"Eh cupu!" pekik seorang cowok berparas tampan dengan tampang dinginnya sambil melangkah menghampiri Albi.
Albi menoleh melihat pria dingin yang memanggilnya dengan panggilan cubu. Pria itu kini sudah di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Dia lagi," umpat Albi dalam hati tak suka dengan kedatangan cowok yang tak diundang itu.
"Gue salah apa lagi?" tanya Albi pada cowok itu. Biasanya cowok itu mendatanginya karena dia melakukan sebuah kesalahan. Tapi hari ini rasanya dia tidak membuat kekacauan. Tapi kenapa cowok itu mendatanginya.
"Hari ini lo gak ada salah. Tapi gue ada permintaan buat lo," jawab Bara sambil melipat tangannya di atas d**a.
Nama cowok dingin itu adalah Bara Aditama. Dia anak pemilik Sekolah ini. SMA Abdi Bangsa, tepatnya. Sekolah swasta yang ternama. Bara selaku ketua OSIS di sini. Dia seorang kakak kelas yang populer dan jadi murid kebanggaan sekolah.
"Apa?" tanya Albi.
"Jauhi Lia!"
Mata Albi membulat mendengar pemintaan Bara yang tak biasa. Permintaan itu sungguh tak akan mungkin dia sanggupi. Enak saja jika Bara memintanya untuk menjauh dari Lia. Dia tak akan mau. Lagian kenapa pula Bara tiba-tiba memintanya menjauhi Lia. Bukankah dari dulu dia dan Lia sudah dekat. Lantas kenapa baru sekarang Bara memintanya untuk jauh dari Lia. Sangat mencurigakan. Membuatnya jadi bertanya-tanya.
"Apa jangan-jangan..." Albi membatin, mencurigai sesuatu.
Albi mencurigai suatu hal. Dia berpikir, mungkinkah Bara dan Lia memiliki hubungan yang tanpa dia tahu selama ini. Apakah hubungan yang sangat serius? Mungkinkah Bara adalah pacarnya Lia? Astaga, jika itu benar adanya. Dia akan sangat sulit untuk memiliki Lia. Alasannya, karena Bara adalah saudara tirinya. Sial, kenapa hal seperti ini harus terjadi padanya. Sungguh membuatnya dalam masalah besar. Dan juga ini akan jadi tantangan terberat dalam hidupnya.
"Ngapain lo bengong?" tanya Bara sambil menarik kerah baju Albi. Menyadarkan Albi yang jadi patung di hadapannya. Dia bicara malah cowok itu membisu tak merespon. Dasar menyebalkan. Bara tidak suka terabaikan. Dia tak mau saat dia berbicara orang-orang tidak mendengar perkataannya. Terabaikan itu sangat mengesalkan untuknya.
Albi menghela napasnya gusar. Dia rapikan seragamnya yang jadi berantakan gara-gara Bara. Jujur, dia benci dengan cowok yang di hadapannya sekarang ini. Ingin dia tonjok wajah pria itu. Namun dia harus sabar, dia tak mau cari keributan di sekolah. Bukan hanya itu alasannya, karena mungkin saja dugaannya benar jika Bara adalah kekasihnya Lia. Maka dia akan mendapat masalah dari Lia. Lebih baik dia menahan dirinya untuk tidak menghajar manusia yang b***t seperti Bara. Saudara tirinya yang menyebalkan. Daripada dia nanti akan berurusan dengan Lia. Bisa-bisa Lia tak mau lagi dekat dengannya, hanya gara-gara dia bermasalah dengan Bara. Repot nanti urusannya, jadi dia harus menahan diri. Tidak boleh ambil tindakan gegabah.
Albi menatap Bara tajam. Mengerutkan alis, mengekspresikan rasa ingin tahunya. "Kenapa gue harus jauhin Lia? Kasih gue alasan yang kuat!" tanyanya. Biar jelas, dia butuh jawaban langsung dari Bara. Daripada dia menerka-nerka benarkah Bara pacaranya Lia. Mending dia mendengar langsung dari mulut saudara tirinya itu. Meskipun sebenarnya dia malas mendengar suara Bara. Tapi tak apalah, demi Lia dia lakukan.
"Lo masih nanya kenapa?! Pokoknya gue gak suka lo deket-deket sama dia! Lo harus jauh-jauh! Gak usah main lagi sama dia! Titik!" jawab Bara dengan emosi. Ngomong berapi-api membuat yang dengar jadi panas mendengarnya. Apalagi Albi, dia sangat tak suka jika berbicara dengan Bara. Karena cowok itu berbicara dengan kasar dan semena-mena. Tidak tau sopan santun dan tata krama dalam berbicara.
"Kenapa lo gak suka gue deket sama dia? Selama ini lo gak pernah nyuruh gue menjauh dari Lia. Tapi kenapa baru hari ini lo seakan benci kalau gue dekat sama Lia? Apa jangan-jangan—" ucap Albi tertahan. Albi jadi terheran. Makin curiga saja dia dengan Bara. Apa mungkin Bara iri padanya? Dugaan ini bisa jadi juga. Siapa tahu Bara mulai menyukai Lia. Dan cowok itu pun merasa cemburu padanya.
"Jangan banyak tanya! Cukup lo nurut apa kata gue!" bentak Bara tak mau tahu. Alasan apa pun, pokoknya jauhi saja Lia. Dia tak suka jika Albi banyak tanya dan tak menurut perintahnya. Albi harusnya takut dengan dirinya, tidak usah membatantah dan harusnya menurut saja. Itu yang dia mau. Pokoknya perintahnya harus dituruti.
"Gue gak mau!" tolak Albi mentah-mentah. Dia tak bodoh. Dia bukan b***k yang seenaknya disuruh dan harus mau menuruti. Dia punya otak, dan tentu dia tak bodoh. Untuk apa dia menuruti permintaan Bara kali ini. Oke, jika selama ini dia selalu menurut dengan semua keinginan Bara. Tapi untuk detik ini dia tidak akan mau lagi. Lia itu wanita berharga baginya. Jadi mana mungkin dia mau menjauhi Lia. Sangat bodoh jika dia menuruti perintah Bara dan akhirnya menjauhi Lia. Jika dia menurut apa kata Bara, dia seakan menjadi pria yang pecundang. Pria yang tak bisa memperjuangkan cintanya hanya demi rasa takut pada seseorang.
"Lo berani ngebantah, Al!" bentak Bara keras sembari memandang Albi dengan nanar dan menarik kerah seragam Albi sampai Albi ikut tertarik dan jadi bertatapan muka secara amat dekat. Mereka jadi saling menatap penuh kebencian. Mereka dua saudara yang memang tak saling akur, hanya saja terpaksa menjadi saudara gara-gara hal itu bukan dari keinginan mereka tetapi orang tua mereka.
Albi tersentak mendengar bentakan Bara yang bersuara keras itu. Selalu saja Bara seenak jidat padanya. Mentang-mentang dia bukan siapa-siapa di sekolah ini, cowok itu seakan memperlakukannya seperti sampah. Sangat keterlaluan. Padahal dia ini seorang adik, tapi diperlakukan seakan barang yang tak ada artinya. Sungguh jahat, memang.
Albi melepaskan tangan Bara dari kerah bajunya. Cowok itu hanya membuat bajunya kusut saja. Dasar Bara, pria pintar tapi hobinya main otot dan adu mulut. Menurut Albi sangat tak mencerminkan sikap seorang siswa teladan. Cowok itu ngakunya siswa berpendidikan. Tapi apa, cowok itu seolah-oleh berprilaku seperti anak jalanan. Sangat tak pantas. Sampah. Punya otak tapi hobinya main otot. Sok jagoan, dan merasa paling berkuasa.
"Untuk kali ini gue gak mau nuritin kemauan lo," ucap Albi memberanikan diri untuk menolak. Entah apa yang akan dia dapatkan dari Bara atas penolakannya. Dia tidak peduli. Yang penting baginya dia bisa mendekati Lia tanpa harus ada penghalang. Buat apa dia takut pada Bara. Mulai hari ini dia tidak akan mau lagi jadi seorang b***k. Dia sudah sadar, bahwa hidup itu perlu perjuangan bukan hanya menyerah pada keadaan. Harus berjuang, bukan pasrah pada kondisi dan situasi yang menyedihkan.
"Lo mau jadi gelandangan? Hah! Mau lo!" bentak Bara lagi. Dia marah Albi tidak menuruti keinginannya untuk menjauhi Lia. Dia sangat tak terima jika kenginannya tak terkabulkan. Pokoknya apa yang dia mau harus dia dapatkan. Dengan cara apa pun. Apa yang dinginkannya harus terpenuhi. Pokoknya harus, tidak boleh tidak. Jika tidak, maka segala cara akan dia halalkan untuk bisa mendapatkan apa yang ingin dia miliki. Tidak peduli resikonya. Apa pun halangannya, dia akan lewati.
"Terserah lo, Bar! Gue gak peduli! Hidup gue bukan tergantung dari lo! Elo bukan Tuhan! Nasib gue bukan ada di tangan lo! Mulai detik ini, gue bukan babu lo lagi! Gue gak mau nurut lo lagi! Gue bukan Albi yang bisa lo bodohin!" Albi bersi keras menolak. Tidak, kali ini dia benar-benar tidak mau mengalah lagi. Dia harus berjuang mendapatkan Lia. Tidak peduli Bara akan mengancamnya. Dia tidak takut, dan dia tidak akan mengalah.
Plakk!
Tamparan. Satu tamparan yang keras diterima Albi. Ucapannya membuatnya mendapatkan tamparan dari Bara. Sangat menyakitkan, pipi Albi memerah dan terasa perih. Irama jantung Albi pun memuncak. Dia memanas, namun masih mampu menahan diri untuk tidak membalas. Walaupun sangat susah untuk menahan rasa ingin memukul juga wajah yang sudah memukulnya tanpa rasa iba. Tak hanya sakit fisik, batinnya juga sakit. Tapi dia harus sabar, jangan sampai dia membalas perbuatan cowok kejam itu.
Albi mengepal tangannya rapat-rapat. Dia tahan rasa ingin menonjok wajah yang di hadapannya saat ini. Wajah yang sangat menyebalkan. Bikin hidupnya menderita dan susah. Namun, lagi dan lagi dia harus menahan diri. Jangan sampai amarah menghancurkan segalanya. Dia tidak boleh membalas cowok itu, demi hubungannya dengan Lia baik-baik saja.
"Itu yang elo dapat karena udah berani menentang gue! Gue udah peringatkan, jauhi Lia! Dan jangan dekati dia lagi!" kecam Bara seraya menunjuk Albi dan menatap Albi dengan tatapan kebencian. Baru pertama kali Albi berani mengatakan hal yang dapat membuatnya murka. Adik tirinya itu sangat tak tahu diuntung. Tak tahu balas budi. Sudah pandai berani melawan. Dan jangan salahkan jika dia main tangan, karena Albi yang telah memulai, baginya. Jadi, itu bukan kesalahannya. Akan tetapi Albi lah yang salah.
"Gue gak bakal mau!" tolak Albi dengan tegas.
Bara mengepal tangannya, dia geram ingin menonjok wajah Albi yang telah berani membantah. "Dengar ya Al, lo itu pecundang! Jangan sok ngebantah perkataan gue! Lo itu cukup nurut aja. Jangan coba-coba melawan. Kalo lo masih gak mau dengar kata gue, siap-siap itu muka lo babak belur di tangan gue dan juga di tangan temen-temen gue," jelas Bara seraya menatap wajah Albi. Di wajah itu dia juga melihat betapa adik tirinya itu membencinya dan tampak jelas ingin membalas. Namun payah, adik tirinya itu kan, pecundang. Jadi mana mungkin berani melawannya.
Albi memang adik tirinya Bara. Beda ayah dan beda ibu. Orang tua mereka belum lama menikah. Dan pernikahan itu tanpa restu dari mereka. Ayah Bara menikahi ibunya Albi. Dan hal tersebut membuat Bara tak terima. Karena dia dari kalangan orang kaya dan baginya Albi hanya gelandangan yang memanfaatkan harta ayahnya. Di sanalah hal yang membuat mereka tak akur. Saling membenci satu sama lain. Dan belum bisa menerima, bahwa mereka ditakdirkan untuk bersaudara. Meskipun hanya sebatas saudara tiri.
"Kenapa gue harus jauhi Lia? Lia itu sahabat gue. Gue berhak untuk dekat dengan dia. Siapa pun yang gak suka kalau gue dekat dengan dia, orang itu berhadapan sama gue. Termasuk lo, Bara. Mulai detik ini, gue gak akan jadi bodoh lagi. Gue gak akan mau menurut perintah lo lagi." Albi sudah bosan menjadi bodoh karena takut sama Bara selama ini. Kini dia telah sadar. Untuk apa dia takut. Bara itu bukan siapa-siapa. Bara itu hanya pria egois dan sadis.
Bara tertawa. Dia tertawa terbahak-bahak, padahal tak ada yang lucu. Dia hanya sedang menertawakan Albi yang sekarang sudah pandai mengancamnya. Berani sekali adik tirinya itu, pikirnya. Sampai-sampai mengaku tak bodoh lagi. Astaga, itu sangat lucu bagi Bara. Cowok cupu seperti Albi berani menantangnya, itu kedengarannya hal yang sangat mengandung tawa, menurutnya.
Bara kemudian menoyor jidat Albi semena-mena. Seenaknya saja menoyor-noyor kening Albi sembari menertawakan. "Dengar ya bocah gak tau diri! Lo dan Lia hanya sebetas sehabat doang! Gak ada apa-apanya. Jadi, mulai sekarang gak usah sahabatan lagi sama dia mulai detik ini! Lia itu pacar gue, asal lo tau aja! Dan dia adalah calon tunangan gue! Ngerti lo! Jadi lo gak usah berasa penting untuk Lia! Gue jauh lebih berarti untuk Lia! Bukan lo cowok cupu! Paham lo!" tegas Bara menjelaskan, bahwa dia kekasihnya Lia dan tak boleh siapa pun yang mendekati kekasih hatinya itu, terutama Albi.
Seketika suasana menjadi hening. Albi terdiam setelah mendengar perkataan Bara. Albi bungkam setelah tahu ternyata Bara adalah pacarnya Lia. Hal itu sangat membuat Albi kaget bukan main. Kalau sudah begini tidak mudah untuk Albi memiliki Lia. Dia harus bagaimana? Dia dan Bara itu saudara, meski hanya sebatas saudara tiri. Jika begini akan ada badai besar menerjang hidupnya. Akan sangat-sangat susah untuk dia mendapatkan Lia, pujaan hatinya, cinta pertamanya, dan wanita pertama yang mau bersahabat dengannya.
"Kenapa lo diam? Baru tau kalau gue dan Lia ada hubungan serius? Makanya jadi cowok jangan kegeeran. Lia dekat sama lo itu bukan karena lo menarik, tapi karena lo itu menyedihkan. Lia bersahabat sama lo hanya karena rasa kasihan. Jadi, lo jangan banyak berharap sama dia. Dia itu gak pantes sama lo! Pantesnya sama gue. Gue pintar, dan keren. Wajar dia mau. Kalau lo kan, gak ada apa-apanya. Hahaha, sadar Albi, Lia itu memilih gue. Buktinya dia jadiin gue pacar. Dan lo yang udah bertahun-tahun dekat sama dia, gak dia jadikan spesial. Sedangkan gue yang baru setahun udah dijadiin kekasih! Itu menandakan, gue lebih baik daripada lo! Makanya, lo itu sadar diri. Jangan mimpi bisa mendapatkan Lia, karena itu gak mungkin terjadi," ujar Bara mengejek Alibi yang hanya mematung tiba-tiba. Dia puas berkata demikian, perasaannya senang bisa merendah-rendahkan Albi. Albi itu baginya tak berarti apa-apa. Dia sangat bahagia jika melihat Albi menderita saat ini. Dia tak mau pacarnya dekat-dekat dengan orang bodoh seperti Albi. Bukan karena rasa cemburu, tapi rasa tak sudi jika pacarnya dekat dengan adik tirinya yang tak dianggapnya saudara.
Albi diam, bukan berarti dia menerima omongan sampah dari Bara. Dia cuma kaget akan sesuatu yang tak dia duga sebelumnya. Dia benar-benar tak tahu bahwa Lia punya pacar. Apalagi pacarannya itu Bara. Lantas kenapa Lia tak bercerita padanya bahwa Bara adalah kekasihnya? Apakah yang dikatakan Bara ada benarnya, jika Lia tak menganggapnya penting?
Bara menunjuk d**a Albi. "Mulai hari ini, jangan deket-deket sama Lia! Kalau lo masih berani, lo tau akibatnya!" ancamnya tak main-main.
***