan menyuruhnya kemari?"
"Itu satu bulan yang lalu." Jawab Emma di sela-sela isakannya. "Ketika aku merasa bahwa Gaga bisa memaafkanku karena pengkhianatan yang sudah aku lakukan."
Sea kemudian melepaskan pelukan Emma. "Dan sekarang? Kenapa kau tidak menemuinya?"
"Aku takut Gaga tidak akan menerimaku lagi." Emma membiarkan Sea yang mengusap air mata di pipi Emma. "Lagipula semuanya sudah terlambat. Aku sudah menerima lamaran Zion."
"Tapi tetap saja kau tidak bisa menikah sebelum aku dan kakakmu menikah." Ucap Sea sambil menyentil hidung Emma yang memerah. "Lagipula kau harus percaya, Em. Lelaki yang mencintaimu dengan tulus maka akan menerimamu apa adanya."
"Tidak dengan aku yang mengandung anak orang lain." Karena kesal dengan ucapan Sea, Emma langsung menarik tangan Sea dan mendorong Sea keluar dari kamarnya. "Tinggalkan aku sendiri, Sea!"
Blam! Pintu kembali di banting.
Dan Sea hanya bisa menghela napas pasrah. Sungguh, dia sebenarnya juga merasa miris dengan apa yang dialami Emma selama ini. Tapi juga ada kesalahan dari Emma dalam kisahnya kini.
Sea juga paham bahwa sifat Emma benar-benar bisa dengan cepat berubah. Dari sedih menjadi sedikit tenang dan kemudian menjadi sedih lagi, lalu sangat marah seperti tadi. Syndrom ibu hamil, Sea juga pernah merasakan perubahan perasaan yang begitu aneh.
Lagipula Sea seperti bisa merasakan apa yang dirasakan Emma. Di umur semuda Emma, dia sudah mengandung anak dari Zion—rekan kerja Gaga yang menjadi kekasih Emma setelah Emma putus sejenak dengan Gaga.
Namun sebelum Emma mengetahui dirinya hamil, Zion sudah melamar Emma dan Emma langsung menerimanya.
Beberapa minggu kemudian, Gaga datang. Ingin melamar Emma setelah pertengkaran mereka yang berakibat putus. Dan Gaga mendapatkan fakta yang membuatnya patah hati, bahwa kekasihnya selama lima tahun ini sudah menerima pinangan dari lelaki lain.
Namun Emma bersyukur, karena Gaga belum mengetahui siapa tunangan Emma saat ini. Emma hanya berharap, ketika nanti waktunya Gaga tahu, semuanya akan baik-baik saja.
Semoga saja begitu.