Part 6

2310 Kata
"Lia!" teriak Bara tiba-tiba yang kehadirannya baru disadari oleh Lia dan Albi. Bara pun berjalan terburu-buru menghampiri kekasih hatinya yang sedang di dekat cowok yang dia benci kehadirannya di dunia ini. Albi berhenti menatap Lia dan menoleh ke arah Bara. Begitu juga dengan Lia. "Bara." Albi membatin sambil melihat ke arah Bara. Dia sangat tak suka kedatangan cowok itu. Cowok itu merusak suasana. Saat Bara sudah berada dekat dengan Lia, langsung dia tarik tangan Lia dengan paksa. "Lia, aku kan, udah minta kamu buat jauh-jauh dari dia. Tapi kenapa kamu masih aja kedapatan bareng sama dia? Kamu benar-benar gak menghargai aku ya," katanya dengan nada marah. "Aku udah bilang, aku gak mau," balas Lia. "Terserah kamu mau atau gak. Yang pasti aku akan tetap melarang kamu buat dekat sama dia. Sekarang, kita pulang!" "Aku gak mau pulang sama kamu, Bar!" tolak Lia sambil melarikan diri dari Bara. Dia berlindung di belakang Albi. Dia gak mau sama Bara. Dia sebal dengan pacarnya itu. "Lia! Ngapain kamu di situ?! Aku udah bilang kan, kamu gak boleh dekat sama dia!" Bara menarik tangan Lia lagi dan dia mendapat perlawanan dari Albi. Adik tirinya itu mendorong tubuhnya hingga dia jadi terjatuh. "Sial!" maki Bara sambil berdiri dan merapikan pakaiannya. "Albi! Lo gak tau diri ya! Beraninya lo dorong gue! Dan beraninya lo deket-deket sama pacar gue!" ucap Bara penuh emosi sembari menarik kerah seragam Albi. Sampai-sampai Albi tertarik ke depan dan tercekik lehernya.  "Bar, hentikan!" Lia menarik tangan Bara dan tangan Bara pun lepas dari mencekam kerah baju Albi. "Kalau kamu gak mau pulang sama aku, akan aku habisi dia!" ancam Bara sembari menunjuk wajah Albi dengan telunjuknya dan menatap mata Albi dengan sinis. Dia benci banget sama Albi. Ditambah lagi pacarnya dekat dengan orang yang tak disukainya itu. Jadi berlipat ganda rasa bencinya. Seketika Lia memurung, dia melihat Albi sejenak dan kemudian menghela nafasnya pasrah sembari melarikan pandangannya pada Bara. "Ya udah, kalau gitu aku pulangnya bareng kamu," terimanya dengan tanpa keikhlasan. Dia menerima ajakan Bara karena dia takut Bara nekat mencelakai Albi nantinya. Dia tidak mau Albi kenapa-napa. Biarlah dia gak pulang bareng Albi kali ini. Namun yang terpenting Albi aman dan akan baik-baik saja. Lia lalu tersenyum memandangi pacarnya, seolah dia senang pulang bareng Bara. Dia melakukan kebohongan ini agar Bara tak curiga. Padahal Lia masih kesal pada Bara. Dia masih marah pada cowok smart itu, tapi sayang, cowok itu sangat egois dan suka kasar. Walaupun cowok itu tak pernah main tangan padanya. Namun tetap saja, sikap Bara tersebut membuatnya jengkel. Albi tak terima keputusan yang Lia ambil. Dia gapai tangan Lia dan bilang, "Lo gak perlu bilang iya, Lia. Lo gak perlu takut dengan ancaman Bara. Gue gak takut sama dia. Dia gak akan mungkin menghabisi gue. Lo percaya sama gue Lia, dia cuma menakut-nakuti lo aja. Please ... Lia, pulang bareng gue. Lo gak perlu dengerin apa kata Bara." Albi meyakinkan Lia. Dia sangat meyakini bahwa Bara hanya sekedar mengancam. Bagaimana mungkin Bara menghabisinya, dia sangat tahu, Bara itu licik. Kali ini Bara pasti hanya menakuti Lia. Dan pada akhirnya Lia percaya dan mungkin saja Lia akan menjauh darinya, karena Lia pasti berpikir Bara akan menyakitinya. Hal itu pasti akan terjadi, dan ujungnya dia dan Lia akan sulit bersama lagi.  Lia menunduk sambil menghela nafasnya pelan. "Sorry Al, gue gak bisa. Gue sebaiknya pulang bareng Bara. Dia pacar gue, jadi memang seharusnya gue pulang bareng dia. Maaf ya Al, gue harap lo ngerti," ucap Lia. Kalau boleh jujur, Lia ingin pulang bareng Albi. Tapi gak mungkin dia menolak ajakan Bara. Jelas-jelas Bara itu pacarnya. Tentu saja dia pulang sama Bara. Apalagi Bara mengancam akan menghabisi Albi. Jadi gak mungkin dia menolak Bara. Dia pasrah saja kali ini. Semoga saja Abi tak marah padanya. Dia sama sekali tak bermaksud menolak, tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak bisa apa-apa, hanya pasrah diri. Albi menghela nafasnya gusar. "Ya udah, kalau lo maunya gitu. Gue pulang sendiri aja." balas Albi pasrah. "Gapapa, kan?" tanya Lia. "Iya gapapa. Lo tenang aja. Gue gak bakal nangis kaya anak kecil," jawab Albi. Albi tidak mau memaksa Lia. Tindakan pemaksaan itu tidaklah baik, dan Albi sangat menghindarinya. Kalau sudah Lia yang memutuskan, dia terima saja. Menurut saja, sebagai sahabat yang baik, dia sebaiknya mengalah. Tidak apa-apalah dia gak pulang bareng Lia di hari ini. Dan semoga saja esok harinya dia bisa pulang bersama Lia, harapnya di dalam hati. Albi pun melepaskan tangan Lia sambil melempar senyum pada Lia. Senyumnya pun dapat balasan. Dia dan Lia kini jadi saling pandang dan saling melempar senyuman. "Apa-apaan nih," batin Bara kesal melihat Lia dan Albi. Dia cemburu melihat kedekatan Lia pada adik tirinya itu. Apalagi dia melihat kemesraan mereka berdua, benar-benar membuat perasaannya panas. Suhu tubuhnya juga ikut panas, dia jadi merasa gerah berada di tempat ini. Mana hatinya juga ikut-ikutan panas lagi. Betul-betul keadaan yang membuatnya muak. Dengean cepat Bara menarik Lia dan menatap tajam mata Lia. Dia memperlihatkan kemarahannya pada Lia. Biar Lia sadar, bahwa dia tak suka pacarnya di dekat cowok lain. Jelas dia sangat cemburu. "Jangan senyum-senyum ke dia," bisik Bara ke Lia. "Dasar egois, bibir punya aku. Kenapa kamu malah marah aku senyum ke dia. Terserah aku dong," balas Lia dengan bisikan juga. "Kamu itu milik aku, jadi jangan macem-macem deh." "Dih ngaku-ngaku. Baru aja jadi pacar udah merasa miliki aku seutuhnya." "Siapa suruh mau nerima cinta aku." "...." Lia diam. Dia kehabisan kata-kata. Dia merasa kalah sekarang, yang dikatakan pacarnya itu ada benarnya. Jika memang dia tidak mau dimiliki, lantas kenapa dia menerima perasaan Bara. Kayanya dia hilaf waktu itu, kini seperti ada rasa penyesalan dalam dirinya. Dan entah kenapa, sekarang dia malah lebih tertarik pada sahabatnya. Iya, pada Albi, siapa lagi kalau bukan cowok yang gak pintar tapi sangat baik dan juga gak kalah tampan dari Bara. Ah, kayanya ada yang salah pada dirinya saat ini. Albi, sahabatnya itu kini terngiang-ngiang terus dipikirannya. Bara mempererat genggaman tangannya. "Ayo pulang," ajaknya. Dia sudah tak sabar pergi dari tempat ini. Dia muak melihat wajah Albi. Dia ingin cepar-cepat pergi membawa Lia bersamanya. Lia mengangguk saja. Saat dia ingin melangkah pergi Albi pun melambai padanya. "Dadah, Lia. Hati-hati," ucap Albi. "Iya, Al," balas Lia sambil melambaikan tangannya. "Gue akan terus menang dari lo, Albi. Gue gak bakal biarin lo dekat lagi sama Lia. Pokoknya gue akan lakuin apa pun agar lo dan Lia jauh sejauh-jauhnya," batin Bara. Dia merasa puas karena dia berhasil mencegah Lia pulang bareng Albi dan sebagai gantinya dia yang jadi pulang bareng Lia. Dan dia sudah bertekat untuk membuat Albi jauh dari Lia. Itulah rencana liciknya. Sebagai seorang pacar, tentu saja dia tak mau pacarnya nanti direbut orang lain. Dia akan mempertahankan Lia. Dia sangat mencintai Lia. Dan dia tak ingin Lia meninggalkannya dan akhirnya Lia jatuh di pelukan Albi.  "Good bye, cupu!" pekik Bara sembari menertawai Albi. Bara beranjak pergi dengan mengandeng tangan Lia. Albi juga beranjak pergi. Dia berjalan menuju jalan raya seorang diri. Padahal biasanya selalu bareng Lia. Dan dia juga kadang menggandeng tangan Lia saat nyebrang. Kini dia hanya seorang diri. Sangat menyedihkan. Saat dia menggandeng tangan Lia di waktu itu, dia senang banget. Dia merasa nyaman saat berada di dekat Lia. Merasa adem, dan semua masalah dalam hidupnya seakan hilang begitu saja. Berada di dekat Lia membuatnya tentram tanpa masalah. Dia hanya merasakan bahagia tiada tara. Andai saja Lia menerima cintanya, dan andai saja Lia belum dimiliki siapapun. Namun sayangnya, itu hanya sebuah angan-angan dan sebuah andaian. Jika saja hal tersebut bukan sebuah andaian, pasti setiap detik pun dia akan tersenyum bahagia. Dan mensyukuri setiap helaan nafasnya yang telah Tuhan berikan padanya tanpa minta imbalan. "Lia, gue sayang sama lo. Tuhan, tolong bilang pada Lia. Bahwa aku, adalah laki-laki yang sangat mencintainya. Tolong, izinkan dia menjadi jodohku." Albi memandang langit dan berdoa. *** Albi melambaikan tangannya, dia menghentikan sebuah angkot yang hampir melewatinya. Angkot berwarna merah itu pun berhenti saat di hadapannya. Saat masuk ke dalam angkot, si supir angkot langsung memperhatikannya. Meliriknya seakan dia ini seorang penjahat yang ingin berbuat macam-macam. Padahal dia hanya duduk saja bukan mau memalak di dalam angkot ini. Mungkin karena dia memilih duduk di depan jadi sang supir heran melihatnya. Biasanya kan, dia selalu duduk di belakang sama satu cewek yang selalu bersamanya saat naik angkot ini. Tapi di hari ini tidak lagi. Dia hanya sendiri tanpa ditemani siapapun. Benar-benar membuatnya merasa kesepian tanpa adanya Lia. Sungguh di hari ini tak sebaik di hari kemarin. "Tumben sendirian Dek. Biasanya selalu berdua. Kok sekarang sendiri aja, emang pacarnya kemana?" ucap supir angkot yang tak diketahui namanya itu. "Pacar?" ucap Albi sembari mengerutkan kedua alis tebalnya. "Iya, pacar. Cewek yang biasa sama kamu itu loh, masak kamu lupak. Atau pura-pura lupa. Jangan-jangan udah putus nih, hayo kalian udah putus ya, makanya gak pulang bareng lagi," kata Pak supir angkot dengan menebak-nebak. Pak supir angkot ini heran saja pada anak muda yang duduk di sebelahnya ini, karena anak muda yang jadi penumpang langganannya ini biasanya selalu berdua bersama seorang cewek cantik dan murah senyum itu. Tapi di hari ini anak muda yang sedang duduk di sebelahnya saat ini sendiri saja. Dan wajah anak muda ini tak seceria biasanya. Hari ini keliatan murung dan tak bersemangat. Anak muda ini keliatan galau banget kalau bahasa gaulnya. Albi menghela nafasnya perlahan lalu berbicara. "Saya gak punya pacar Pak. Cewek yang biasanya sama saya itu bukan pacar saya Pak," jawab Albi seadanya saja. Jujur saja mengatakannya. Untuk apa juga dia mengatakan cewek itu adalah pacarnya. Padahal kenyataannya adalah  cewek itu bukan kekasihnya, tapi kekasih orang lain. Menyedihkan, kenapa hal seperti ini terjadi padanya. Menyukai kekasih orang lain itu memanglah sebuah kesalahan besar. Resiko kecewanya luar biasa. Patah hatinya sungguh berbisa. "Terus cewek yang biasa bareng kamu itu siapa? Temen? Atau saudara kamu?" Albi menghela nafasnya lagi, namun kali ini dengan kasar dan menimbulkan suara. "Dia pacar orang lain Pak. Dia bukan pacar saya. Saya dan dia cuma sebatas sahabat aja, gak lebih dari itu. Kami berdua memang dekat dari kecil. Jadi gak heran kalau Bapak mikirnya kita pacaran, karena memang kita sedekat itu. Tapi ... ya gitu deh. kita gak bisa sama-sama terus karena memang kita udah dewasa, dan dia juga udah punya kekasih pilihannya," jawabnya seadanya saja, karena memang itulah kenyataannya. Itu sebuah fakta yang memang sangat benar adanya. Pak supir manggut-manggut tanda paham akan pembicaraan anak muda yang duduk di sebelahnya. "Ohh gitu, Bapak pikir kalian pacaran. Ternyata cuma sahabatan doang. Sayang banget, padahal Bapak liat-liat kalian itu cocok loh. Kaya pasangan serasi. Kamu ganteng, dia cantik." "Cocok itu bukan terlihat dari fisik aja. Tapi dari hati juga. Walaupun terlihat dari wajah kami serasi, namun dari hati belum tentu. Buktinya dia menyukai orang lain. Udah jadian pula." "Kamu suka kan, sama sahabat kamu itu? Iya, kan?" tebak Pak supir. Albi terdiam sambil melarikan pandangannya pada jendela angkot. Pak supir angkot menggapai pundak Albi dan mengusapnya. "Udah, gak usah sedih gitu. Kamu itu ganteng, pasti banyak kok cewek yang bakal suka sama kamu." "Percuma, banyak pun yang suka tapi kalau sayanya gak suka buat apa. Gak ada artinya." Pak supir pun tertawa. "Jadi kamu lebih memilih jomblo daripada pacaran sama cewek yang gak kamu suka tapi dia suka kamu." Albi mengangguk. Dia lebih memilih menjomblo daripada memiliki kekasih yang bukan pilihannya. "Sayang banget ya, ganteng-ganteng kaya kamu ini kok jomblo. Kalah dong sama Bapak." Si Bapak berucap bangga dengan statusnya yang gak jomblo itu sambi membenarkan gaya rambutnya. Albi menoleh memandangi sang supir angkot. "Emang Bapak punya pacar? Emang ada yang mau saya Bapak?" tanya Albi jadi penasaran dengan bapak tua yang sudah keriputan ini. Yang masih tampak semangat mencari nafkah dengan menjadi supir angkot yang berpenghasilan tidak seberapa. "Punya dong, malahan tiga. Gak kaya kamu yang betah menjomblo. Bapak sih gak tahan kalau tanpa cewek. Tiga aja rasanya masih kurang," jawab sang supir sembari menunjukkan ketiga jarinya. Albi melongo tak percaya. Dia sampai mengerjapkan matanya. "Wah, Bapak serius Pak? Tiga pun masih kurang bagi Bapak. Luar biasa banget." "Serius dong.  Kan gapapa kalau lebih dari tiga. Terakhirkan sampai empat." Albi bertepuk tangan atas apreasiasi terhadap supir angkot langganannya yang ternyata memiliki 3 pacar sekaligus. Sangat mengagumkan. Meski sudah tua tapi ternyata bapak supir angkot itu memiliki 3 kekasih hati. Sungguh tak disangka. Bahkan si Bapak mau nambah satu lagi. Sungguh Albi tidak menyangka akan hal itu. "Hebat dong Bapak, Berarti saya kalah dari Bapak. Satu aja saya gak punya, apalagi sampek tiga," puji Albi. "Oh, jelas. Makanya belajar sama Bapak. Biar gak jomblo terus, gak kesepian lagi," balas Pak supir bangga sambil menunjukkan jempol tangannya. "Mau tau gak, tipsnya apa?" "Apa Pak?" tanya Albi. Dia gak pengen tahu sih sebenarnya. Tapi untuk mengisi keheningan di dalam angkot, gapapa lah dia melanjutkan perbincangannya yang gak penting banget ini. Lagian untuk mengisi waktu yang hampa ini tanpa keberadaan Lia. "Gampang Dek. Pergi aja ke jalan Melati. Saya ke sana dapet tiga sekaligus. Montok-montok semua. Bahenol lagi. Pokoknya idaman banget deh," jawab si supir angkot dengan berbangga diri. "Astagfirullah Pak! Ingat Pak! Ingat!" kaget Albi bukan main. "Tempat itu kan, tempat yang terkenal banci semua. Bapak mah parah, masak pacaran sama banci, ingat dosa Pak, ingat! Jangan sampai salah jalan loh Pak, ingat kita udah di akhir zaman. Kiamat sudah dekat, emang Bapak gak takut apa entar masuk neraka," sambung Albi memberi nasehat. "Enggak Dek. Dijamin keasliannya kok. Perempuan original, bukan banci," jelas si supir angkot. "Emang Bapak udah mastiin?" tanya Albi ragu si supir angkot itu sudah memastikannya. "Udah dong, 3 malam 3 hari Bapak mastiinya. Puas Bapak." c"Astagfirullah, Pak. Ingat dosa Pak dan ingat umur," ucap Albi sambil mengelus dadanya. "Bapak mah gak masalah. Orang udah Bapak halalin kok." Albi manggut-manggut. "Ohh, kirain saya, Bapak belum menikah." "Udah dong." "Bagus deh," balas Albi. Ngobrol dengan supir angkot langganannya membuat Albi jadi sedikit terhibur. Meskipun obrolannya tidak berfaedah sedikit pun bagi Albi. Tapi gapapa, setidaknya membuat perasaanya yang tadi sempat sedih gara-gara gak pulang bareng Lia menjadi sedikit berkurang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN